PRAKTEK DAN RITUAL
ALIRAN TANTRAYANA, MANTRAYANA, DAN VAJRAYANA
Makalah
Disusun
untuk Memenuhi
Syarat
pada Matakuliah Bahasa Indonesia
Oleh
:
Ulil Albab
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
A.
Pendahuluan
Agama Buddha adalah
sebuah agama dan filsafat yang berasal dari anak benua India dan meliputi
beragam tradisi kepercayaan, dan praktik yang sebagian besar berdasarkan pada
ajaran yang dikaitkan dengan Siddhartha Gautama, yang secara umum dikenal
sebagai Sang Buddha (berarti “yang telah sadar” dalam bahasa Sanskerta dan
Pali). Sang Buddha hidup dan mengajar di bagian timur anak benua India dalam
beberapa waktu antara abad ke-6 sampai ke-4 SEU (Sebelum Era Umum). Beliau
dikenal oleh para umat Buddha sebagai seorang guru yang telah sadar atau
tercerahkan yang membagikan wawasan-Nya untuk membantu makhluk hidup mengakhiri
ketidaktahuan/kebodohan (avidyā), kehausan/napsu rendah (taṇhā),
dan penderitaan (dukkha), dengan menyadari sebab musabab saling
bergantungan dan sunyatam dan mencapai Nirvana (Pali: Nibbana). Setiap aliran Buddha berpegang kepada Tripitaka sebagai rujukan utama karena
dalamnya tercatat sabda dan ajaran sang hyang Buddha Gautama. Pengikut-pengikutnya
kemudian mencatat dan mengklasifikasikan ajarannya dalam 3 buku yaitu Sutta Piṭaka (kotbah-kotbah Sang
Buddha), Vinaya Piṭaka
(peraturan atau tata tertib para bhikkhu) dan Abhidhamma Piṭaka
(ajaran hukum metafisika dan psikologi).
Perlu
ditekankan bahwa Buddha bukan Tuhan. Konsep ketuhanan dalam
agama Buddha berbeda dengan konsep dalam agama Samawidimana alam semesta diciptakan oleh Tuhan dan tujuan
akhir dari hidup manusia adalah kembali ke surga
ciptaan Tuhan yang kekal.
Dengan membaca konsep Ketuhanan Yang
Maha Esa ini, kita dapat melihat bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha
adalah berlainan dengan konsep Ketuhanan yang diyakini oleh agama-agama lain.
Perbedaan konsep tentang Ketuhanan ini perlu ditekankan di sini, sebab masih
banyak umat Buddha yang mencampur-adukkan konsep Ketuhanan menurut agama Buddha
dengan konsep Ketuhanan menurut agama-agama lain sehingga banyak umat Buddha
yang menganggap bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah sama dengan
konsep Ketuhanan dalam agama-agama lain.[1]
Bila kita mempelajari ajaran agama Buddha seperti yang
terdapat dalam kitab suci Tripitaka, maka bukan hanya konsep Ketuhanan yang
berbeda dengan konsep Ketuhanan dalam agama lain, tetapi banyak konsep lain
yang tidak sama pula. Konsep-konsep agama Buddha yang berlainan dengan
konsep-konsep dari agama lain antara lain adalah konsep-konsep tentang alam semesta, terbentuknya
Bumi dan manusia,
kehidupan manusia di alam semesta, kiamat dan Keselamatan
atau Kebebasan.
Di dalam agama Buddha tujuan akhir hidup manusia adalah
mencapai kebuddhaan (anuttara samyak sambodhi) atau pencerahan sejati dimana satu makhluk tidak perlu lagi mengalami proses tumimbal lahir. Untuk mencapai itu
pertolongan dan bantuan pihak lain tidak ada pengaruhnya. Tidak ada dewa dewi yang dapat membantu, hanya dengan usaha
sendirilah kebuddhaan dapat dicapai. Buddha hanya merupakan contoh, juru pandu,
dan guru bagi makhluk yang perlu melalui jalan mereka sendiri, mencapai
pencerahan rohani, dan melihat kebenaran dan realitas sebenar-benarnya.
B. Aliran Tantrayana
Secara umum Tantrayana juga dapat dikatakan bagian dari
mahayana, karena ada beberapa bagian dari
inti filsafat mahayana yang di terangkan secara Esoterik dan penuh
sibolis , seperti, ; sunyata bodhicita, tathata, vijnana[2]
Tantrayana adalah satu mazhab dalam agama Buddha yang sangat
istimewa karena memiliki ciri-ciri khas yang unik. Mazhab ini berkembang pesat
diantaranya negara India, China, Tibet, Jepang, Korea dan Asia Tenggara serta
benua Eropa, Australia hingga benua Amerika. Mazhab ini merupakan perpaduan
puja bhakti dengan praktek meditasi yogacara serta metafisika Madhyamika. Maka
dari itu mazhab Tantrayana bukan hanya membicarakan teori, akan tetapi praktek
dalam pelaksanaannya. Di dalam perkembangannya, mazhab ini kadangkala dinamakan
Tantra-Vajrayana atau Tantra-Mahayana.
Para
misionaris Barat sangat kagum setelah mempelajari mazhab tantrayana, karena
terdapat konsepsi maupun ide-ide religi serta filsafat yang sangat kenal,
berlainan dengan konsepsi maupun ide yang mereka kenal sebelumnya.
Tantra
Timur adalah tantra yang berkembang di daratan China dikenal sejak abad IV
Masehi,setelah Srimitra yang berasal dari Kucha (sekarang Xinqiang-China)
berhasil menerjemahkan sebuah kitab Tantrayana yang berisi mantra-mantra,
pengobatan, doa pemberkahan dan ilmu gaib lainnya. Hal tersebut sesungguhnya
belum mencerminkan nilai-nilai agung dari aliran Tantrayana itu sendiri, kata
Mr. Chauming. Tantra Timur bercorak perfeksionis dimana semua rupang Buddha
maupun Bodhisattva serta vajrasatva baik yang bersifat maskulin dan feminim,
lebih menunjukkan kesempurnaan, keagungan yang sesuai dengan sopan santun yang
ada pada masyarakat China.
Kalau Tantra Barat adalah tantra
yang berkembang di Tibet dan sekitar pegunungan Himalaya batas antara China dan
India, yang sebenarnya hanya dalam letak geografis saja. Daerah ini memiliki
tradisi dan sejenis kepercayaan yang disebut Bon-Pa. Dan orang-orang Tibet
umumnya memiliki kemampuan untuk menguasai roh-roh halus. Di samping symbol
dari jenis rupang Buddha sedikit ada perbedaan. Bila dilihat Tantra Barat lebih
bercorak naturalis terlihat jelas pada anggota tubuhnya, yakni bersifat
feminisme (dalam bentuk wanita). Terdapat pula rupang angkara murka, seperti
Angry Vajra (Vajravarahi dalam wajah murka).
Pada tahun 747 masehi, Maha Guru
Padma Sambhava menjalankan misi ke Tibet. Beliau pada masa mudanya adalah
seorang pangeran dan sangat menyenangi hal-hal yang bersifat magis. Beliau
memiliki kemampuan supranatural yang dipadukan dengan ajaran-ajaran Hyang
Buddha. Berkat kemampuan beliaulah, dukun-dukun Tibet dapat ditundukkan dan
memperoleh simpati dari bangsa Tibet.
Tantrayana di Tibet berkembang
hingga menjadi tiga periode. Yakni periode pertengahan dan pembaharuan serta
periode permulaan gelar Dalai Lama (dari abad XVII hingga sekarang ini).
Mazhab Tantrayana,baik Tantra Barat
maupun Tantra Timur disebut esoterik (rahasia/tersembunyi), karena dalam
penyebarannya tidaklah bersifat terbuka. Tantra diajarkan oleh seorang guru
pada siswanya setelah melalui upacara-upacara ritual dan berbagai bentuk ujian[3]
v Kitab Suci
Mazhab Tantrayana di Tibet
Mazhab Tantrayana di Tibet memiliki
naskah terjemahan kitab suci yang kebanyakan berasal dari India dan terdiri
lebih dari 4.566 naskah. Kumpulan naskah dalam bahasa Tibet tersebut
digolongkan dalam dua bagian, masing-masing :
Bkahgyur(dibaca
Kanjur) yang sebahagian besar adalah terjemahan dari bahasa Sanskerta dan
sebahagian kecil terjemahan dari bahasa mandarin, terdiri dari 3.458 naskah
serta dihimpun dalam tiga bagian, yakni :
1.
Dulva (Vinaya), terdiri dari 13 bagian, merupakan peraturan-peraturan,disiplin,
tata tertib untuk anggota Sangha.
2. Do
(Sutra), terdiri dari 66 bagian yang mencatat ajaran Hyang Buddha, seperti
halnya dalamsutra-sutra canon pali dan sutta-sutta kanon sanskerta dan selalu
diawali dengan "Demikianlah yang saya dengar".
3.
Chon non pa (Abhidhamma), terdiri dari 21 bagian yang merupakan pelajaran
filsafat dan pembahasan dari ajaran Hyang/Sang Buddha.
Bstanghyur (dibaca Tanjur), merupakan pembahasan atau
komentar (tafsir) yang dihimpun dalam dua kitab :
1.
Tantra (Rgyud), terdiri dari 22 bagian yang berisi doa-doa,dharani-dharani,
mudra, mandala dan lain-lainnya.
2.
Sutra, merupakan pembahasan atau komentar (tafsir) dari Do (sutra).[4]
Tantra terpisah dari Mahayana dalam
hal pendefinisian tujuan dan tipe manusia ideal dan juga dalam cara pengejaran.
Tujuannya masih sama, yaitu Kebuddhaan, walaupun tidak lagi terjadi di masa
depan, berkalpa-kelpa kemudia, tetapi saat ini, “dengan tubuh ini”, “dalam satu
piiran” yang diperoleh secara ajaib dengan cara-cara yang baru, cepat, dan
mudah. Orang suci yang ideal sekarang adalah Siddha atau ahli mukjizat,
walaupun agak mirip dengan Bodhisattwa yang telah melewati tahap kedelapan
dengan kekuatan-kekuatannya yang ajaib dan berkembang sempurna.
Tantra itu mewakili di antara
sekte-sekte Mahayana, panca indera mengenai semangat, secara tradisi ditegaskan
sebagai terdiri dari perawatan dan hasil dari yang bermanfaat, dan menghapuskan
serta gangguan dari yang tidak bermanfaat, keadaan mengenai pikiran. Dengan
keadaan bermanfaat dari Jhana, atau Dhyana, pikiran yang terutama dimaksudkan.
Maka dari itu kepentingan yang didominasi Tantra bukanlah teori tetapi praktek.
Tantra, walaupun secara jelas
menggabungkan doktrin dari sekte-sekte yang lebih dahulu, berbeda secara
radikal dari mereka semuanya di dalam mengenai bukan dengan perluasan teori
yang lebih lanjut dari doktrin-doktrin ini, tapi dengan penerapan metode menuju
pada realisasi realitas dari mana mereka adanya namun simbol konseptual. Jadi
Tantra memiliki sebegitu banyak pada bidang menguasai doktrin sebagaimana pada
bidang menguasai metode. Tradisi-tradisi Buddhist yang ada diterima sebagaimana
adanya, asalkan bukan sebagai suatu titik awal untuk tindakan. Lebih daripada
setiap sekte lainnya, Tantra mewakili segi latihan mengenai Buddhism, dan
karena alasan ini, jadi Dr. Herbest V. Guenter sangat menekankan [5]
‘Itulah di dalam Tantra bahwa
Buddhism menemukan kemekaran dan peremajaan lagi yang konstan’.
Tetapi walaupun Tantra berarti
tindakan, dan karenanya untuk kekuatan di dalam semua modenya, itu tidak
berarti tindakan secara umum, yang akan lebih baik dimiliki hanya aktivitas,
tapi terutama untuk ritual atau perbuatan sakral. Di dalam prinsip ringan yang
fundamental ini, dasar ‘kebenaran bagi eksistensi’ lebih dari penekanan Tantra
dengan ciri-cirinya secara jelas diperlihatkan.
Pentingnya aspek dan tradisi yang
permulaan di mana memberikan dasar teori yang paling dekat mengenai
kesakramenan Tantra; dikarenakan, sebagaiman Conze mengamati secara dekat;
‘jikalau Tantra mengharapkan
keselamatan dari perbuatan suci, itu haruslah mempunyai suatu konsepsi mengenai
Alam Semesta yang menurut perbuatan seperti itu dapatlah pada pengangkatan
pembebasan’.
Jikalau realitas transendental
menunjukkan Aksobhya, misalnya, sungguh-sungguh ada, itu haruslah memungkinkan
untuk menempatkan Dia pada suatu tempat yang penting di dalam setiap bentuk
mengenai kehidupan fenomena dan aktivitas. Bukanlah itu, walaupun dikatakan
Bulan itu dipantulkan sebuah kolam air, tidak dipantulkan dalam keseluruhan
kolam itu, tapi hanya dalam satu bagian penting darinya. Untuk mengetahui bahwa
Akshobhya dipantulkan dalam dunia fenomena tidaklah cukup. Dunia itu terdiri
dari lima skandha. Salah satu dari mereka itu haruslah pentulan aksobhya.
Karena pengertian harfiah dari Aksobhya adalah ‘Yang Tenang Sekali’. Tantra
mengenali Aksobhya dengar Vijnanaskandha atau kumpulan dari kesadaran. Pada
prinsip ini Tantra membangun sistem dalam Buddha, Bodhisattva dan Dewa.
yang tidak terhitung semua mewakili
baik aspek yang berbeda mengenai Realitas atau tingkatan yang berbeda mengenai
Jalan Transendental, dihubungkan tidak hanya dengan suatu kumpulan (skandha)
dari milik mereka, tapi juga dengan suatu kumpulan yang penting ‘mantra, mudra,
unsur (elemen), arah, hewan, warna, indera-perasaan, bagian dari tubuh dan
sebagainya. Tantra adalah lebih sulit untuk memberikan suatu penjelasan
daripada sekte lainnya dalam Buddhisme. Alasannya ialah kedua-duanya mengenai
ajaran bagi internal dan eksternal. Untuk memulai dengan Tantra ialah bukan
dengan penyamarataan teori tapi dengan latihan yang teratur dan mendalam,
karena mengenai suatu tingkat yang lebih tinggi bukanlah eksoterik melainkan
esoterik, yang selama berabad-abad dijaga secara bersama-sama dengan cara
tradisi lisan dan dengan hati-hati melindungi dari keinginan-keinginan yang
kotor.[6]
Pada jaman sekarang, Tantrayana
lebih dikenal berasal dari Tibet.
Sehingga orang awam berpendapat bahwa Tantrayana adalah agama Buddha Tibet,dan bersumber dari kepercayaan dan "rekayasa/ciptaan" bangsa Tibet.
Sehingga orang awam berpendapat bahwa Tantrayana adalah agama Buddha Tibet,dan bersumber dari kepercayaan dan "rekayasa/ciptaan" bangsa Tibet.
Hal ini tidaklah mengherankan,
karena hanya di Tibet, Bhutan, Nepal, Ladakh, India dan Mongolialah Tantra
tetap eksis dan bertahan sampai sekarang, terutama sekali di Tibet.
v Identitas
Tantrayana di Tibet
Identitas mazhab Tantrayana di Tibet
dapat diuraikan sebagai berikut :
a.
matra atau ukuran yang dikenal sebagai silsilah turun-temurun (lineage).
Silsilah turunan utama tersebut meliputi para Guru yang diawali dengan Sang
Buddha, para acharya yang berasal dari India sampai dengan guru dari Tibet pada
masa-masa sekarang ini, yang telah memberikan / menurunkan ajaran Tantrayana
baik secara metode lisan maupun tulisan menurut tradisi turun-temurun.
b.
Faktor yang lain adalah kelompok ajaran secara lisan dan tulisan yang
dihasilkan oleh para anggota daripada silsilah turun temurun (lineage)
tersebut, termasuk uraian, karangan, komentar, tafsiran, ulasan, tekstual yang
mengandung unsur ritual dan sebagainya[7].
c.
Sekte sekte dikenal pula dengan cara latihan masing-masing yang khas dan unik.
Misalnya sekte Kar-gyu-pa menitik beratkan meditasi, yang umumnya disebut
tradisi meditasi atau samadhi. Sedangkan sekte Kah-dam-pa ataupun sekte
Ge-lup-pa dikenal memiliki tradisi disiplin intelektual.
d.
Faktor lain yang menonjol dan menarik perhatian adalah gabungan biara/
monastery tempat para Lama/Bhiksu yang berfungsi sebagai tempat belajar serta
tempat latihan religi. Biasanya suatu biara merupakan markas besar yang resmi
bagi satu sekte sambil dijadikan sebagai suatu contoh atau model bagi yang
lainnya. Setiap sekte besar memiliki banyak biara. Sedang sekte yang kecil
hanya memiliki satu atau dua biara saja.
e.
Setiap sekte juga dikenali dengan memimpin spiritual yang berkedudukan tinggi,
biasanya disebut "Tulku".
v Sekte-sekte
Tantrayana yang utama di Tibet
1.
Sekte nim-ma-pa (sekte jubah merah/ancient red sect)
Anggota
sekte ini selalu memakai jubah dan topi merah. Mereka merupakan keturunan dari
garis silsilah (lineage) dari maha guru Padma sambhava.
Mereka menjalankan ajaran esoteric
(ajaran rahasia). Ajaran dan interpretasi sekte ini merupakan penggabungan dari
Buddha Dharma dan Bon-pa. Dan di dalam prakteknya mereka tidak hanya merupakan
jalan pikiran yang rasional, namun juga memerlukan inspirasi guna menguasai:
Dasar permulaan ajaran di transfer
langsung dari para acarya India
Mempertahankan tradisi teks-teks
kuno yang disimpan / dipendam dalam bumi (tanah) seperti
Kitab Bardo Thodol.
2.
Sekte Kah-dam-pa
Sekte
ini dipelopori oleh Atissa Srinyana Dipankara pada tahun 1042 masehi. Atissa
pada tahun 1012 pernah mengunjungi Sriwijaya dan berguru pada Maha Acarya
Dharmapala selama duabelas tahun, Atissa kembali ke Tibet pada tahun 1042.
Beliau wafat tigabelas tahun, kemudian perkembangannya dikemudian hari sekte
ini bergabung denga Ge-lug-pa.
3.
Sekte Ge-lug-pa (Sekte jubah kuning)
Anggota
sekte ini mengenakan jubah berwarna kuning. Sekte ini merupakan pembaharuan
dari sekte Kah-dam-pa dan dipelopori oleh Tzong-ka-pa pada abad XV.
4.
Sekte Kar-gyu-paSekte ini didirikan oleh Lama Marpa pada abad XI. Garis
silsilah (lineage) sekte ini diawali dengan
Buddha Vajradhara (symbol Penerangan
Agung). Para siswa sekte ini dalam pelaksanaan latihan religi dan upacara
ritualnya wajib memandang gurunya sebagai Vajradhara, supaya dapat lebih
mendekatkan diri pada Sang Buddha, sambil menjamin keberhasilan hubungan erat
antara
guru dan murid. Salah seorang siswa
Marpa yang terkenal adalah Milarepa, yang juga dikenal sebagai filsuf dan penyair
terkenal dari Tibet.
C. Aliran Mantrayana
Bahwa
Mahayana lambat laun menujun ke arah jalan kelepasan yang lain dari pada yang ditawarkan
oleh Buddha semula. Maka dengan jelas orang mulai merumuskan berbagai jalan
kelepasan, seperti yang diperkembangkan juga oleh agama Hindu[8]
Pada
mulanya perkembangan Mantrayana ini merupakan reaksi alami terhadap tren
sejarah yang makin tidak sesuai dan mengancam kepunahan agama Buddha India.
Untuk mempertahankan dan melindungi diri, penganut-penganutnya semakin banyak
menggunakan kekuatan mukjizat dan meminta pertolongan dari makhluk-makhluk
luhur, yang keberadaan sebenarnya telah dibuktikan oleh mereka sendiri melalui
pelaksanaan meditasi trans. Di antara ini, perhatian besar ditunjukkan kepada
makhluk luhur berpenampilan menyeramkan, seperti “Pelindung Dharma”, yang
disebut juga vidyaraja, “raja adat dan pengetahuan yang suci” yang
bermaksud baik tetapi menampilkan wajah yang megerikan untuk melindungi orang
yang percaya. Menarik juga untuk dicatat bahwa untuk mendapatkan perlindungan,
umat Buddha pada masa itu mengandalkan makhluk-makhluk luhur feminin. Sekitar
tahun 400 M, Tara dan Prajnaparamita dipuja sebagai Bodhisattwa Kosmis[9].
Hal
ini berarti bahwa dalam setiap usaha untuk membentuk suatu Mandala haruslah
memiliki suatu nilai praktis yang mempengaruhi prilaku perseorangan (carya).
Mantrayana ini juga memiliki sikap yang tegar menentang segala bentuk khayalan
dan menumbuhkan bodhi sebagai lawan dari nirodha. Kesemua hal ini, dilaksanakan
untuk mencapai langkah terakhir yakni guru yoga sebagai sarana kekuatan untuk
mengatasi diri seseorang.
Dalam
pengertian yang dalam dapat dikatakan, bahwa guru yoga adalah kenyataan itu
sendiri yang dapat kita saksikan dan berada dimana-mana. Namun tanpa bimbingan
seorang guru (manusia) yang telah mempraktekkan yoga dan mampu membimbing
siswanya dalam menempuh halangan-halangan yang sulit.
Istilah Mantrayana kelihatannya
telah menerima aslinya pada keperluan khusus bahwa cabang Mahayana yang
menganjurkan pembacaan ulang mengenai mantra sebagai usaha prinsip mengenai
paramita. Menurut Shashi Bhusan Dasgupta: ‘Mantrayana adalah sekte dari
Mahayana’, kelihatannya adalah tingkat perkenalan mengenai Buddhisme Tantra
dari semua cabang mengenai Vajrayana, Kalacakrayana, Sahajayana, dan seterusnya
yang timbul dikemudian hari.
D. Aliran Vajrayana
ledakan
kreatif dari tantra permulaan
menuju suatu asumsi yang kompleks tentang kosmos dan kekuatan spiritual dan itu
adalah Vajrayana yang menentukan tata cara mengenai banyak sekali tradisi yang luas dalam taraf
permulaan yang telah berkembang.[10]
Berasal
dari kosa kata Sanskrit "Vajra" yang berarti berlian dalam
aspek kekuatannya, atau halilintar dalam aspek kedahsyatan dan kecepatannya.
Serta dari kata "yana" yang berarti wahana/kereta. Menurut
Wang Shifu, Vajrayana merupakan Jalan Intan. Kata "Tantra" sendiri
berarti "Tenun" dalam bahasa Sansekerta, merujuk kepada prakteknya
yang bertahap namun pasti.
Vajrayana adalah suatu ajaran Buddha yang di Indonesia lebih sering dikenal dengan nama
Tantra atau Tantrayana. Namun banyak juga istilah lain yang digunakan, seperti
misalnya: mantrayana, ajaran mantra rahasia, ajaran Buddha eksoterik. Vajrayana
adalah merupakan ajaran
yang berkembang dari ajaran BuddhaMahayana, dan berbeda dalam hal praktek,
bukan dalam hal filosofi. Dalam ajaran Vajrayana, latihan meditasi sering
dibarengi dengan visualisasi[11].
Adapun tujuan akhir dari pada
Vajrayana, ialah mencapai kesempurnaan dalam pencerahan dengan tubuh fisik kita
saat ini, di kehidupan ini juga, tanpa harus menunggu hingga kalpa-kalpa yang
tak terhitung. Oleh karena tujuan akhir inilah, di dalam Vajrayana ditemui
metode-metode esoterik yang dengan cepat bisa membawa kita kesana.
Ajaran Vajrayana secara umum di
berbagai negara lebih dikenal sebagai ajaran agama BuddhaTibet, yang merupakan bagian dari Mahayana dan diajarkan langsung oleh Buddha
Sakyamuni yang amat cocok untuk di praktikkan oleh umat perumah tangga, umat
yang hidup sendiri (tidak menikah), ataupun umat yang memutuskan untuk hidup
sebagai bhiksu di vihara Vajrayana.
Menurut catatan, banyak sekali
praktisi tinggi Vajrayana yang memiliki kemampuan (siddhi) yang luar biasa,
misalnya: menghidupkan kembali ikan yang telah dimakan (Tilopa), terbang di
angkasa (Milarepa), membalikkan arus sungai gangga (Biwarpa), menahan matahari
selama beberapa hari (Virupa), mencapai tubuh pelangi (tubuh hilang tanpa
bekas, hanya meninggalkan kuku dan rambut sebagai bukti), berlari melebihi
kecepatan kuda, merubah batu jadi emas atau air jadi anggur, memindahkan
kesadaran seseorang ke alam suci Sukavati (yang dikenal dengan istilah phowa),
dapat meramalkan secara tepat waktu serta tempat kematian & kalahirannya kembali
(H.H. Karmapa), lidah dan jantung yang tidak terbakar ketika di kremasi,
terdapat banyaknya relik dari sisa kremasi, dll. Di dalam Vajrayana, semua
hasil yang diperoleh dari latihan itu, haruslah disimpan serapi mungkin, bukan
untuk di ceritakan pada orang lain. Sebagai pengecualian, boleh mendiskusikan
hal tersebut dengan Guru, jika memang ada hal yang kurang mengerti.
Dalam ajaran Vajrayana, sekte
menjadi penting karena merupakan sebuah identitas. Ini adalah sekilas informasi
tentang sekte-sekte besar yang mempunyai tradisi ciri khasnya masing-masing :
Sekte Gelugpa: pendirinya adalah
Tsongkhapa (1357-1419) lebih menekankan kepada disiplin intelektual, karenanya
para Bhiksu dari Gelug amatlah pandai dalam pembahasan Metafisika, filsafat,
dll. Pusaka ajaran yang terkenal dari tradisi ini adalah Krama Marga alias Lam
Rim (Jalan dan Tahap). Tradisi ini didirikan oleh Je Tsongkhapa, dengan
·
Kadampa sebagai pendahulu Gelug, yang mana Kadampa ini
didirikan oleh seorang Maha Guru India, yaitu Atisha Dipamkara.
·
Sekte Skayapa: Kunchong Gyalpo (1034-1102) terkenal dengan
naskah-naskah autentiknya, pusaka ajaran dari tradisi ini adalah Lam Dray
(Jalan dan Hasil). Tradisi ini berawal dari Sakya Shri Bhadra dari India, yang
merupakan pemegang tahta terakhir dari Institut Buddhist Nalanda yang mengungsi
ke Tibet pada saat invasi dari Moch.Bhaktiar Khalji, juga oleh beberapa Lotsava
agung yg disebutkan oleh Vince Delusion sebelumnya.
·
Sekte Kagyudpa: (Dagpo Kagyud) didirikan oleh Gampopa
(1079-1133). terkenal sebagai tradisi Meditatif, lebih menekankan kepada
metode-metode Yoga-nya. Pusaka ajaran dari tradisi ini adalah Maha Mudra, yang
meliputi Enam Yoga Naropa (tib.Naro Cho Drug ; skt.Saddharmopadesa), serta
metode-metode esoterik lain yang menyertainya dari awal sampai akhir, juga
pendidikan Shedras selama 12 tahun yang diikuti dengan retreat Maha Mudra di
dalam ruang tertutup selama 3 tahun 3 bulan 3 hari merupakan ke-khas-an
tersendiri dalam tradisi Kagyu. Sekte Nyingmapa: Dikenal sebagai tradisi
non-Monastic. Terkenal dengan pusaka Terma nya,serta ajaran-ajaran esoterik
langka di masa lampau. Ciri khas utama ajaran dari tradisi ini adalah Dzogchen
(Maha Sandhi). Tradisi ini berawal dari Vajra Guru Padmasambhava (Lian Hua
Sheng Da Shi) lebih kurang 700 M.[12]
v Ritual dan
Praktek
A.
Tantrayana
Perdebatan
yang ada dalam aliran mahayana tidak terletak pada ada tidaknya esensinya, namun hanya terbatas pada
pemahaman tentang sifat dari dharmakaya
itu sendiri. Kebanyakaan sutra
menggambarkan dharmakaya sebagai sesuatu
yang impersonal, bukan pribadi dan bukan tidak pribadi.
Pada naskah-naskah yang lain dharmakaya di kenal sebagai personal dan kepadanya di beri sifat-sifat yang baik.
Khusus dalam aliran Tantrayana, dharmakaya disembah sebagai budha primodial atau Adi Budha.[13]
Jalan Tantra berusaha untuk mengubah
nafsu manusia dasar keinginan dan kemalasan dalam pertumbuhan rohani dan
pembangunan. Jadi, bukannya menyangkal primal seksual dan sensual mendesak
seperti dalam agama Buddha tradisional, praktek Tantra menerima ini mendesak
kehidupan sebagai suci energi kekuatan, yang dimurnikan dan berubah menjadi
kekuatan sehat dan sehat menghubungkan individu dengan kesadaran spiritual yang
lebih tinggi. Untuk menjadi sukses dengan kerja Tantra, seseorang harus
memiliki keterampilan dalam kontrol diri dan penerimaan diri dan orang lain.
Tindakan atau perbuatan itu ada 3
macam, yakni: tubuh, vokal, dan mental. Pikiran atau perbuatan
mental, darimana pikiran yang dikonsentrasikan ialah keserbaragaman yang paling
manjur, menentukan ucapan dan tindakan yang mempengaruhi pikiran. Perbuatan
sakral dari Tantra bertujuan menghasilkan suatu transformasi mengenai kesadaran
dengan usaha dari (secara spiritual) suara dan gerakan yang sangat mempunyai
arti secara spiritual.
Dengan suara yang sangat mempunyai
arti secara spiritual dengan berbagai ‘dharani atau mantra’ yang disebabkan
oleh akibat yang sangat besar pengulangan yang konstan ada pada pikiran,
menduduki di dalam Buddism Tantra suatu posisi yang sangat penting. Gerakan
yang sangat mempunyai arti itu secara spiritual mencakup semuanya yang
diperbuat oleh sebagian tubuh, seperti mudra yang dilakukan oleh tangan,
dan yang diperbuat mengenai sembah dan tari. Karena ritual dan perbuatan sakral
dapat dibentuk hanya dengan tubuh. Tantra jauh dari menurunkan tubuh
menyambutnya sebagai kapal keselamatan dan memujanya dengan suatu ekstent yang
tidak terdengar dari dalam setiap bentuk lain Buddism. Lebih dari itu, tidak
hanya bagian tubuh dari alam semesta material, tapi banyak obyek material
dikerjakan untuk tujuan sakramen; karena itu Tantra menganggap dunia itu juga
bukan sebagai suatu rintangan tapi sebagai suatu bantuan Penerangan,
memuliakannya sebagai gambar hidup dari keselamatan dan wahyu dari Yang
Absolut. Sebagai ganti mengorbankan dunia itu seseorang harus hidup di
dalamnya, di dalam suatu jalan seperti itu bahwa kehidupan dunia sendirinya
diubah ke dalam kehidupan transendental.
Menurut pandangan Tantra, menanamkan
tubuh itu dengan kesucian adalah kemungkinan dari tindakan manusia pada pikiran
bukan hanya oleh gerakan anggota tubuh tapi dengan memainkan pernafasan dan air
mani, semuanya dihubungkan secara intim bahwa dengan mengendalikan setiap salah
satu dari semua itu dan sisanya yang dua itu dikendalikan secara otomatis.
Lagi, dihubungkan tidak sebanyak dengan perumusan filsafat yang luas daripada
dengan notulen yang mendetail mengenai latihan spiritual, aspek-aspek tertentu
yang terlalu kompleks, sulit, dan sedikit untuk disetujui dengan tulisan.
Tantra tentu saja sangat menegaskan perlunya menerima inisiasi atau upacara dan
petunjuk dari sorang guru spiritual yang ahli.[14]
B .Mantrayana
Bagi
Mantrayana di ketemukan suatu dasar yang
dogmatis –filosofis karena orang
menganut suatu ajaran mahatunggal yang konsekwen. pastilah di dalam lingkungan
perbuatan-perbuatan magis, bahwa di dalam ajaran mahatunggalpun , Mahayana
bertindak sebagai persiapan bagi
mantrayana. ajaran mahatunggal ini di ajukan di dalam ini; bahwa orang mulai
berbicara tentang suatu “Maha-Budha ” ,
yang bentuk pertanyaanya berupa alam semesta,
seluruh dunia dengan segala
isinya. Alam semesta itu manifestasi
dari dharmakaya.[15]
Pokok-pokok ajaran Mantrayana dapat
ditemui pada karya karya padma-dkarpo dari Tibet. Menurut beliau, tujuan dari
Mantrayana adalah sama seperti apa yang dituju oleh aliran-aliran lainnya dalam
agama Buddha, yakni kemanunggalan manusia dengan penerangan sempurna atau
kesempurnaan secara spiritual.
Langkah
pertama untuk mencapai tujuan tersebut menurut konsepsi Mantrayana adalah
mengambil perlindungan serta mempersiapkan diri dengan berpedoman pada
Bodhicitta, yang berarti fondasi dari segala macam kebaikan, sumber dari segala
usaha kebahagiaan dan sumber dari kesucian. Bodhicitta biasanya terbagi menjadi
dua bagian, yakni
§ Bodhi pranidhi citta : Tingkat
persiapan untuk pencapaian kebuddhaan.
§ Bodhi prasthana citta :Tingkat
pelaksanaan sesungguhnya dalam usaha menuju cita-cita.
Bodhicitta adalah sebagai suatu sarana bagi setiap
umat Buddha untuk mencapai tujuannya. Perlindungan tersebut meliputi
perlindungan pada Sang Triratna. Dalam hal ini, Mantrayana memandang Sang
Triratna bukanlah hanya sekedar pengertian harfiah, melainkan sebagai kekuatan spiritual
yang disimbolkan oleh Triratna tersebut.
Sikap perlindungan yang demikian itu
mempunyai kaitan yang sangat erat dengan keteguhan hati. Keteguhan hati ini
berfungsi untuk menguak tabir rahasia untuk mencapai penerangan sempurna. Dan
selanjutnya akan menumbuhkan perubahan sikap, membawa si siswa untuk mulai
melihat keadaan sesungguhnya tentang 'diri' dan alam sekitarnya.
Tahapan selanjutnya yang harus
dilaksanakan adalah memperkuat dan memajukan sikap baru yang diperoleh dari
meditasi dengan membaca mantra berulang-ulang. Mantra adalah kata dalam bahasa
sansekerta yang berarti pesona. Mantra adalah satu suku kata yang berfungsi
sebagai 'suatu pelindung pikiran' yang mengandung kekuatan magis dan
melambangkan Triratna (Buddha-Dharma-Sangha) ataupun makhluk-makhluk agung
lainnya. Mantra juga merupakan formula untuk memelihara agar pikiran tetap
terkonsentrasi, tidak melayang-layang tak menentu.
Langkah berikutnya adalah
mempersembahkan suatu Mandala (gambar-gambar indah yang mengandung arti
filosofis) sebagai sarana untuk menyempurnakan pengetahuan pengetahuan yang
telah dicapainya. Setiap langkah dalam mempersiapkan Mandala ini haruslah
selalu berhubungan dengan Sad Paramita (enam perbuatan yang luhur) maupun Catur
Paramita (Brahma Vihara=empat keadaan batin yang luhur). Sad Paramita terdiri
dari :
§ Dana Paramita: Perbuatan luhur
tentang amal secara materi maupun spiritual.
§ Sila Paramita: Perbuatan luhur
tentang kehidupan bersusila.
§ Kshanti Paramita: Perbuatan luhur
yang dapat menahan segala macam penderitaan.
§ Virya Paramita: Perbuatan luhur
mengenai keuletan dan ketabahan.
§ Dhyana Paramita: Perbuatan luhur
mengenai pemusatan pikiran (samadhi/meditasi).
§ Prajna Paramita: Perbuatan luhur
mengenai kebijaksanaan.
C .Vajrayana
Dalam
ajaran Vajrayana yang berkembang di
tibet, kosmos di jelaskan alam kaitan
mata angin: pusat, timur, selatan, barat dan utara, yang secara esoteris di waliki oleh unsur-unsur yang berpasangan
yang di wujudkan dalam bentuk tathaga pasanganya.[16]
Dalam
Vajrayana, terdapat
banyak sekali metoda dalam berlatih. Memang banyak sekali praktisi Vajrayana
yang memiliki kemampuan luar biasa, namun hal ini bukanlah sesuatu yang mistik.
Hal ini sebenarnya merupakan hasil samping dari latihan yang dilakukan, dan hal
ini harus diabaikan. Seperti kata sang Buddha, yang dapat menyelamatkan kita
pada saat kematian adalah Dharma, bukanlah kesaktian yang kita miliki. Sering
kemampuan yang didapat ini menjadi penghalang dalam mencapai tujuan utama kita,
yaitu mencapai pencerahan. Hasil samping berupa kemampuan (siddhi) ini sering
akan meningkatkan kesombongan (ke-aku-an) kita, yang sebenarnya justru harus
kita hilangkan, dan bukan merupakan sesuatu yang harus dibanggakan. Namun
sayang sekali, banyak orang yang berpandangan salah, mereka mengagungkan kemampuan
gaib yang dimiliki oleh seseorang, dan mengabaikan Dharma yang mulia. Hal ini
dapat terjadi karena adanya kebodohan / ketidak tahuan (Moha) yang dimiliki.
Praktek Vajrayana tidak terlepas
dari penyapaan mantra, maka sering juga dikenal dengan istilah ajaran mantra
rahasia.
Ajaran Vajrayana sering juga disebut
dengan Praktek Rahasia, atau Kendaraan Rahasia. Hal ini menggambarkan bahwa
ketika seorang praktisi semakin merahasiakan latihannya, maka ia akan semakin
mendapatkan kemajuan pencapaian dan berkah dari latihan yang ia lakukan.
Semakin ia menceritakan tentang latihannya, maka semakin sedikit berkah yang
akan ia peroleh.
Sang Buddha sering berpesan kepada
murid-muridNya, bahwa mereka tidak boleh memperlihatkan kemampuan (siddhi)
mereka, tanpa suatu tujuan yang mulia. Demikian pula, Para praktisi tinggi
Wajrayana tidak pernah menunjukkan kemampuan mereka hanya demi ego, demi
ketenaran, demi kebanggaan, ataupun demi materi. Para praktisi tinggi ini
biasanya menunjukkan kemampuan pada murid-murid dekat, ataupun pada orang
tertentu yang memiliki hubungan karma dengannya, demi Dharma yang mulia,
misalnya untuk menghapus selubung kebodohan, ketidak tahuan, kekotoran batin,
ataupun karena kurangnya devosi dalam diri murid tersebut.
Mazhab Tantrayana yang berkembang di
Tibet sekarang ini pada umumnya adalah Vajrayana, mengenai Vajrayana di Tibet,
Guru Rinpoche Padma Sambhava memberikan instruksi yang mencakup enam cara untuk
mencapai pembebasan melalui proses pemakaian yang melibatkan Panca Skandha. Ke
enam cara tersebut:
§ Pembebasan melalui proses pemakaian
§ Pembebasan melalui proses
pendengaran
§ Pembebasan melalui proses ingatan
§ Pembebasan melalui proses
penglihatan
§ Pembebasan melalui proses Pengecapan
§ Pembebasan melalui proses sentuhan.
Vajrayana memandang alam kosmos
(alam semesta) dalam kaitan ajaran untuk mencapai pembebasan. Apabila di
Mahayana terdapat konsepsi Trikaya (tiga tubuh Buddha), maka didalam Vajrayana,
Buddha bermanifestasi dan berada dimana-mana. Oleh karenanya, Buddha adalah
wadah atau badan kosmik yang memiliki enam elemen, yakni : tanah, air, api,
angin, angkasa dan kesadaran. Dalam rangkaian yang tersusun sebagai sistim,
Vajrayana selain memiliki pandangan filosofis di atas, juga memiliki puja bakti
ritual maupun sistim meditasi khusus yang disebut Sadhana yaitu meditasi dengan
cara memvisualisasikan dengan mata batin, menyatukan mudra, dharani (mantra)
dan mandala.[17]
Perbandingan Ajaran ketiga Aliran
Jadi, Konsep Mantra pada intinya
didasarkan atas keyakinan akan kegunaan suara (sabda) sebagai sustu sumber
kekuatan atau kekuatan itu sendiri, yang memiliki pengaruh kuat terhadap
organisme manusia dan alam semesta. Ini berarti pengakuan akan adanya hubungan
misterius tertentu antara evolusi kosmik dan suara. Begitu pula dengan Tantra,
walaupun pada prinsipnya Tantra tidak bersifat spekulatif, dengan menerangkan
berbagai tahapan kontemplatif yang harus dialami oleh seorang sudhaka sebelum
mencapai pencerahan bathin, namun Tantra berpandangan bahwa penyamaan nirvana
dengan samsara oleh Madhyamika adalah kebenaran dasari. Begitu pula halnya
dengan Vajrayana, aliran ini lebih menekankan dengan silsilah yang berhubungan
dengan sederetan dengan para Guru dari Hyang Budha[18].
Tantra
Theravada
Garis-garis besar filsafat Tantrayana
Mazhab Tantrayana dikenal luas oleh
dunia Barat sebagi aliran esoterik (ajaran rahasia, tersembunyi, mistik).
Sedangkan mazhab-mazhab lainnya dalam agama Buddha disebut eksoterik (sesuatu
yang kelihatan).
Menurut umat Buddha mazhab
Tantrayana ini, sesungguhnya Sang/Hyang Buddha membabarkan Dharma
selama-lamanya. Akan tetapi bagi umat awan tidak dapat mendengar dan mengerti
dengan baik. Sehingga tanpa Adhisthana (perantara dan bimbingan), sukarlah bagi
umat awan untuk mengerti badan, perkataan dan pikiran Hyang/Sang Buddha. Perantara
tersebut bukanlah berasal dari si pelaku itu sendiri, akan tetapi berasal dari
bimbingan dan Kekuatan Buddha.
Terdapat tiga jenis upacara dalam
mazhab Tantrayana, yakni :
- Mudra : Gerakan tangan dan atau badan yang memiliki
makna filosofis tertentu
- Dharani : Pembacaan mantra-mantra yang juga memiliki
arti-arti tertentu
- Yoga : Pemusatan pikiran
Dengan
demikian, terjalinlah komunikasi yang erat antara si pelaku dan Sang Buddha.
Kemudian terbentuklah pengertian yang dikatakan " Buddha berada pada saya
dan saya berada pada Buddha ".[19]
·
Empat
Jenis Tantra
Di dalam mengawali pelatihan diri
dalam mazhab Tantrayana, ada empat hal yang harus perhatikan yang dikenal
dengan empat jenis Tantra :
- Kriya Tantra
- Carya Tantra
- Yoga Tantra
- Maha Yoga Tantra
·
Empat
Jenis Mandala
Salah satu dari cirri-ciri khas
Tantrayana adalah Mandala (gambar indah yang memiliki makna filosofis). Mandala
ini terdapat empat jenis yang masing-masing terdiri dari :
- Maha Mandala : Gambar dari tempat kediaman para Buddha
dan para makhluk agung lainnya.
- Samaya Mandala : Gambar dari tempat kediaman para
Buddha dan para makhluk agung lainnya dengan ditambahkan benda benda
duniawi.
- Dharma Mandala : Gambar dalam bentuk bijak aksara
(huruf/kata-kata) Yang melambangkan Buddha, Bodhisattva, Deva serta
makhluk arya lainnya.
- Karma Mandala : Gambar dari figure-figur buatan
misalnya arca atau rupang/patung. [20]
·
Empat
Dasar Tantrayana
Di dalam kehidupan spiritual
Tantrayana di Tibet, terdapat jenis disiplin spiritual atau sistim pendidikan
yang meliputi level (tingkat) permulaan, menengah dan akhir. Empat dasar
Tantrayana adalah merupakan level permulaan atau pendahuluan (prelude) daripada
latihan Tantrayana. Keempat dasar Tantrayana (Four Ordinary Foundations) adalah
:
- Kelahiran sebagai manusia di dunia ini sangat mulia.
- Doktrin ke tidak kekalan (impermanence); segala sesuatu
yang terbentuk dan saling bergantungan adalah Anitya (tidak kekal).
- Pengertian aksi-sebab dan akibat; Cetana (kehendak
untuk berbuat) itulah dinamakan Karma.
- Dukkha sebagai lingkaran Samsara.[21]
·
Reinkarnasi
dan Tulku
Pada mazhab Tantrayana terdapat satu
keyakinan yang merupakan pengembangan dari falsafah Punarbhava atau kelahiran
kembali, yang sering diterjemahkan oleh orang Barat sebagai reincarnation atau
reinkarnasi. Dalam falsafah ini diyakini bahwa semua makhluk di alam semesta
ini diyakini bahwa semua makhluk di alam semesta ini adalah mengalami lebih
dari satu kali kelahiran.
Dalam tradisi Tantra Barat, terutama
di Tibet, memberi sumbangan khusus dalam pencarian seorang Tulku, seorang anak
yang diindentifikasikan sebagai reinkarnasi/penjelmaan khusus dari seorang
Rinpoche atau Dalai Lama. Dalam pencarian tersebut, sering sekali dilakukan
dengan cara meneliti baik secara langsung maupun tidak langsung, terutama pada
anak-anak yang berusia antara 2-5 tahun dengan ciri-ciri kelahiran yang khusus.
Tulku diketemukan dengan berbagai
bentuk ujian yang sangat ketat dengan hati-hati oleh lembaga agama pada
masyarakat Tibet. Salah satu bentuk ujian yang standar adalah kemampuan seorang
Tulku untuk memilih objek yang diberikan dihadapannya, terutama benda-benda
milik pendahulunya,yang biasa digunakan dan kelak akan digunakan olehnya. Tulku
sering sekali membuat orang Barat menjadi terheran heran(yang pola pemikiran
filosofisnya sangat [22]bergantung
pada logika Barat). Hal ini dikarenakan oleh sikap dewasa yang luar biasa,.
Serta jiwa dan martabat yang sudah diperlihatkan pada usianya yang masih begitu
muda.[23]
·
Acharya
dan Abhiseka
Istilah Acharya sebenarnya merupakan
istilah yang telah umum dalam agama Buddha, baik Theravada, Mahayana dan
Tantrayana. Acharya adalah seorang
Guru yang mentahbiskan seoreang siswa yang berusaha untuk melatih diri dan
menghayati ajaran Buddha Dharma. Pada umumnya seorang Acharya tersebut
adalah anggota Sangha atau Pandita yang berfungsi sebagai guru spiritual di
bidang moralitas atau pengenalan Dharma.
Hubungan antara seorang siswa dengan
Acharya sering diibaratkan seperti
hubungan seorang anak dengan ayahnya. Seorang Acharya harus dapat
memberikan contoh dan suri tauladan yang positif kepada siswanya, disamping
juga harus dapat membimbing sang siswa untuk menuju pengertian benar dan
mengkoreksi hal-hal yang negatif.
Setelah belajar sekian lamanya, baru
dapat dilaksanakan suatu upacara pentahbisan yang disebut Abhiseka. Abhiseka
dan dapat dilaksanakan setelah mendapatkan latihan-latihan yang cukup matang.
Pada upacara Abhiseka hendaknya
diutamakan mutunya daripada jumlahnya, sehingga tidak terjadi hal-hal yang
simpang siur. Seseorang siswa yang di abhiseka kan seorang Acharya harus memiliki syarat-syarat bhakti, sila dan
penyerahan diri.[24]
- Chau Ming, beberapa Aspek tentang Agama Buddha
Mahayana, Jakarta 1987, Sasana 1994, Filsafat Buddhis Mahayana 1985
- Mulyadi Wahono SH, Pokok-pokok Dasar Agama Buddha,
Ditjen Bimas Hindu Buddha Depag RI Jakarta1992.
- dr.DK.Widya,Sejarah Perkembangan Agama Buddha, ditjen
Bimas Hindu & Buddha Depag RI-UT Jakarta 1993,
- Dr.Pdt.HS.Rusli MSA PhD. Teori dan Praktek
Tantra-Vajrayana,IBC Medan 1982.
- Ven. Narada mahathera,Sang Buddha &
Ajaran-ajarannya, Yayasan Dhammadipa Arama 1996.
- S.Widyadharma,Dhamma Sari Jakarta 1990.
- Kiprah Kasogatan Jakarta 1994
- Drs.D.Dharmakusumah, Alam Kematian sementara (Bardo
Thodol), Jakarta 1992.
- Drs.R.Soekmono, Pengantar Sejarah kebudayaan Indonesia,
Jakarta 1973.
- Sanghyang Kamahayanikan, Ditjen Bimas Hindu &
Buddha Depag RI, Jakarta 1979.
D. DAFTAR PUSTAKA
·
Ali, Mukti,Agama
agama dunia cet pertama, Pt hanindita
offset , jogjakarta, 1988
·
Conze. Edward Sejarah Singkat Agama Buddha.
Oneworld Publication. 2010
·
J.R. Honing,Ilmu Agama. BPK Gunung
Mulia, Jakarta: 1997
·
Tim penyusun,
Kapita selekta Agama Budha, cv Dewi
kayana Abadi, jakart; 2003
·
T, suwartoBuddha
Dharma Mahayana. Majelis Buddha Mahayana Indonesia. Jakarta: 1995
·
di akses pada tanggal 15 maret 2013 http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_057.shtml
·
di akses pada tanggal 12 maret 2013
http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_057.shtml
[2]suwarto, Budha Darma Mahayana, Majelis agama budha
mahayan indonesia; jakarta 1995 h . 120
[5]Suwarto. T, Buddha Dharma
Mahayana. Majelis Buddha Mahayana Indonesia. Jakarta: 1995 hal.439
[8]Honig, J.R. Ilmu Agama. BPK Gunung Mulia,
Jakarta: 1997 hal.236
[10] ibid budha mahayana, majelis agama budha mahayana di indonesia h. 128
[11]http.wikipedia.vajrayana.com
[12]http://www.sckirteh.com/forum/index.php?topic=24.5;wap2
[13]
Mukti ali, Agama agama dunia cet pertama,
Pt hanindita offset, jogjakarta, 1988 h. 188
[14]Ibid
hal. 440
[15]
ibid , ilmu Agama h 236
[16] Tim penyusun, Kapita selekta Agama Budha, cv
Dewi kayana Abadi, jakarta; 2003 , h. 153
[17] http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_057.shtml
[19]
Ibid h 54
[20]
Ibid 54
[21]
http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_056.shtml
[22]
Ibid h 56
[23]
http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_056.shtml