KEYAKINAN
TERHADAP KITAB SUCI
TRIPITAKA
(SUTRA PITAKA,
VINAYA PITAKA, ABIDHARMA PITAKA
DAN
BAGIAN-BAGIANNYA)
Makalah
Disusun untuk
Memenuhi
Syarat pada
Matakuliah Buddhisme
Oleh :
Dede Ardi
Hikmatullah
NIM :
1111032100037
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
A.
PENDAHULUAN
Setiap agama pasti memiliki sesuatu yang dikategorikan sebagai ‘kitab
suci’. Kitab suci merupakan salah satu unsur penting di dalam sebuah agama. Karena
dari kitab suci itulah kita dapat mengetahui banyak hal yang berkaitan dengan
agama yang bersangkutan, seperti konsep ketuhanan, ajaran, ritual-ritual
peribadatan, hukum dan peraturan, dan banyak lagi yang lainnya. Selain sebagai
unsur, kitab suci juga dapat dikatakan sebagai ‘jendela’ yang bisa digunakan
untuk melihat lebih jauh sebuah agama. Banyak ahli yang dapat mengetahui dan
memahami sebuah agama secara mendalam hanya dengan mengkaji kitab sucinya. Dari
sini kita bisa melihat betapa pentingnya peran sebuah kitab suci dalam sebuah
agama.
Terlepas dari benar atau salahnya suatu hal yang terdapat di dalam
sebuah kitab suci, kita tidak bisa memungkiri bahwa dari situlah sebenarnya
agama terbentuk. Permasalahan mengenai suatu kitab suci itu merupakan ‘wahyu’
Tuhan atau hanya ‘buatan’ manusia, tidaklah seharusnya menjadi persoalan yang
harus kita kaji. Karena terkadang masing-masing agama tertentu memiliki
penjelasan tertentu berkaitan dengan pengertian kitab suci tersebut. Hal ini
menyebabkan pengertian kitab suci menurut agama yang satu berbeda dengan
pengertian kitab suci menurut agama yang lain.
Sebagai contoh, kitab suci agama Buddha. Dalam agama Buddha tidak
ada pengklaiman bahwa kitab suci mereka merupakan ‘wahyu’ Tuhan, karena agama
Buddha sendiri tidak secara khusus membahas dan mengajarkan konsep ketuhanan. Dalam
agama Buddha hanya diajarkan bahwa semua yang terdapat dalam kitab suci mereka
merupakan perkataan-perkataan dari sang Buddha Gautama yang berbentuk khotbah, keterangan,
peraturan, syair, percakapan sang Buddha dengan siswanya, dan lain-lain. Sang
Buddha sendiri hanya seorang manusia yang kemudian mendapatkan ‘pencerahan’,
sehingga menjadi suci. Perkataan-perkataan yang dianggap suci ini kemudian
dikumpulkan dan dijadikan kitab suci.
Pembentukan kitab suci ini tidaklah singkat. Perkataan-perkataan
tersebut tentu tidak langsung berbentuk tulisan. Karena sekitar empat abad,
agama Buddha hidup dari ‘tradisi’ yang diteruskan secara lisan oleh pemimpin-pemimpin
agama Buddha yang hidup pada abad-abad
pertama yang kemungkinan merupakan siswa dan pengikut sang Buddha. Kemudian
dilakukanlah pengumpulan-pengumpulan tradisi yang diteruskan secara lisan tadi,
seperti khotbah-khotbah, kata-kata mutiara, syair, cerita-cerita,
peraturan-peraturan, dan lain-lain. Pengumpulan tersebut kemudian dikelompokkan
menjadi tiga kelompok yang dikenal sebagai ‘pitaka’, yang secara bahasa berarti
‘keranjang’. Tiga kelompok pitaka yang berhasil dikumpul itu terdiri
dari: Sutra Pitaka atau Sutta Pitaka, Winaya Pitaka, dan Abbidharma Pitaka atau
Abbidhamma Pitaka[1].
Ketiga ‘pitaka’ inilah yang mereka klaim sebagai kitab suci yang kemudian
disebut “Tripitaka”.
Memang ada beberapa poin utama yang seharusnya kita pahami mengenai
kitab suci Tripitaka ini, seperti pengertiannya, sejarah penulisannya,
kanonisasinya, penjelasan mengenai bagian-bagian dari Tripitaka itu sendiri,
serta perbedaan antara aliran Theravada (Hinayana) dan Mahayana dalam hal
menjadikan kitab suci Tripataka sebagai pedoman ajaran agama. Dalam makalah
sederhana ini semua poin tersebut akan dibahas namun hanya secara ringkas dan
sederhana.
B.
SEJARAH KITAB SUCI TRIPITAKA
Beberapa
minggu setelah Sang Buddha wafat (483 SM) seorang Bhikkhu tua yang tidak
disiplin bernama Subhaddha berkata : "Janganlah bersedih kawan-kawan,
janganlah meratap, sekarang kita terbebas dari Pertapa Agung yang tidak akan
lagi memberitahu kita apa yang sesuai untuk dilakukan dan apa yang tidak, yang
membuat hidup kita menderita, tetapi sekarang kita dapat berbuat apa pun yang
kita senangi dan tidak berbuat apa yang tidak kita senangi" (Vinaya Pitaka
II,284).[2] Namun,
Maha Kassapa Thera tidak setuju dengan apa yang diucapkan oleh Bhikkhu
Subhaddha, beliau kemudian berkata: “Mari
avuso, kita akan membabarkan Dharma dan
Vinaya, sebelum apa yang bukan Dharma
mendapat angin dan berkembang, dan sebelum apa yang bukan Vinaya mendapat angin
dan berkembang, Vinaya akan terdesak, sebelum mereka yang berbicara tentang apa
yang bukan Dharma
menjadi kuat dan mereka yang berbicara tentang Dharma menjadi lemah, sebelum mereka bicara tentang
bukan Vinaya menjadi kuat dan mereka yang bicara tentang Vinaya menjadi lemah.”[3]
Sehingga pada akhirnya, Maha Kassapa
Thera
pun memutuskan untuk mengadakan Pesamuan Agung (Konsili) di Rajagaha.
Dengan
bantuan Raja Ajatasattu dari Magadha, 500 orang Arahat berkumpul di Gua
Sattapanni, dekat Rajagaha, untuk mengumpulkan ajaran Sang Buddha yang telah
dibabarkan selama ini dan menyusunnya secara sistematis. Yang Ariya Ananda,
siswa terdekat Sang Buddha, mendapat kehormatan untuk mengulang kembali
khotbah-khotbah Sang Buddha dan Yang Ariya Upali mengulang Vinaya
(peraturan-peraturan). Dalam Pesamuan Agung Pertama inilah dikumpulkan seluruh
ajaran yang kini dikenal sebagai Kitab Suci Tipitaka (Pali). Mereka yang
mengikuti ajaran Sang Buddha seperti tersebut dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali)
disebut Pemeliharaan Kemurnian Ajaran.[4] Pada
mulanya Tipitaka (Pali) ini diwariskan secara lisan dari satu generasi ke
genarasi berikutnya.[5]
Satu abad kemudian terdapat sekelompok Bhikkhu yang berniat hendak mengubah
Vinaya. Menghadapi usaha ini, para Bhikkhu yang ingin mempertahankan Dhamma-Vinaya
sebagaimana diwariskan oleh Sang Buddha Gotama menyelenggarakan Pesamuan Agung
Kedua dengan bantuan Raja Kalasoka di Vesali, di mana isi Kitab Suci Tipitaka
(Pali) diucapkan ulang oleh 700 orang Arahat. Kelompok Bhikkhu yang memegang
teguh kemurnian Dhamma-Vinaya ini menamakan diri Sthaviravada, yang kelak
disebut Theravãda. Sedangkan kelompok Bhikkhu yang ingin mengubah Vinaya
menamakan diri Mahasanghika, yang kelak berkembang menjadi mazhab Mahayana.
Jadi,
seabad setelah Sang Buddha Gotama wafat, Agama Buddha terbagi menjadi 2 mazhab
besar Theravãda dan Mahayana.[6] Pesamuan
Agung Ketiga diadakan di Pattaliputta (Patna) pada abad ketiga sesudah Sang
Buddha wafat (249 SM) dengan pemerintahan di bawah Kaisar Asoka Wardhana.
Kaisar ini memeluk Agama Buddha dan dengan pengaruhnya banyak membantu
penyebarkan Dhamma ke suluruh wilayah kerajaan. Pada masa itu, ribuan gadungan
(penyelundup ajaran gelap) masuk ke dalam Sangha dangan maksud meyebarkan
ajaran-ajaran mereka sendiri untuk meyesatkan umat. Untuk mengakhiri keadaan
ini, Kaisar menyelenggarakan Pesamuan Agung dan membersihkan tubuh Sangha dari
penyelundup-penyelundup serta merencanakan pengiriman para Duta Dhamma ke
negeri-negeri lain. Dalam Pesamuan Agung Ketiga ini 100 orang Arahat mengulang
kembali pembacaan Kitab Suci Tipitaka (Pali) selama sembilan bulan. Dari titik
tolak Pesamuaan inilah Agama Buddha dapat tersebar ke suluruh penjuru dunia dan
terhindar lenyap dari bumi asalnya.
Pesamuan
Agung keempat diadakan di Aluvihara (Srilanka) di bawah lindungan Raja
Vattagamani Abhaya pada permulaan abad keenam sesudah Sang Buddha wafat (83
SM). Pada kesempatan itu Kitab Suci Tipitaka (Pali) dituliskan untuk pertama
kalinya. Tujuan penulisan ini adalah agar semua orang mengetahui kemurnian
Dhamma Vinaya. Jika diurutkan keempat Pesamuan (Sidang Agung) tersebut akan
tergambar seperti berikut.
1.
Sidang Agung I (Konsili I)
Sidang
Agung I diadakan pada tahun 543 SM (3 bulan setelah bulan Mei) dan berlangsung
selama 2 bulan. Sidang ini dipimpin oleh Y.A. Maha Kassapa Thera dan dihadiri
oleh 500 orang Bhikkhu yang semuanya telah mencapai tingkat Arahat. Sidang
diadakan di Goa Satapani di kota Rajagaha. Sponsor sidang agung ini adalah Raja
Ajatasatu.[7]
Tujuan dari sidang pertama ini adalah untuk menghimpun
ajaran-ajaran Buddha Gotama yang diberikan di tempat-tempat yang berlainan,
pada waktu-waktu yang berbeda dan kepada orang-orang yang berlainan pula selama
45 tahun.[8] Mengulang Dhamma dan Vinaya agar ajaran Sang Buddha tetap murni,
kuat, melebihi ajaran-ajaran lainnya.[9] Dalam sidang tersebut Y.A. Upali
mengulang tata tertib bagi para bhikkhu dan bhikkhuni (Vinaya) dan Y.A. Ananda
mengulang khotbah-khotbah (Sutta) Buddha Gotama. Ajaran-ajaran ini dihafalkan
di luar kepala dan diajarkan lagi kepada orang lain dari mulut ke mulut. Kesimpulan
dari sidang pertama ini adalah Sangha tidak akan menetapkan hal-hal mana yang
perlu dihapus dan hal-hal mana yang harus dilaksanakan, juga tidak akan
menambah apa-apa yang telah ada. Mengadili Y.A. Ananda. Mengucilkan Chana.
Agama Buddha masih utuh.
2.
Sidang Agung II (Konsili II)
Sidang
Agung II diadakan pada tahun 443 SM (100 tahun sesudah Sidang Agung I) dan
berlangsung selama 4 bulan. Dipimpin oleh Y.A. Revata dan dibantu oleh YA. Yasa
serta dihadiri oleh 700 Bhikkhu. Sidang diadakan di Vesali. Sponsor sidang
agung ini adalah Raja Kalasoka. Dalam sidang kedua ini kesalahan-kesalahan
Bhikkhu-Bhikkhu dari suku Vajjis yang melangggar pacittiya dibicarakan, diakui
bahwa mereka telah melanggar Vinaya dan 700 Bhikkhu yang hadir menyatakan
setuju. Pengulangan Vinaya dan Dhamma, yang dikenal dengan nama "Satta
Sati" atau "Yasathera Sanghiti" karena Bhikkhu Yasa dianggap
berjasa dalam bidang pemurnian Vinaya.[10]
Sidang ini diadakan untuk membicarakan
tuntutan segolongan bhikkhu (golongan Mahasangika), yang menghendaki agar
beberapa paraturan tertentu dalam Vinaya, yang dianggap terlalu keras, diubah
atau diperlunak. Dalam sidang ini golongan Mahasangika memperoleh kekalahan dan
sidang memutuskan untuk tidak mengubah Vinaya yang sudah ada.[11]
3.
Sidang Agung III (Konsili III)
Sidang Agung III ini diadakan pada
tahun 313 SM (atau sekitar 230 tahun setelah Sidang Agung I), di ibukota
Kerajaan Asoka yaitu Pataliputta dan dipimpin oleh Y.A. Tissa Moggaliputta.
Sponsor Sidang Agung ini adalah Raja Asoka dari Suku Mauriya. Tujuan sidang ini
adalah untuk menertibkan perbedaan pendapat yang mengaktifkan perpecahan
didalam Sangha. Di samping itu,
sidang juga memeriksa kembali dan menyempurnakan kanon (kitab suci) Pali dalam
rangka memurnikan ajaran Sang Buddha. Raja Asoka meminta agar para Bhikkhu
mengadakan upacara Uposatha setiap bulan, agar Bhikkhu Sangha bersih dari
oknum-oknum yang bermaksud tidak baik.[12]
Sidang
ini menghasilkan keputusan untuk menghukum Bhikkhu-Bhikkhu selebor. Selain itu, dalam sidang ini ajaran
Abhidhamma diulang secara terperinci dan tersendiri oleh Y.A. Maha Kassapa,
sehingga lengkaplah sudah kanon Pali yang terdiri atas tiga kelompok besar
(Vinaya, Sutta, dan Abidhamma) walaupun masih belum dituliskan dalam
kitab-kitab dan masih dihafal di luar kepala.[13]
Jadi pengertian Tipitaka mulai lengkap (timbul) pada Konsili III. Y.A. Tissa
memilih 10.000 orang Bhikkhu Sangha yang benar-benar telah memahami Ajaran Sang
Buddha untuk menghimpun Ajaran tersebut menjadi Tipitaka dan perhimpunan
tersebut berlangsung selama 9 bulan. Pada saat itu Sangha sudah terpecah dua,
yaitu: Theravãda (Sthaviravada) dan Mahasanghika. Sementara itu ada ahli
sejarah yang mengatakan bahwa pada Konsili III ini bukan merupakan konsili
umum, tetapi hanya merupakan suatu konsili yang diadakan oleh Sthaviravada.[14]
4.
Sidang Agung IV (Konsili IV)
Diadakan
pada masa pemerintahan Raja Vattagamani Abhaya (tahun 101 - 77 SM). Dipimpin
oleh Y.A. Rakhita Mahathera dan dihadiri oleh 500 Bhikkhu. Sidang diadakan di
Alu Vihara (Aloka Vihara) di Desa Matale, Srilanka. Tujuan dari sidang keempat
ini adalah mencari penyelesaian karena melihat terjadinya
kemungkinan-kemungkinan yang mengancam Ajaran-ajaran dan kebudayaan-kebudayaan
Agama Buddha oleh pihak-pihak lain. Keputusan sidang ini adalah supaya Tipitaka
disempurnakan komentar dan penjelasannya serta menuliskan Tipitaka dan
komentarnya di atas daun lontar. Konsili ini diakui sebagai konsili yang ke IV
oleh sekte Theravada.[15] Dan pada akhirnya, Sidang ini berhasil
secara resmi menulis ajaran-ajaran Buddha Gotama di daun-daun lontar yang
kemudian dijadikan buku Tipitaka dalam bahasa Pali. Kitab Suci Tipitaka terdiri
atas: Vinaya Pitaka, Sutta Pitaka, dan Abhidhamma Pitaka.[16]
Sebagai
tambahan pengetahuan dapat dikemukakan bahwa pada abad pertama sesudah Masehi,
Raja Kaniska dari Afganistan mengadakan Pesamuan Agung yang tidak dihadiri oleh
kelompok Theravãda. Bertitik tolak pada Pesamuaan ini, Agama Buddha mazhab
Mahayana berkembang di India dan kemudian meyebar ke negeri Tibet dan Tiongkok.
Pada Pasamuan ini disepakati adanya kitab-kitab suci Buddhis dalam Bahasa
Sanskerta dengan banyak tambahan sutra-sutra baru yang tidak terdapat dalam
Kitab Suci Tipitaka (Pali).
Dengan
demikian, Agama Buddha mazhab Theravãda dalam pertumbuhannya sejak pertama
sampai sekarang, termasuk di Indonesia, tetap mendasarkan penghayatan dan
pembabaran Dhamma - Vinaya pada kemurnian Kitab suci tipitaka (Pali) sehingga
dengan demikian tidak ada perbedaan dalam hal ajaran antara Theravãda di Indonesia
dengan Theravada di Thailand, Srilanka, Burma maupun di negara-negara lain.
Sampai abad ketiga setelah Sang Buddha wafat mazhab Sthaviravada terpecah
menjadi 18 sub mazhab, antara lain: Sarvastivada, Kasyapiya, Mahisasaka,
Theravãda dan sebagainya. Pada dewasa ini 17 sub mazhab Sthaviravada itu telah
lenyap. Yang masih berkembang sampai sekarang hanyalah mazhab Theravãda (ajaran
para sesepuh). Dengan demikian nama Sthaviravada tidak ada lagi. Mazhab
Theravãda inilah yang kini dianut oleh negara-negara Srilanka, Burma, Thailand,
dan kemudian berkembang di Indonesia dan negara-negara lain.[17]
Untuk
Pesamuan Agung kelima sendiri diadakan di Mandalay (Birma), pada abad ke 20
sesudah Sang Buddha wafat (tahun 1871 M) dengan bantuan Raja Mindon. Hasil penting pada pesamuan ini yaitu kitab Suci Tripitaka yang diprasastikan (dipahatkan) pada 729 buah lempengan marmer
(batu pualam) dan diletakkan di bukit Mandalay. Dan Pesamuan Agung keenam
diadakan di Rangoon pada hari Vesakha puja tahun Buddhis 2498 dan berakhir pada
tahun Buddhis 2500 atau tahun 1956 Masehi.[18]
C.
BAGIAN-BAGIAN KITAB SUCI TRIPITAKA
Ajaran
agama Buddha bersumber pada kitab Tripitaka yang merupakan kumpulan khotbah,
keterangan, perumpamaan, dan percakapan yang pernah dilakukan sang Buddha
dengan para siswa dan pengikutnya. Dengan demikian, isi kitab tersebut semuanya
tidak hanya berasal dari kata-kata sang Buddha sendiri melainkan juga kata-kata
dan komentar-komentar dari para siswanya[19].
Oleh para siswanya sumber ajaran tersebut dipilah menjadi tiga kelompok besar
yang dikenal dengan ‘pitaka’ (keranjang), yaitu Sutra Pitaka atau Sutta Pitaka,
Winaya Pitaka, dan Abbidharma Pitaka atau Abbidhamma Pitaka.
a.
Sutra Pitaka
Sutra (bahasa Sansakerta) atau Sutta (bahasa Pali) mempunyai arti
sederhana yaitu ‘benang’. Benang adalah tali halus yang dipintal dari kapas
atau sutera, yang gunanya untuk menjahit atau merangkai sesuatu. Setiap khotbah
Hyang Buddha seperti kata-kata yang dirangkai menjadi satu dengan indah dan
satu sama lain tidak dapat dipisahkan, tidak acak-acakan serta tidak saling
bertentangan, oleh sebab itu khotbah Hyang Buddha disebut ‘sutra’[20].
Sutra-sutra itu dikumpulkan dan disusun menjadi satu disebut Sutra Pitaka.
Sutra Pittaka sendiri berisi dharma (dalam bahasa Pali: dhamma)
atau ajaran Buddha kepada muridnya[21].
Kitab Sutra Pitaka juga memuat uraian-uraian tentang cara hidup yang berguna
bagi para bhikku atau biksu dan pengikut yang lain.[22] Kitab
ini terdiri atas lima 'kumpulan'
(nikaya) atau buku, yaitu:[23]
- Dighanikaya, Dighanikaya terdiri dari 34 sutra panjang terbagi menjadi tiga vagga :
Sîlakkhandhavagga, Mahavagga dan Patikavagga. Beberapa di antara sutta-sutta
yang terkenal ialah : Brahmajala Sutta (yang memuat 62 macam pandangan salah),
Samannaphala Sutta (menguraikan buah kehidupan seorang petapa), Sigalovada
Sutta (memuat patokan-patokan yang penting bagi kehidupan sehari-sehari umat
berumah tangga), Mahasatipatthana Sutta (memuat secara lengkap tuntunan untuk
meditasi Pandangan Terang, Vipassana), Mahaparinibbana Sutta (kisah mengenai
hari-hari terakhir Sang Buddha Gotama)
- Majjhimanikaya, merupakan
buku kedua dari Sutta Pitaka yang memuat kotbah-kotbah menengah. Buku ini terdiri
atas tiga bagian (pannasa); dua pannasa pertama terdiri atas 50 sutta dan pannasa
terakhir terdiri atas 52 sutta; seluruhnya berjumlah 152 sutta. Beberapa sutta
di antaranya ialah : Ratthapala Sutta, Vasettha Sutta, Angulimala Sutta,
Anapanasati Sutta, Kayagatasati Sutta dan sebagainya.
- Angutaranikaya, merupakan
buku ketiga dari Sutta Pitaka, yang terbagi atas sebelas nipata (bagian) dan
meliputi 9.557 sutta. Sutta-sutta disusun menurut urutan bernomor, untuk
memudahkan pengingatan.
- Samyuttanikaya, merupakan
buku keempat dari Sutta Pitaka yang terdiri atas 7.762 sutta. Buku ini dibagi
menjadi lima vagga utama dan 56 bagian yang disebut Samyutta.
- Khuddakanikaya, terdiri atas 15 kitab.
a. Khuddakapatha, berisi empat teks: Saranattaya,
Dasasikkhapada, Dvattimsakara, Kumarapañha, dan lima sutta : Mangala, Ratana,
Tirokudda, Nidhikanda dan Metta Sutta.
b. Dhammapada, terdiri
atas 423 syair yang dibagi menjadi dua puluh enam vagga. Kitab ini telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
c. Udana, merupakan
kumpulan delapan puluh sutta, yang terbagi menjadi delapan vagga. Kitab ini
memuat ucapan-ucapan Sang Buddha yang disabdakan pada berbagai kesempatan.
d. Itivuttaka, berisi
110 sutta, yang masing-masing dimulai dengan kata-kata : vuttam hetam bhagava
(demikianlah sabda Sang Bhagava).
e. Sutta Nipata, terdiri
atas lima vagga : Uraga, Cûla, Maha, Atthaka dan Parayana Vagga. Empat vagga
pertama terdiri atas 54 prosa berirama, sedang vagga kelima terdiri atas enam
belas sutta.
f. Vimanavatthu, menerangkan
keagungan dari bermacam-macam alam deva, yang diperoleh melalui
perbuatan-perbuatan berjasa.
g. Petavatthu, merupakan
kumpulan cerita mengenai orang-orang yang lahir di alam Peta akibat dari
perbuatan-perbuatan tidak baik.
h. Theragatha, kumpulan
syair-syair, yang disusun oleh para Thera semasa hidup Sang Buddha. Beberapa
syair berisi riwayat hidup para Thera, sedang lainnya berisi pujian yang
diucapkan oleh para Thera atas Pembebasan yang telah dicapai.
i. Therigatha, buku
yang serupa dengan Theragatha yang merupakan kumpulan dari ucapan para Theri
semasa hidup Sang Buddha.
j. Jataka, berisi
cerita-cerita mengenai kehidupan-kehidupan Sang Buddha yang terdahulu.
k. Niddesa, terbagi
menjadi dua buku : Culla-Niddesa dan Maha-Niddesa. Culla-Niddesa berisi
komentar atas Khaggavisana Sutta yang terdapat dalam Parayana Vagga dari Sutta
Nipata; sedang Maha-Niddesa menguraikan enam belas sutta yang terdapat dalam
Atthaka Vagga dari Sutta Nipata.
l. Patisambhidamagga, berisi uraian skolastik tentang jalan
untuk mencapai pengetahuan suci. Buku ini terdiri atas tiga vagga : Mahavagga,
Yuganaddhavagga dan Paññavagga, tiap-tiap vagga berisi sepuluh topik (katha).
m. Apadana, berisi
riwayat hidup dari 547 bhikkhu, dan riwayat hidup dari 40 bhikkhuni, yang
semuanya hidup pada masa Sang Buddha.
n. Buddhavamsa, terdiri
atas syair-syair yang menceritakan kehidupan dari dua puluh lima Buddha, dan
Buddha Gotama adalah yang paling akhir.
o. Cariyapitaka, berisi
cerita-cerita mengenai kehidupan-kehidupan Sang Buddha yang terdahulu dalam
bentuk syair, terutama menerangkan tentang 10 paramî yang dijalankan oleh
Beliau sebelum mencapai Penerangan Sempurna, dan tiap-tiap cerita disebut Cariya.
Kitab
Sutra Pitaka ini juga tidak hanya memuat ucapan-ucapan Buddha Gautama saja
melainkan ucapan para thera semasa hidupnya, dan juga riwayat hidup dari
para bhikku dan bhikkuni. Kitab-kitab tersebut antara lain adalah
kitab Dhammapada yang mengutarakan peristiwa yang terjadi dalam
kehidupan Buddha dan cara yang diajarkannya untuk menyembuhkan penyakit yang
terdapat dalam diri manusia. Buku ini terdiri atas 423 syair dan sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Selain Dhammapada juga ada
kitab Udana yang berisi ucapan-ucapan Buddha yang disampaikan pada
berbagai kesempatan, theragata yang merupakan kumpulan syair yang disusun
oleh para thera semasa Buddha masih hidup. Beberapa syair berisi riwayat
hidup para thera, dan lainnya berisi pujian yang diucapkan para thera
atas pembebasan yang telah mereka capai. Riwayat hidup Buddha yang terdahulu dan
kehidupan dari 25 Buddha lainnya juga diceritakan dalam Sutranikaya ini,
terutama kitab-kitab Jataka, Apadana, Buddhavamsa, dan Cariya Pitaka.[24]
b.
Vinaya Pitaka
Winaya
Pittaka berisi peraturan-peraturan untuk mengatur tata tertib sangha
atau jemaat, kehidupan sehari-hari para biksu atau bhikku atau rahib,
dan sebagainya[25].
Selain itu, kitab suci Vinaya Pitaka ini juga berisi peraturan-peraturan bagi
para Bhikku dan Bhikkuni.[26] dan terdiri atas Sutra Vibanga, Khandaka, dan
Parivawa[27].
- Kitab Sutra Vibanga berisi
peraturan-peraturan bagi para bhikkhu dan bhikkhuni. Bhikkhu-vibanga berisi 227
peraturan yang mencakup delapan jenis pelanggaran, di antaranya terdapat empat
pelanggaran yang menyebabkan dikeluarkannya seorang bhikkhu dari sangha
dan tidak dapat menjadi bhikkhu
lagi seumur hidup. Keempat
pelanggaran itu adalah : berhubungan kelamin, mencuri, membunuh atau
menganjurkan orang lain bunuh diri, dan membanggakan diri secara tidak benar
tentang tingkat-tingkat kesucian atau kekuatan-kekuatan batin luar biasa yang
dicapai. Untuk ketujuh jenis pelanggaran yang
lain ditetapkan hukuman dan pembersihan yang sesuai dengan berat ringannya
pelanggaran yang bersangkutan. Bhikkhuni-vibanga berisi peraturan-peraturan
yang serupa bagi para Bhikkhuni, hanya jumlahnya lebih banyak.
- Kitab Khandaka terbagi
atas Mahavagga dan Cullavagga. Kitab Mahavagga berisi peraturan-peraturan dan
uraian tentang upacara penahbisan bhikkhu, upacara Uposatha pada saat bulan
purnama dan bulan baru di mana dibacakan Patimokkha (peraturan disiplin bagi
para bhikkhu), peraturan tentang tempat tinggal selama musim hujan (vassa),
upacara pada akhir vassa (pavarana), peraturan-peraturan mengenai jubah Kathina
setiap tahun, peraturan-peraturan bagi bhikkhu yang sakit, peraturan tentang
tidur, tentang bahan jubah, tata cara melaksanakan sanghakamma (upacara
sangha), dan tata cara dalam hal terjadi perpecahan. Sedangkan Kitab Cullavagga berisi
peraturan-peraturan untuk menangani pelanggaran-pelanggaran, tata cara
penerimaan kembali seorang bhikkhu ke dalam Sangha setelah melakukan
pembersihan atas pelanggarannya, tata cara untuk menangani masalah-masalah yang
timbul, berbagai peraturan yang mengatur cara mandi, mengenakan jubah,
menggunakan tempat tinggal, peralatan, tempat bermalam dan sebagainya, mengenai
perpecahan kelompok-kelompok bhikkhu, kewajiban-kewajiban guru (acariya) dan
calon bhikkhu (samanera), pengucilan dari upacara pembacaan Patimokkha,
penahbisan dan bimbingan bagi bhikkhuni, kisah mengenai Pesamuan Agung Pertama
di Rajagaha, dan kisah mengenai Pesamuan Agung Kedua di Vesali
- Parivara memuat ringkasan dan pengelompokan peraturan Vinaya yang
disusun dalam bentuk tanya jawab untuk dipergunakan dalam pengajaran dan ujian.
Skema umum isi
Vinaya Pitaka[28]:
- Bagian yang berhubungan
dengan Pratimoksa atau Patimokha, yaitu peraturan-peraturan untuk para biksu
atau bikkhu yang dinamakan ‘bagian bhikku’ (bhikku vibhanga).
- Bagian yang sama untuk para bhikkuni.
- Suatu bagian yang dinamakan ‘khandhaka’ (kelompok), tiap-tiap
kelompok berhubungan dengan suatu aspek khusus mengenai kehidupan dari sangha,
seperti pentahbisan, upasattha, memenuhi ketentuan-ketentuan yang
berhubungan dengan pakaian, jubah, obat-obatan, makanan, tempat tinggal, dan
lain sebagainya.
c.
Abbidharma Pitaka
Abidharma atau abhidhamma adalah susunan ceramah dan perkembangan
logika tentang dharma dari ajaran Hyang Buddha, membahas filsafat dan
metafisika, juga sastra, memberikan definisi kata-kata Buddha Dharma,
dan penjelasan terperinci mengenai filsafat dengan sistematis, memantapkan
suatu metode mengenai latihan spiritual oleh para sesepuh dari aliran atau sekte
pada waktu itu, kumpulan dari kitab Abidharma ini dinamakan Abidharma
Pitaka[29].
Sehingga Abbidharma Pitaka berisi ajaran yang lebih mendalam mengenai hakikat
dan tujuan hidup manusia, ilmu pengetahuan yang membawa pada kelepasan dan lain
sebagainya[30].
Abbidharma
Pitaka juga berisi uraian filsafat Buddha-dharma yang disusun
secara analitis dan mencakup berbagai bidang seperti ilmu jiwa, sastra, logika,
etika, dan metafisika. Kitab ini terdiri dari 7 buah buku, yaitu:
Dhammasangani, Vibhanga, Dathukatha, Puggalapannatti, Kathavatthu, Yamaka, dan
Patthana. Berbeda dengan kitab Sutra Pitaka dan Vinaya Pitaka yang menggunakan
bahasa naratif, sederhana dan mudah dimengerti umum, gaya bahasa kitab
Abbidharma Pitaka bersifat sangat teknis dan analitis[31]. Kitab ini terdiri atas tujuh buah buku
(pakarana), yaitu :
1. Dhammasangani, terutama menguraikan etika dilihat
dari sudut pandangan ilmu jiwa.
2. Vibhanga, menguraikan apa yang terdapat dalam
buku Dhammasangani dengan metode yang berbeda. Buku ini terbagi menjadi delapan
bab (vibhanga), dan masing-masing bab mempunyai tiga bagian : Suttantabhajaniya,
Abhidhannabhajaniya dan Pññapucchaka atau daftar pertanyaan-pertanyaan.
3. Dhatukatha, terutama membicarakan mengenai
unsur-unsur batin. Buku ini terbagi menjadi empat belas bagian.
4. Puggalapaññatti, menguraikan mengenai jenis-jenis watak
manusia (puggala), yang dikelompokkan menurut urutan bernomor, dari kelompok
satu sampai dengan sepuluh, sepserti sistim dalan Kitab Anguttara Nikaya.
5. Kathavatthu, terdiri atas dua puluh tiga bab yang
merupakan kumpulan percakapan-percakapan (katha) dan sanggahan terhadap
pandangan-pandangan salah yang dikemukakan oleh berbagai sekte tentang hal-hal
yang berhubungan dengan theologi dan metafisika.
6. Yamaka, terbagi menjadi sepuluh bab (yang
disebut Yamaka) : Mûla, Khandha, Ayatana, Dhatu, Sacca, Sankhara, Anusaya,
Citta, Dhamma dan Indriya.
7. Patthana, menerangkan mengenai
"sebab-sebab" yang berkenaan dengan dua puluh empat Paccaya
(hubungan-hubungan antara batin dan jasmani).
Namun,
selain pengelompokan di atas, kitab-kitab agama Buddha juga dapat dibagi
menjadi dua bagian, yaitu kitab-kitab Sutra dan kitab-kitab Sastra. Kitab Sutra
adalah kitab-kitab yang dipandang berisi
ucapan Buddha sendiri meskipun ditulis jauh sesudah ia meninggal dunia,
sedangkan kitab Sastra adalah uraian-uraian yang ditulis oleh para tokoh yang
ternama. Uraian-uraian tersebut biasanya disusun secara sistematis[32].
Menurut
aliran Hinayana yang dianggap sebagai kitab-kitab Sutra ialah kitab-kitab yang
dulu dikumpulkan pada Muktamar Buddhis pertama, sekitar tahun 383 S.M. Dan
semua kitab yang muncul setelah itu tidak diakui keasliannya. Namun, berbeda
dengan Hinayana, aliran Mahayana berpendapat bahwa kitab-kitab Sutra yang
muncul setelah Muktamar pertama pun dipandang asli dan diyakini diucapkan oleh
sang Buddha sendiri.
Dengan
demikian, berkaitan dengan kitab suci
Tripitaka yang merupakan sumber ajaran agama Buddha seperti yang telah
diterangkan di atas, ada dua pandangan
yang beda, yakni antara golongan Theravada dan Mahayana. Golongan pertama
menganggap bahwa kitab Tripitaka yang dikumpulkan pada Pasamuan Agung yang
pertama tahun 483 S.M. saja yang dapat dianggap sebagai ajaran yang diajarkan
sendiri oleh Buddha, sedangkan golongan Mahayana selain menerima Tripitaka
sebagai sumber ajarannya juga menjadikan kitab-kitab Sutra dan Sastra sebagai sumber
ajarannya. Kitab-kitab tersebut antara lain adalah Karandavyriha,
Sukhavatiyuha, Lalitavistara, Mahayanacradhautpada, Saddharmapundarika,
Madyamika-sutra, Yogacara-bhumi-sastra, Milindapanha, dan lain-lain[33].
D.
PERBEDAAN KITAB SUCI TRIPITAKA PADA ALIRAN HINAYANA DAN MAHAYANA
Seluruh naskah aliran Theravada
(Hinayana) menggunakan bahasa Pali, yaitu bahasa yang dipakai di sebagian India
(Khususnya daerah Utara) pada zaman Sang Buddha. Cukup menarik untuk dicatat,
bahwa tidak ada filsafat atau tulisan lain dalam bahasa Pali selain kitab suci
agama Buddha Theravada, yang disebut kitab suci Tipitaka, oleh karenanya,
istilah "ajaran agama Buddha berbahasa Pali” sinonim dengan Agama Buddha
Theravada. Agama Buddha Theravada dan beberapa sumber lain berpendapat, bahwa
Sang Buddha mengajarkan semua ajarannya dalam bahasa Pali, di India, Nepal dan
sekitarnya selama 45 tahun terakhir hidupnya, sebelum Beliau mencapai
Parinibbana.
Seluruh naskah aliran Mahayana pada
awalnya berbahasa Sansekerta dan dikenal sebagai Tripitaka. Oleh karena itu
istilah Agama Buddha berbahasa Sansekerta sinonim dengan agama Buddha Mahayana.
Bahasa Sansekerta adalah bahasa klasik dan bahasa tertua yang dipergunakan oleh
kaum terpelajar di India, selain naskah agama Buddha Mahayana, kita menjumpai
banyak catatan bersejarah dan agama, atau naskah filsafat tradisi setempat
lainnya ditulis dalam bahasa Sansekerta.[34]
Hal inilah yang menyebabkan kitab suci dalam
Hinayana berbahasa Pali dengan sedikit campuran bahasa Sanskrit, sedangkan kitab
suci dalam Mahayana murni dalam bahasa Sanskrit. Kitab suci Hinayana yang
tertulis dalam bahasa Pali itulah yang dinamakan Tipitaka, sedangkan kitab suci
Mahayana yang tertulis dalam bahasa Sanskrit dinamakan Tripitaka-Mahayana (Mahatripitaka)
dengan bagian-bagian tertentu yang jumlahnya lebih banyak, Tripitaka-Mahayana
mencakup Tipitaka Hinayana, tetapi Tipitaka Hinayana tidak mencakup
Tripitaka-Mahyana.[35]
Secara umum, para Bhikkhu dari
aliran Theravada maupun Mahayana tidak menyediakan waktunya untuk mempelajari
ajaran di luar ajaran yang dianutnya. Namun demikian walaupun mereka mengetahui
sedikit ajaran yang lain, mereka rupanya menghafalkan ajaran yang terdapat
dalam kitab suci yang dianutnya (terutama Theravada). Alasan untuk tidak mempelajari
ajaran yang lain, karena isi setiap kitab suci satu aliran amat banyak. Jika
kitab suci kedua aliran tersebut dikumpulkan menjadi satu, kira-kira tiga set
buku Encyclopedia Britannica.[36]
Alasan lain, jelaslah berkenaan
dengan pandangan psikologi bahwa seseorang akan lebih memperhatikan ajaran yang
dianutnya. Tujuan utama sebagian besar bhikkhu dari kedua aliran ini adalah
praktik, bukan pemujaan.. Dari semua alasan di atas, hanya sedikit bhikkhu yang
menyediakan waktu dan tenaganya untuk membuka mata pada ajaran yang lain selain
ajaran yang dianutnya.
Berkaitan dengan kitab suci yang
dijadikan pedoman oleh masing-masing aliran (Hinayana dan Mahayana), pembagian
isi di dalamnya dapat dilihat pada tabel berikut.[37]
Sebagai tambahan, sutra-sutra dari aliran Hinayana juga terdapat dalam Tripitaka Mahayana
dengan sebutan Agama Sutra (A Han Cing). Agama Sutra sebagian besar isinya
tidak berbeda dengan apa yang terdapat di Nikaya Pali. Agama Sutra ini terdiri
dari : Dhirghagama, Madhyamagama, Samyuktagama, dan Ekottarikagama.[38]
Dalam
Tripitaka Mahayana terdapat pula tujuh kitab Abhidharma dari golongan Sarvastivada
(berbeda dengan Abhidhamma Pali), yaitu: Jnanaprasthana, Samgitiprayaya, Prakaranapada,
Vijnanakayasya, Dhatukaya, Dharmaskandha, Prajnaptisastra.[39]
E.
PENUTUP
Dari paparan di atas, sekiranya teranglah bahwa memang suatu agama
akan memiliki pandangan khusus mengenai kitab sucinya. Pandangan itu memang
tidak akan sama, namun demikianlah kitab suci sebagai unsur penting agama
ditempatkan dalam agama. Agama Buddha dengan pandangan sendiri, menempatkan
Tripitaka sebagai kitab suci yang didalamnya memuat ‘perkataan-perkataan’ sang
Buddha Gautama di tempatkan pada kedudukan khusus. Kitab suci ini memang
memiliki sejarah yang tidak singkat, di mulai dengan di hafal secara lisan oleh
siswa-siwa dan pengikut sang Buddha, dikumpulkan oleh para pemuka-pemuka agama
saat itu, ditulis dan dibentuk sehingga menjadi sebuah ‘kitab’, dan selanjutnya
kemudian di kanosisasikan.
Kitab suci Tripitaka milik agama Buddha ini tidak serumit seperti
halnya kitab suci milik agama Hindu. Tripitaka hanya terdiri dari tiga kelompok
-yang disebut ‘keranjang’ (pitaka)- yang didalamnya juga terbagi lagi ke dalam
bagian-bagian yang lebih spesifik. Hanya saja yang menarik, setiap aliran dalam
agama Hindu kebanyakan memiliki ‘khas’nya masing-masing perihal kitab suci ini.
F.
DAFTAR PUSTAKA
Hadikusuma, Hilman. 1983. Antropologi
Agama. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Hadiwijono, Harun. 2010. Agama
Hindu dan Buddha. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
http://www.facebook.com/artikelbuddhis/perbedaan-dan-persamaan-antara-theravada-dan-mahayana.html
http://www.wihara.com/forum/theravada/4197-secara-ringkas-mahayana-dan-hinayana-theravada.html
Mulki, Ardian. 2002. Sekilas
Tentang Buddha. Surabaya: CV Mutiara Publisher.
Romdhon, dkk. 1988. Agama-Agama
di Dunia. Jakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press.
T., Suwarto. 1995. Buddha Dharma
Mahayana. Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia.
[1]
Harun
Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia,
2010), h. 63
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Tipi%E1%B9%ADaka, diakses pada hari Minggu 05 Mei
2013, pukul 21.50 WIB.
[3] http://www.tripitaka.info/index.php/mengenal-tripitaka, diakses pada hari Minggu 05 Mei
2013, pada pukul 21.00 WIB.
[4] http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=5414.0, diakses pada hari Minggu 05 Mei
2013, pada pukul 22.00 WIB.
[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Tipi%E1%B9%ADaka, diakses pada hari Minggu 05 Mei
2013, pada pukul 21.50 WIB.
[6]
http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=5414.0, diakses pada hari Minggu 05 Mei
2013, pada pukul 22.00 WIB.
[7] http://id.wikipedia.org/wiki/Tipi%E1%B9%ADaka, diakses pada hari Minggu 05 Mei
2013, pada pukul 21.50 WIB.
[8] http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka/, diakses pada hari Senin 06 Mei 2013,
pada pukul 23.15 WIB.
[9]
http://tanhadi.blogspot.com/2011/04/sejarah-tipitaka-kitab-suci-agama.html, diakses pada hari Senin 06 Mei 2013,
pada pukul 22.00 WIB.
[10]
http://id.wikipedia.org/wiki/Tipi%E1%B9%ADaka, diakses pada hari Minggu 05 Mei
2013, pada pukul 21.50 WIB.
[11]
http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka/, diakses pada hari Senin 06 Mei 2013,
pada pukul 23.15 WIB.
[12]
http://tanhadi.blogspot.com/2011/04/sejarah-tipitaka-kitab-suci-agama.html, , diakses pada hari Senin 06 Mei
2013, pada pukul 22.00 WIB.
[13]
http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka/, diakses pada hari Senin 06 Mei 2013,
pada pukul 23.15 WIB.
[14]
http://id.wikipedia.org/wiki/Tipi%E1%B9%ADaka, diakses pada hari Minggu 05 Mei
2013, pada pukul 21.50 WIB.
[15]
http://id.wikipedia.org/wiki/Tipi%E1%B9%ADaka, diakses pada hari Minggu 05 Mei
2013, pada pukul 21.50 WIB.
[16]
http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka/, diakses pada hari Senin 06 Mei 2013,
pada pukul 23.15 WIB.
[17]
http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=5414.0, diakses pada hari Minggu 05 Mei
2013, pada pukul 22.00 WIB.
[18]
http://www.tripitaka.info/index.php/mengenal-tripitaka, diakses pada hari Minggu 05 Mei
2013, pada pukul 21.00 WIB.
[19]
Romdhon, dkk., Agama-Agama di Dunia, (Jakarta: IAIN Sunan
Kalijaga Press, 1988), h. 112
[20]
Suwarto T., Buddha Dharma Mahayana. (Palembang: Majelis
Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995), h. 844
[21]
Harun
Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, h. 63
[22]
Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
1983), h. 215
[23]
Romdhon, dkk., Agama-Agama di Dunia, h. 112
[24]
Romdhon, dkk., Agama-Agama di Dunia, h. 113
[25] Harun
Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha. h. 63
[26] Hilman
Hadikusuma, Antropologi Agama, h.214
[27]
Romdhon, dkk., Agama-Agama di Dunia, h. 112
[28] Suwarto
T., Buddha Dharma Mahayana. h. 843
[29] Suwarto
T., Buddha Dharma Mahayana. h. 844
[30] Harun
Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, h. 63
[31]
Romdhon, dkk., Agama-Agama di Dunia, h. 113
[32] Harun
Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, h. 64
[33] Romdhon, dkk., Agama-Agama di
Dunia, h. 113
[34]
http://www.facebook.com/artikelbuddhis/perbedaan-dan-persamaan-antara-theravada-dan-mahayana.htm,
diakses pada hari Selasa 07 Mei 2013,
pada pukul 23.00 WIB.
[35] http://www.wihara.com/forum/theravada/4197-secara-ringkas-mahayana-dan-hinayana-theravada.html, diakses pada hari Senin 06 Mei 2013,
pada pukul 22.00 WIB.
[36]
http://www.facebook.com/artikelbuddhis/perbedaan-dan-persamaan-antara-theravada-dan-mahayana.html,
diakses pada hari Selasa 07 Mei
2013, pada pukul 23.00 WIB.
[37]
http://www.oocities.org/tokyo/garden/9609/Tipitaka/GuideToTipitaka1.htm, diakses pada hari Senin 06 Mei 2013,
pada pukul 22.30 WIB
[39] Ardian
Mulki, Sekilas Tentang Buddha, h. 58
0 comments:
Posting Komentar