Makalah Ajaran Tentang Sangha

MAKALAH
AJARAN TENTANG SANGHA
(TINGKAT KESUCIAN DAN KEDUDUKAN SANGHA)


Makalah
Disusun untuk Memenuhi
Syarat pada Matakuliah Bahasa Indonesia



Oleh :
Mylinda Chairunnisa


JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA


2013

A.    Pendahuluan
Agama Budha disebut mempunyai pengaruh besar di Indonesia sebab agama budha merupakan agama yang paling awal tersebar di Indonesia setelah agama hindhu. Agama budha muncul sekitar abad ke 6 SM,sebagai reaksi terhadap agama hindu yang dianggap terlalu kaku. Istilah Budha berarti “Budhh” yang artinya bangkit, dan kata kerja “Bujjhati” yang berarti memperoleh pencerahan.
Umat Budha tidak memerlukan upacara persembahan atau pemujaan kepada para Dewa (Tuhan) tetapi mereka cukup melakukan Hasta Arya Marga. Berbeda dari agama yang lainnya agama Budha lebih mengutamakan penganutnya untuk berbuat (karma) membebaskan diri masing-masing dari dukkha untuk mencapai nirwana. Penyebab dari dukkha itu sendiri adalah keinginan (tanha) dan ketidaktahuan (avijja). Untuk dapat terbebas dari dukkha tersebut maka sesorang harus bisa melenyapkan/memadamkan keinginan yang terbelunggu didalam dirinya dengan melaksanakan Salah satu dari delapan jalan untuk melenyapkan penderitaan yaitu dengan melaksanakan sila (salah satunya dengan cara menjadi anggota sangha). Untuk dapat menjadi seorang sangha harus melalui beberapa tahapan-tahapan dan mematuhi dasa sila agama Buddha, selain itu juga terdapat beberapa tingkat kesucian yang harus dicapai bagi kelompok buddha sangha. Namun dilihat dari segi kelembagaan umat Budha dapat dibedakan dalam dua kelompok yaitu kelompok Wihara (Bihara) atau Sangha dan kelompok penganut agama yang awam.[1]
Oleh karena itu untuk memahami ajaran tentang sangha kita perlu mempelajari terlebih dahulu mengenai sejarah awal dan perkembangannya, sebelum kita membahasan yang lebih rinci tentang tingkat kesucian, kedudukan, serta tahapan-tahapan dalam memasuki kelompok sangha. Untuk itulah penulis akan memaparkan sedikit pemahamannya mengenai hal tersebut.

B.     Sejarah Sangha
Menurut sejarah agama Buddha beberapa minggu setelah Sidharta Gautama mencapai pencerahan maka ia membentuk Sangha yang pertama yang anggota-anggotanya terdiri dari Kondana, Badiya, Wappa, Mahanama, dan Asaji. Diantara kelima murid buddha tersebut yang mencapai tingkat Arahat adalah Kondana. Mereka merupakan contoh masyarakat buddha yang dapat menciptakan suasana yang diperlukan untuk mencapai hidup tertinggi atau Nirwana.[2]
Pasamuan-pasamuan sangha yang terjadi pada awal sejarah agama Budha telah melahirkan tradisi bagaimana Dhamma-Vinaya itu ditetapkan. Sekalipun pasamuan sangha itu bukan lembaga tertinggi, namun ketetapan yang diambil telah memberikan garis dalam sejarah agama Budha.[3]
a.        Pasamuan Sangha Pertama
Pada pasamuan sangha di Rajagaha yang diselenggarakan tidak lama setelah Sang Budha wafat, berdasarkan sumber-sumber Theravada dikemukkan bahwa pasamuan ini dilatarbelakangi oleh kekhawatiran Bikkhu Kassapa setelah mendengar pernyataan Bikkhu Sabhada “janganlah bersedih kawan-kawan, janganlah meratap, sekarang kita terbebas dari pertapa agung yang tidak akan lagi memberi tahu kita apa yang sesuai untuk dilakukan dan apa yang tidak, yang membuat hidup kita menderita; tetapi sekarang kita dapat berbuat apapun yang kita senangi dan tidak berbuat apa yang tidak kita senangi”, dengan kata lain para Bikkhu dapat melakukan apa yang diinginkan karena Sang Buddha sudah tiada. Bikkhu Kassapa, setelah mendengar kata-kata itu memimpin pasamuan agung (konsili). [4]
Dengan bantuan Raja Ajatasattu Magaddha, 500 orang arahat berkumpul di goa Sattapanni dekat Rajagaha untuk mengumpulkan ajaran Sang Budha yang telah diwedarkan selama ini dan menyusunnya secara sistematis. Y. A Ananda, siswa terdekat Sang Budha, mendapat kehormatan untuk mengulang kembali khotbah-khotbah Sang Budha dan Y. A Upali mengulang Vinaya (peraturan-peraturan). Dalam pasamuan agung yang pertama inilah mereka mengikuti ajaran Sang Budha seperti tersebut dalam kitab Vinaya-Pitaka, sebagaimana sabda Sang Budha yang terakhir: “Jadikanlah Dhamma dan Vinayasebagai pelita dan pelindung bagi dirimu”.[5]

b.        Pasamuan Sangha kedua
Pasamuan sangha yang kedua dilaksanakan di Vesali kira-kira seratus tahun setelah Sang Budha wafat dengan bantuan Raja Kalasoka. bermula dari adanya sekelompok Bikkhu yang hendak mengubah Vinaya. Pada konsili yang kedua ini kitab suci Tipitaka (Pali) diucapkan ulang oleh 700 orang arahat. Kelompok bikkhu yang memegang teguh kemurnian Dhamma Vinaya ini menamakan diri Sthaviravada, yang kelak disebut Theravada; sedangkan kelompok bikkhu yang ingin mengubah Vinaya menamakan diri Mahasanghika, yang kelak menjadi madzhab Mahayana.[6]
 Pasamuan sangha yang kedua ini mempunyai makna yang berbeda dari pasamuan sangha yang pertama. Pada pasamuan rajagaha tidak lain hanya pasamuan sangha belaka, tanpa pengambilan keputusan dalam bidang ajaran, melainkan menyatakan Dhamma Vinaya yang diajarkan Sang Buddha. Sedang pasamuan Vesali pada dasarnya merupakan suatu “vivadadhikarana”, yaitu penyelesaian perselisihan dalam lingkungan sangha.[7]

c.        Pasamuan Sangha Ketiga
Pasamuan Agung Ketiga diadakan di Pattaliputta (Patna) pada abad ke-3 setelah Sang Budha wafat (249 SM) pada masa pemerintahan Kaisar Asoka Wardana. Kaisar memeluk agama Budha dan dengan pengaruhnya banyak membantu penyebaran Dhamma ke seluruh wilayah kerajaan. Dalam pasamuan agung ketiga ini 100 orang arahat mengulang kembali bacaan kitab suci Tipitaka selama sembilan bulan. Dari titk tolak pasamuan inilah agama Budha dapat tersebar ke seluruh penjuru dunia dan terhindar lenyap dari bumi asalnya.[8]

C.     Tingkat kesucian Sangha
Buddha, Dharma, dan Sangha tidak dapat dipisah-pisahkan dalam pembahasannya. Jadi, kalau ada guru, maka harus ada ajaran dan juga harus ada siswa yang berhasil untuk membuktikan kebenaran ajaran sang guru tersebut. Oleh sebab itu, ketiga hal ini saling berkaitan. Dalam Khuddakanikaya, Khuddakapatha, dijelaskan beberapa perumpamaan dari Triratna di antaranya yaitu:


 


















Secara kelembagaan umat Budha dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok masyarakat kewiharaan atau sangha dan kelompok masyarakat awam. Kelompok pertama terdiri dari Bhikkhu, Bhikkhuni, Samanera dan Samaneri. Mereka menjalani kehidupan suci untuk meningkatkan nilai-nilai kerohanian dan kesusilaan serta tidak menjalani hidup keluarga. Kelompok masyarakat awam terdiri dari Upasaka dan Upasaki yang telah menyatakan diri berlindung kepada Budha, dharma dan sangha serta melaksanakan prinsip-prinsip moral bagi umat awam dan hidup berumah tangga.[9]
Pada saat itu ada enam puluh orang siswa Arahat di dunia. Dengan Para suci ini sebagai inti, Sang Budha mendirikan satu kelompok silibat yang demokratis dalam peraturan dan pemerataan dalam pembagian. Anggota semula dari masyarakat yang sangat terpandang dan semua terpelajar serta kaya, tetapi persaudaraan para siswa terbuka untuk semua, tidak memandang kasta, kelas atau golongan. Baik muda maupun tua, berasal dari semua kasta, bebas memasuki Sangha dan hidup sebagai saudara dalam satu keluarga tanpa perbedaan. [10] Dengan enam puluh Arahat, sebagai utusan Kesunyataan yang baik, Sang Budha memutuskan untuk memperkenalkan ajaran Dhamma mulia Beliau, membeberkan ajaran hanya untuk mereka yang bermaksut untuk mendengarkannya.
Sang Budha menyadari sulitnya menjalankan Delapan Ruas Jalan Suci seraya memelihara kehidupan keluarga, maka beliau membentuk komunitas egaliter, Sangha yang mula-mula hanya terdiri dari bhikkhu, tetapi kemudian juga beranggotakan para bhikkhuni. Dengan hidup didalam suatu komunitas, para calon anggota sangha akan saling mendukung dan melihat betapa tempat pengajaran Dharma itu disampaikan ke berbagai generasi pencarian kebenaran. Sangha merujuk pada aturan para bhikkhu dan anggota kaum awam. Bhikkhu pertama ditahbiskan oleh Sang Budha, tetapi dengan makin banyaknya golongan, para bhikkhu bisa menerima anggota baru.
Sang Budha menjelaskan rincian mengenai Kesunyataan Mulia yang keempat yang kemudian disebut dengan Delapan Ruas Jalan Suci ini. Semua anggota baru melakukan suatu deklarasi yang dikenal sebagai Tiga Permata Agama Budha (atau Tri-Ratna), yakni deklarasi yang dinyatakan oleh semua umat Budha hingga saat ini.
1.      Aku berlindung kepada Budha (sebagai bukti bahwa pembebasan mengakhiri penderitaan)
2.      Aku berlindung kepada Dharma (untuk pengetahuan dan pengertian mengenai hukum kosmis)
3.      Aku berlindung kepada Sangha (untuk mendapatkan dukungan praktis dan spiritual)
Pada mulanya sang Budha tidak membuat aturan yang tegas untuk Sangha. Beliau hanya sekedar meminta agar anggota-anggotanya berjanji untuk menjalani hidup yang etis. Berbagai aturan rincian mengenai sangha yang masih ada dalam teks Vinaya Pitaka mencakup semua aspek keberadaan biara, terutama hubungannya dengan anggota lain di dalam komunitas dan populasi kaum awam yang ditemui oleh bhikku dan bhikkuni ketika mengumpulkan sumbangan berupa makanan sehari-hari. [11]
Etika Budhis itu ketat. Pikiran, ucapan, atau perbuatan apa pun yang menyakiti makhluk hidup lainnya akan menimbulkan bencana bagi pemeluknya sesuai dengan hukum karma, sehingga para bhikkhu dan bhikkhuni biasanya adalah vegetarian. Para bhikku tidur di tempat tisur yang sederhana agar tidak terlalu kekenyangan atau terlalu sedikit menikmati kenyamanan dan kepemilikan pun dibatasi hingga hanya berupa hal-hal yang hakiki. Dengan memiliki sesuatu secara berlebihan berarti mencuri dari orang lain yang mungkin lebih membutuhkan.
Sangha adalah bentuk masyarakat keagamaan yang terbuka bagi setiap umat untuk masuk dan bergabung ke dalamnya, dengan melalui tahap-tahab tertentu, baik pria ataupun wanita. Seseorang yang masuk dan bergabung ke dalam sangha berarti akan hidup dalam ‘Wihara’(biara) tanpa lagi memiliki rumah tempat kediaman dan hidup sebagai petapa. 
Sangha ialah persaudaraan para bhiksu, bhiksuni(pada waktu permulaan dibentuk). Kemudian, ketika agama Budha Mahayana berkambang para anggotanya selain para bhiksu, bhiksuni, dan juga para umat awam yang telah upasaka dan upasika dengan bertekat pada kenyataannya tindak-tanduknya untuk menjadi seorang Bodhisattava, menerima dan memperaktekkan pancasila Budhis ataukah Bodhisattva Sila.
Arya Sangha semata-mata terdiri dari para Bodhisattva yang telah memasuki tingkat kedua atau lebih mengenai jalan penerangan atau penceraha tertinggi. Sebagian dari Bodhisattva mungkin kehidupannya sebagai bhiksu dan lainnya sebagai umat awam. [12]
Sangha adalah perhimpunan para bhikkhu. Kata Sangha bukan berarti semata-mata sebagai kelompok para bhikkhu, namun lebih berarti sebagai para bhikkhu yang berkumpul untuk menjalankan suatu tugas kegiatan tertentu.
Untuk melakukan suatu kegiatan tertentu maka Sangha baru sah jika minimal dihadiri oleh empat orang bhikkhu yang disebut catuvagga. Jadi kalau hanya ada tiga orang bhikkhu, maka itu bukan Sangha. Khusus untuk pentahbisan seorang bhikkhu (upasampada), maka Sangha minimal harus dihadiri oleh lima orang bhikkhu (pancavagga). Sedang untuk sidang pengadilan bagi seorang bhikkhu yang melakukan pelanggaran tertentu, maka Sangha baru sah jika dihadiri oleh minimal duapuluh orang bhikkhu (visativagga). Inilah yang sebenarnya disebut Sangha. Jadi kalau ada beberapa orang bhikkhu tinggal divihara, tetapi tidak melakukan sesuatu tugas, maka ini tak dapat disebut Sangha.[13]
Sangha yang berarti pesamuan atau persaudaraan para Bhikkhu. Kata Sangha pada umumnya ditujukan untuk sekelompok Bhikkhu. Ada 2 jenis Sangha (persaudaraan para Bhikkhu), yaitu:
1.     Sammuti Sangha = persaudaraan para Bhikkhu biasa, artinya yang belum mencapai tingkat-tingkat kesucian.
2.     Ariya Sangha = persaudaraan para Bhikkhu suci, artinya yang telah mencapai tingkat-tingkat kesucian.
Persyaratan untuk dapat memasuki Sangha sebenarnya, selama periode-periode tertentu dan di beberapa tempat, orang-orang secara tidak pandang buluh diizinkan untuk memasuki Sangha, dan penahbisan lebih lanjut diakui secara sembarang. Hal ini sangat mengkhawatirkan umat Buddha Cina untuk waktu yang sangat lama. Menurut sejarah, saat agama Buddha mencapai puncak kejayaan bukanlah masa ketika populasi para biksu paling banyak. Bahkan sebaliknya, sering terjadi kasus ketika populasi biksu semakin banyak, agama Buddha malah semakin merosot tajam. Contohnya pada masa awal Dinasti Tang, banyak biksu yang dikeluarkan dari Sangha. Pada masa Y.A. Xuan Zhuang, penerimaan ke dalam Sangha dikontrol secara ketat. Calon biksu harus terlebih dahulu melewati suatu ujian khusus. Seperti Y.A. Xuan Zhuang, agar dapat diterima menjadi biksu, dia harus melalui banyak prosedur yang sulit. Karena itu, agar seluruh biksu dinegeri tersebut harus ditasbih ulang sebagai anggota Sangha. Sebagai hasil dari sistem teorganisasinya yang ketat, populasi sangha turun dari 100,000 menjadi 10,000. Sisanya yang tidak memenuhi syarat atau tidak ingin ditahbis ulang dipaksa untuk melepaskan jubahnya. [14]
Yang dimaksut dengan Sangha menurut ajaran agama Budha ialah Pasamuan dari makhluk-makhluk suci yang disebut “Arya Punggala” yaitu mereka yang sudah mencapai buah kehidupan beragama yang ditandai dengan kesatuan pandangan yang bersih dengan sila yang sempurna. Tingkat kesucian yang mereka capai itu mulai dari tingkat sotapatti, sakadagami, anagami, sampai tingkat arahat.
·         Tingkat kesucian yang mereka capai itu mulai dari:
§  Sotapatti
Tingkat pertama ini adalah di mana seseorang masih harus menjelma tujuh kali lagi sebelum sampai nirwana. Pada tingkat ini seseorang masih harus berusaha mematahkan belenggu ‘kemayaan’ Akunya (Sakkayaditthi), keragu-raguan (vicikiccha), dan ketahayulan (silabataparamasa) sebelum mereka dapat meningkat ke tingkat kedua yaitu Sakadagami.
§  Sakadagami
Sakadagami ialah orang suci tingkat kedua yang telah membasmi atau mematahkan sebanyak tiga belenggu pada tingkatan sotapanna ditambah dua belenggu, yaitu kamaraga (kecintaan indrawi) dan patiggha (kemarahan atau kebencian).[15] Tingkat kedua ini adalah di mana seseorang itu harus menjelma sekali lagi sebelum mencapai nirwana. Ia harus dapat membangkitkan ‘kundalini’ sebelum naik ke tingkat ketiga ‘Anagami’
§  Anagami
Tingkat ketiga kesucian ini adalah dimana seseorang tidak perlu lagi menjelma untuk mencapai nirwana, namun ia harus mematahkan belenggu ‘kamaraga’ (kecintaan indrawi), ‘pategha’ (kemarahan atau kebencian). Setelah ia berhasil mematahkan belenggu tersebut barulah ia naik ke tingkat ‘Arahat’ dan dapat langsung mencapai Nirwana didunia ayau setelah wafatnya.
Setelah mencapai tingkat ini jika ia melihat, mendengar, mencium, makan, minum, meraba dan sebagainya, tidak ada lagi rasa senang atau benci, hatinya diliputi oleh kedamaian. Pada tingkatan inilah menurut kepercayaan agama Budha orang dapat mengetahui kebenaran yang hakiki dari segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Ia dapat melihat makhluk-makhluk halus dan alam kedewaan, yang tidak dapat diketahui oleh orang-orang biasa. Untuk menjelaskan masalah ini kita dapat mengambil contoh orang yang melihat air dalam gelas dengan menggunakan mikroskop dan orang yang melihatnya dengan mata kepala belaka. Orang yang pertama tersebut akan melihat bakteri-bakteri atau basil-basil dalam air itu, sedangkan orang yang kedua tidak akan melihatnya.[16]
§  Arahat
Tingkat keempat kesucian ini di mana seseorang itu harus mematahkan belenggu sebagai berikut:
- Keinginan untuk hidup dalam ruparaga (bentuk)
- Keinginan untuk hidup arupara (tanpa bentuk)
- Kecongkakan (mano)
- Kegoncangan batin (udaccha)
- Kekurangan kebijaksanaan (avijja)
Seorang Arahat adalah seseorang yang telah melenyapkan  segala hawa nafsu dan keinginannya, sehingga ia tidak teringat dengan apapun. Mungkin akan timbul pertanyaan, apa mungkin seseorang yang tidak mempunyai keinginan apapun masih bisa meneruskan hidupnya, sedangkan untuk hidup orang terikat pada banyak hal. Hal ini bisa dibandingkan dengan kipas angin yang meskipun angin sudah tidak bertiup, tetapi ia masih berputar karena didorong oleh sisa-sisa kekuatan sebelumya. Begitu juga Arahat, sebetulnya ia telah melenyapkan segala nafsu dan keinginannya termasuk keinginan untuk hidup, tetapi ia masih hidup sekedar meneruskan pelaksanaan hukum karma sebelumnya. Ibarat lampu yang sudah habis minyaknya, maka nyala yang masih ada merupakan sisa terakhir dan akhirnya padam.[17]
Selain empat tingkatan diatas menurut agama Budha masih ada tingkatan ‘Asekha’ atau orang yang sempurna (sabbanu) yang tidak perlu belajar lagi di bumi ini, di antaranya Sidharta Gautama yang telah mencapai tingkat kebudhaan tanpa harus belajar atau berguru kepada orang lain.[18]
Untuk dapat mencapai tingkat-tingkat kesucian, maka mereka harus dapat mematahkan 'belenggu' yang mengikat mahluk pada roda kehidupan. Belenggu ini disebut Samyojana. Ada 10 jenis belenggu yang harus dipatahkan bertahap sehubungan dengan pencapaian tingkat-tingkat kesucian, yaitu:
1.      Sakkayaditthi = kepercayaan tentang adanya diri / kepemilikan / atta yang kekal dan terpisah.
2.      Vicikiccha = keraguan terhadap Buddha dan ajarannya.
3.      Silabbataparamasa = kepercayaan tahyul, bahwa dengan upacara sembahyang saja, dapat membebaskan manusia dari penderitaan.
4.      Kamachanda / kamaraga = hawa nafsu indera
5.      Byapada / patigha = kebencian, dendam, itikad jahat.
6.      Ruparaga = keinginan untuk hidup di alam yang bermateri halus.
7.      Aruparaga = keinginan untuk hidup di alam tanpa materi.
8.      Mana = kesombongan, kecongkakan, ketinggihatian.
9.      Uddhacca = kegelisahan, pikiran kacau dan tidak seimbang.
10.  Avijja = kegelapan / kebodohan batin.
Mereka yang telah terbebas dari 1 - 3 adalah mahluk suci tingkat pertama (Sotapanna) yang akan tumimbal lahir paling banyak tujuh kali lagi.
Mereka, yang disamping telah terbebas dari 1 - 3, dan telah dapat mengatasi / melemahkan no. 4 dan 5, disebut mahluk suci tingkat kedua (Sakadagami), yang akan bertumimbal lahir lagi hanya sekali di alam nafsu.
Mereka yang telah sepenuhnya bebas dari no. 1 - 5, adalah mahluk suci tingkat ketiga (Anagami), yang tidak akan tumimbal lahir lagi di alam nafsu).
Mereka yang telah bebas dari kesepuluh belenggu tersebut, disebut mahluk suci tingkat keempat (Arahat), yang telah terbebas dari kelahiran dan kematian, yang telah merealisasi Nibbana (Kebebasan Mutlak).
Selain ditinjau dari 'belenggu' yang mengikat pada roda kehidupan yang harus dipatahkan, pengertian mahluk suci ini juga dapat ditinjau dari segi Kekotoran batin (kilesa)-nya, yang telah berhasil mereka basmi. Ada 10 kilesa yang harus dibasmi sehubungan dengan pencapaian tingkat-tingkat kesucian tersebut, yaitu:[19]
1.      Lobha              = ketamakan
2.      Dosa                = kebencian
3.      Moha               = kebodohan batin
4.      Mana               = kesombongan
5.      Ditthi               = kekeliruan pandangan
6.      Vicikiccha       = keraguan (terhadap hukum kebenaran / Dhamma)
7.      Thina-Middha = kemalasan dan kelambanan batin
8.      Uddhacca        = kegelisahan
9.      Ahirika            = tidak tahu malu (dalam berbuat jahat)
10.  Anottappa       = tidak takut (terhadap akibat perbuatan jahat)
Sotapanna, dapat membasmi no. 5 dan 6; Sakadagami, dapat membasmi nomor 5 dan 6 serta melemahkan kilesa yang lainnya; Anagami, dapat membasmi nomor 5, 6 dan 2 serta melemahkan kilesa yang lainnya; Arahatta, dapat membasmi kesepuluh kekotoran batin tersebut.
Di dalam Anguttara Nikaya, Tikanipata 20/267, disebutkan tentang sifat-sifat mulia Sangha, yang disebut Sanghaguna. Ada 9 jenis Sanghaguna, yaitu:
1.      Supatipanno    = Bertindak / berkelakuan baik
2.      Ujupatipanno  = Bertindak jujur / lurus
3.      Nayapatipanno = Bertindak benar (berjalan di 'jalan' yang benar, yang     mengarah pada perealisasian Nibbana)
4.      Samicipatipanno = Bertindak patut, penuh tanggung jawab dalam tindakannya
5.      Ahuneyyo       = Patut menerima pemberian / persembahan
6.      Pahuneyyuo    = Patut menerima (diberikan) tempat bernaung
7.      Dakkhineyyo   = Patut menerima persembahan / dana
8.      Anjalikaraniyo = Patut menerima penghormatan (patut dihormati)
9.      Anuttaram punnakhettam lokassa = Lapangan (tempat) untuk menanam jasa yang paling luhur, yang tiada bandingnya di alam semesta.
Dalam Tiratana, yang dimaksud Sangha di sini berarti Ariya Sangha. Jadi berlindung kepada Ariya Sangha. Tidak berlindung kepada Sammuti Sangha; tetapi kita menghormati Sammuti Sangha karena para beliau ini mengemban amanat Sang Buddha sebagai penyebar Dhamma yang jalan hidupnya mengarah ke jalan Dhamma.
Para Bhikkhu Sangha yang selalu kokoh dalam Dhamma-Vinaya adalah merupakan ladang yang subur juga bagi para umat. Oleh karena itu para umat diharapkan juga bersedia berkewajiban menyokong agar para Bhikkhu Sangha kokoh dalam moralitas dan tindak-tanduknya.[20]
Sangha adalah inti masyarakat Budha yang dapat menciptakan suasana yang diperlukan untuk mencapai tujuan hidup tertinggi, yaitu Nirwana. Namun demikian, sangha tidak mempunyai kewajiban apapun terhadap umat Budha yang bersifat lahir lahiriyah. Hubungan yang terjalin adalah hubungan yang bersifat rohaniah. Sebagai suatu bentuk masyarakat keagamaan, sangha terbuka bagi setiap umat Budha untuk memasuki dan bergabung di dalamnya, dengan melalui tahap-tahap tertentu. Tahap pertama dimulai ketika umat Budha menerima jubah kuning dan memasuki persaudaraan para bhikku. Tahap ini dikenal dengan saat keluar dari kehidupan umat awam untuk memasuki hidup kewiharaan tanpa memiliki rumah tempat tinggal dan hidup sebagai pertapa. Sebelum secara penuh diterima sebagai seorang bhikku, ia diharuskan untuk menjalani hidup sebagai calon bhikkhu atau sementara dengan mengucapkan dan menepati “Dasa sila atau sepuluh janji”, tekun mempelajari dharma, menggunakan waktu luangnya untuk perenungan suci di bawah asuhan seseorang bhikku atau guru (acarya) yang dipilihnya sendiri. Setelah ia dapat melakukan semua itu, maka ia diterima secara penuh sebagai bhikkhu dalam suatu upacara penahbisan (upasampada) yang dihadiri oleh para sesepuh (thera-thera).[21]


D.    Kedudukan Sangha
Dalam sejarah agama Budha, sangha dibentuk sendiri oleh Sang Budha beberapa minggu setelah ia mencapai pencerahan. Anggotanya yang pertama adalah Kondana, Badiya, Wappa, Mahanama dan Asaji, yaitu murit-murit Sang Budha yang pertama kali. Di antara mereka, Kondana adalah murit pertama yang mencapai tingkat Arahat. Anggota Sangha adalah teladan dari cara hidup yang suci, menyampaikan Dharma atas permintaan umat dan membantu mereka dengan nasihat maupun penerangan batin dalam suka dan duka.
Sangha adalah inti masyarakat Budha yang dapat menciptakan suasana yang diperlukan untuk mencapai tujuan hidup tertinggi yaitu nirwana.
§  Sangha itu tidak berkewajiban apapun terhadap umat Budha yang sifatnya lahiriah. Namun ada hubungan rohaniah di mana para anggota Sangha merupakan:
-          Teladan cara hidup yang suci
-          Menyampaikan dharma atas permintaan umat
-          Membantu umat Budha dengan nasihat atau penerangan batin dalam suka dan  duka.
Sebaliknya dari umat Budha lainnya para anggota Sangha patut menerima pemberian (ahu neyyo), tempat berteduh (pahuneyyo), persembahan (dokkineyyo), penghormatan (anjali karananiyo) dan sebagai tempat menanam jasa yang tidak ada taranya di dunia (anuttaram panna khettam lokassaa)
§  Sangha tidak dapat dipisahkan dari dharma dan Budha, oleh karena ketiganya adalah ‘Triratna’ yang membentuk kesatuan tunggal dan merupakan manifestasi dari tiga asas dari Yang Mutlak di dunia. Hubungan ketiga unsur itu adalah:
-          Budha sebagai bulan purnama
-          Dharma sebagai sinar yang menerangi dunia
-          Sangha sebagai dunia yang bahagia menerima sinat itu.
Dengan istilah lain,
-          Budha bagaikan orang yang membakar hutan
-          Dharma bagaikan api yang memebakar hutan (kekotoran batin),
-          Sangha bagaikan padi atau jasa setelah hutan habis dibakar.[22]

E.     Organisasi Sangha[23]
Hingga pada pertengahan tahun 1970an umat Buddha di Indonesia terdiri dari banyak organisasi. Pada masa itu ada beberapa organisasi umat Buddha yang aktif di bidang pembinaan keagamaan tidak dibina oleh Sangha (yang ada waktu itu). Organisasi umat Buddha itu antara lain: Tridharma, Buddhis Indonesia, Persaudaraan Buddhis Indonesia, Federasi Buddhis Indonesia; juga ada banyak umat Buddha yang tadinya bergabung dengan organisasi umat Buddha yang telah ada, namun mereka keluar karena berpendapat tidak sesuai dengan kebijakan organisasinya. Para pimpinan organisasi umat Buddha ini sangat mendambakan agar umat Buddha anggota mereka mendapat pembinaan dari sangha, namun karena perbedaan organisasi (bukan organisasi yang dibina langsung oleh sangha) maka keinginan tersebut tidak terpenuhi. Keinginan mereka di antaranya adalah adanya khotbah, ceramah, penahbisan pandita, upasaka, pemberkahan perkawinan, rumah, kantor, dll.
Perbedaan pandangan dan kondisi-kondisi inilah, yang mungkin menyebabkan pada tanggal 12 Januari 1972 biku-biku ‘lulusan’ Wat Bovoranives’ Thailand ini: bhikkhu Girirakhito, bhikkhu Sumanggalo, bhikkhu Jinapiya(sekarang bhikkhu Thitaketuko), bhikkhu Jinaratana (sekarang Pandhit Kaharudin), bhikkhu Subhato (armahumah Moctar Rashid) yang notabene adalah murid beliau memisahkan diri – membentuk Sangha Indonesia. Namun dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1974 murid-murid ini (Sangha Indonesia) melebur kembali pada gurunya, Sayadaw Ashin Jinarakkhita di Maha Sangha Indonesia. Nama Maha Sangha Indonesia diubah menjadi Sangha Agung Indonesia(Sagin).
Sebelum diterima bhante Vin sebagai murid, beliau  beberapa kali meminta pada Mahawiku Dharma-aji Uggadhammo (Murid Sayadaw Ashin Jinarakkhita) untuk diterima menjadi samanera. Namun, karena pertimbangan masih kuliah, Mahawiku Dharma-aji Uggadhammo yang merupakan Nayaka Sangha Tantrayana Indonesia dan Anu Nayaka Sangha Agung Indonesia ini memintanya  menyelesaikan studi dulu. Jodoh dan karma memang  memiliki jalannya sendiri, sebelum menamatkan studi, pemuda Husodo bertemu dengan Bhante Vidhurdhammabhorn (bhante Vin), Oleh bhante Vin pemuda Husodo langsung diterima menjadi samanera. Hadir dalam pentahbisan  samanera  bhante Girirakkhito dan bhante Jinapiya (sekarang bhante Thitaketukho) dan beberapa samanera Sangha Agung Indonesia, waktu itu (STI) Sangha Theravada Indonesia belum ada. Namun, mereka ini adalah cikal berdirinya STI (Sangha Theravada Indonesia). Seperti biku-biku muda lainnya, 2 tahun menjadi samanera beliau dikirim bhante Vin untuk ditahbiskan  menjadi bhikkhu di Wat Bovoranives, Bangkok. [24]
Kian hari, putra-putra Indonesia yang ditahbiskan menjadi biku di Wat Bovoranives kian banyak. Oleh sifat eksklusik aliran Dhammayuttika sebagai Sangha-nya Raja, sudah dipastikan konflik yang ada saat mereka kembali ke Indonesia dan bergabung dengan biku-biku lain yang non Dhammayuttika, biku Mahayana dan Tantra maupun Theravada non Dhammayuttika dalam satu Sangha tidaklah mudah. Sebagai contoh: Sayadaw Ashin Jinarakkhita yang Nayaka Sangha Agung Indonesia sebagai pemimpin paling tinggi sekalipun tak diperkenankan ikut Patimoka dengan mereka?  Puncaknya tahun 1976, biku-biku ‘lulusan’ Wat Bovoranives yang merupakan murid binaan Bhante Vidhurdhammabhorn (bhante Vin) memutuskan keluar dari Sangha Agung Indonesia dan mendirikan Sangha Theravada Indonesia, atau lebih sering disingkat STI.
Berdasarkan pertimbangan di atas dan dengan dorongan keyakinan kepada Tiratana, maka dibentuklah SANGHA THERAVADA INDONESIA, di Vihara Maha Dhammaloka (sekarang Vihara Tanah Putih), Jalan dr. Wahidin 12, Semarang, pada tanggal 23 Oktober 1976. Adapun para bhikkhu yang mencetuskan gagasan dan membentuk Sangha Theravada Indonesia adalah 5 (lima) bhikkhu Indonesia:
  1. Bhikkhu Aggabalo
  2. Bhikkhu Khemasarano
  3. Bhikkhu Sudhammo
  4. Bhikkhu Khemiyo
  5. Bhikkhu Nyanavuttho
Pada saat itu Bhikkhu Sukhemo sedang menjalani masa vassa di Bangkok, sehingga beliau tidak turut menghadiri pembentukan Sangha Theravada Indonesia. Perlu diketahui bahwa para bhikkhu yang membentuk Sangha Theravada Indonesia tersebut di atas tidak pernah menjadi anggota dari organisasi Saingha yang sudah ada di Indonesia pada waktu itu. Pada awalnya kepemimpinan Sangha Theravada Indonesia dipegang oleh seorang Sekretaris Jenderal. Sekretaris Jenderal pertama Sangha Theravada Indonesia adalah Bhikkhu Aggabalo.
Tahun 1977 Bhikkhu Pannavaro dan Bhikkhu Subalaratano di-upasampada menjadi bhikkhu di Bangkok. Setelah kembali di tanah air, Bhikkhu Pannavaro menjadi Wakil Sekretaris Jenderal Sangha Theravada Indonesia pada tahun 1978.
Pada bulan Januari 1979, Bhikkhu Girirakkhito Thera secara resmi menjadi anggota Sangha Theravada Indonesia.
Tahun 1980 Bhikkhu Pannavaro menggantikan Bhikkhu Aggabalo menjadi Sekretaris Jenderal kedua Sangha Theravada Indonesia. Sedangkan Wakil Sekretaris Jenderal adalah Bhikkhu Khemasarano.[25]
Pada tanggal 19 November 1988 diadakan Pasamuan III/1988 Sangha Theravada Indonesia di Vihara Mendut, Magelang, yang dihadiri 14 bhikkhu peserta, salah satu keputusannya adalah perubahan kepemimpinan Sanigha Theravada Indonesia. Dibentuk Karaka Sangha Sabha (Dewan Pimpinan Sangha) Sangha Theravada Indonesia.
Susunan Karaka Sangha Sabha (Dewan Pimpinan Sangha) Sangha Theravada Indonesia, sebagai berikut:[26]
1.
Sangha Anusasanacariya (Penasehat)
:
Girirakkhito Mahathera
2.
Sanghanayaka (Ketua Umum)
:
Sri Pannavaro Thera
3.
Anu Sanghanayaka I (Wakil Ketua I dan Vinaya)
:
Sukhemo Thera
4.
Anu Sanghanayaka II (Wakil Ketua II)
:
Khemasarano Thera
5.
Anu Sanghanayaka III (Wakil Ketua III)
:
Girirakkhito Mahathera
6.
Sekretaris Jendral
:
Subalaratano Thera
7.
Asisten Sekretaris Jendral
:
Bhikkhu Jotidhammo

Pasamuan Sangha Theravada Indonesia Tahun 1989, di Brahmavihara Arama, Banjar, Singaraja, pada tanggal 25 November 1989, yang dihadiri 14 bhikkhu peserta, memutuskan perubahan istilah Anu Sanghanayaka menjadi Upa Sanghanayaka, dan mengubah Asisten Sekretaris Jenderal menjadi Wakil Sekretaris Jenderal.
Pasamuan Agung (Maha Sangha Sabha) Sangha Theravada Indonesia Tahun 1992, di Vihara Buddha Gaya, Watugong, Semarang, pada tanggal 27 November 1992, yang dihadiri 16 bhikkhu peserta, 1 bhikkhu peninjau, dan 1 bhikkhu Sanghanayaka, mengangkat Cittasanto Thera sebagai Upa Sanghanayaka (Wakil Ketua Umum) III.
Pasamuan Agung (Maha Sangha Sabha) Sangha Theravada Indonesia Tahun 1994, di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, Jakarta Utara, pada tanggal 18 November 1994, yang dihadiri 15 bhikkhu peserta dan 3 bhikkhu peninjau, mengangkat Bhikkhu Thitaketuko sebagai Upa Sanghanayaka (Wakil Ketua Umum) III.
Pasamuan Agung (Maha Saingha Sabha) Saingha Theravada Indonesia Tahun 1995, di Saung Paramita, Ciapus, Bogor, pada tanggal 4 November 1995, yang dihadiri 15 bhikkhu peserta, 5 bhikkhu peninjau, dan 1 bhikkhu Sanghanayaka, mengangkat Khemasarano Mahathera sebagai Sangha Anusasanacariya (Penasihat), dan Subalaratano Thera menjadi Upa Sanghanayaka (Wakil Ketua Umum) II. Sedangkan Bhikkhu Jotidhammo menjadi Sekretaris Jenderal.
Rapat Pimpinan I/1999 Sangha Theravada Indonesia di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, Jakarta Utara, pada tanggal 2 April 1999, mengangkat Bhikkhu Suddhimano sebagai Wakil Sekretaris Jenderal.
Rapat Pimpinan III/1999 Sangha Theravada Indonesia di Saung Nini, Cianjur, pada tanggal 11 Desember 1999, mengangkat Bhikkhu Cittagutto sebagai Wakil Sekretaris Jenderal menggantikan Bhikkhu Suddhimano.
Pasamuan Agung (Maha Sangha Sabha) Sangha Theravada Indonesia Tahun 1999 di Saung Nini, Cianjur, pada tanggal 11 Desember 1999, yang dihadiri 22 bhikkhu peserta, 4 bhikkhu peninjau, dan 1 bhikkhu Sainghanayaka, memutuskan restrukturisasi lembaga Sangha Theravada Indonesia. Struktur lembaga Saingha Theravada Indonesia yang baru mulai berlaku pada Pasamuan Agung (Maha Sangha Sabha) Sangha Theravada Indonesia Tahun 2000.
Pasamuan Agung (Maha Sangha Sabha) Sangha Theravada Indonesia Tahun 2000 di Panti Semedi Balerejo, Blitar, pada tanggal 26 Juni 2000, yang dihadiri 26 bhikkhu peserta,dan 1 bhikkhu Sanghanayaka, memutuskan pengangkatan:
a.       Dewan Sesepuh (Thera Samagama) Sangha Theravada Indonesia masa pengabdian tahun 2000 – 2005, terdiri:
1.      Sri Pannavaro Mahathera (Kepala Sangha /Mahanayaka)
2.      Sukhemo Mahathera (Wakil Kepala Sangha /Upa Mahanayaka)
3.      Sri Subalaratano Mahathera
4.      Khantidharo Thera
5.      Thitaketuko Thera
b.      Dewan Pimpinan (Karaka Sangha Sabha) Sangha Theravada Indonesia masa pengabdian tahun 2000 – 2003, terdiri:
1.
Ketua Umum (Sanghanayaka)
:
Dhammasubho Thera
2.
Wakil Ketua Umum (Upa Sanghanayaka)
:
Uttamo Thera
Rapat Pimpinan 11/2000 Sangha Theravada Indonesia di Panti Semedi Balerejo, Blitar, pada tanggal 27 Juni 2000, mengangkat:
1.
Sekretaris Jendral
:
Jotidhammo Thera
2.
Wakil Sekretaris Jendral
:
Bhikkhu Cittagutto
3.
Kepala Badan Pemeriksa Sanghadana
:
Bhikkhu Atimedho
4.
Wakil Kepala Badan Pemeriksa Sanghadana
:
Bhikkhu Suddhimano
5.
Koordinator Padesa Nayaka Wilayah Indonesia Barat
:
Bhikkhu Vijito
6.
Koordinator Padesa Nayaka Wilayah Indonesia Tengah
:
Jagaro Thera
7.
Koordinator Padesa Nayaka Indonesia Timur
:
Bhikkhu Suddhimano
8.
Ketua Bidang Vinaya (Adhikarana Nayaka)
:
Sukhemo Mahathera
9.
Wakil Ketua Bidang Vinaya (Upa Adikarana Nayaka)
:
Saddhaviro Thera
Rapat Pimpinan I/2002 Sangha Theravada Indonesia di Padepokan Dhammadipa Arama, Batu, pada tanggal 3 Maret 2002, mengangkat Subhapanno Thera sebagai Koordinator Padesa Nayaka Wilayah Indonesia Timur.
Pesamuan Agung (Maha Sangha Sabha) Sangha Theravada Indonesia Tahun 2003, di Vihara Dhammasoka, Banjarmasin, pada tanggal 17 Juni 2003, yang dihadiri 34 bhikkhu peserta, 6 bhikkhu peninjau, dan 2 bhikkhu Sanghanayaka/Upa Sanghanayaka, memutuskan pengangkatan:
Dewan Pimpinan (Karaka Sangha Sabha) Sangha Theravada Indonesia masa ‘pengabdian tahun 2003 – 2006, terdiri:
1.
Ketua Umum (Sanghanayaka)
:
Dhammasubho Thera
2.
Wakil Ketua Umum (Upa Sanghanayaka)
:
Jotidhammo Thera
3.
Sekretaris Jendral
:
Subhapanno Thera
4.
Wakil Sekretaris Jendral
:
Bhikkhu Dhammakaro
5.
Wakil Sekretaris Jendral
:
Bhikkhu Cittagutto
6.
Kepala Badan Pemeriksa Sanghadana
:
Bhikkhu Vijito
7.
Koordinator Padesa Nayaka Wilayah Indonesia Timur
:
Saddhaviro Thera
8.
Koordinator Padesa Nayaka Wilayah Indonesia Tengah
:
Jagaro Thera
9.
Koordinator Padesa Nayaka Wilayah Indonesia Barat
:
Atimedho Thera
10.
Ketua Bidang Vinaya (Adhikarana Nayaka)
:
Sukhemo Mahathera
11.
Wakil Ketua Bidang Vinaya (Upa Adhikarana Nayaka)
:
Uttamo Thera
Persamuhan Agung (Maha Sangha Sabha) Sangha Theravada Indonesia Tahun 2005 di Saung Paramita, Ciapus, Bogor, pada tanggal 11 Juni 2005, yang dihadiri 31 bhikkhu peserta, 6 bhikkhu peninjau, dan 2 bhikkhu peninjau khusus (Sanghanayaka / Upa Sarighanayaka), memutuskan:
a.       Pengangkatan Dewan Sesepuh (Thera Samagama) Sangha Theravada Indonesia masa pengabdian tahun 2005 – 2010, terdiri dari:
1.      Sukhemo Mahathera (Ketua / Mahanayaka)
2.      Sri Subalaratano Mahathera (Wakil Ketua / Upa Mahanayaka)
3.      Sri Pannavaro Mahathera
4.      Uttamo Thera
5.      Khantidharo Thera
6.      Thitaketuko Thera
7.      Urudha Dhammapiyo Thera
b.      Membentuk tim penyempurnaan struktur organisasi Sangha Theravada Indonesia untuk membuat rancangan struktur organisasi yang baru dan akan disahkan dalam Persamuhan Agung Sangha Theravada Indonesia Tahun 2006.
Rapat Pimpinan 11/2005 Sangha Theravada Indonesia di Saung Paramita, Ciapus, Bogor, pada tanggal 13 Juni 2005, mengangkat:
Kepala Badan Sanghadana : Bhikkhu Dhammakaro
Wakil Kepala Badan Sanghadana : Bhikkhu Cittanando
Sidang Persamuhan Agung (Mahasanghasabha) Sangha Theravada Indonesia Tahun 2006, di Brahmavihara Arama, Banjar, Singaraja, pada tanggal 10 Juni 2006, yang dihadiri 32 bhikkhu peserta, 8 bhikkhu peninjau, dan 2 bhikkhu peninjau khusus (Sanghanayaka /Upa Sanghanayaka), memutuskan: amandemen Piagam Sangha Theravada Indonesia, dan amandemen struktur organisasi Sangha Theravada Indonesia.
Sidang Persamuhan Agung (Mahasanghasabha) Sangha Theravada Indonesia Tahun 2006, di Brahmavihara Arama, Banjar, Singaraja, pada tanggal 10 Juni 2006, mengangkat:
a.
Kepala Sangha (Sanghapamokha)
:
Sri Pannavaro Mahathera
b.
Wakil Kepala Sangha (Upa Sanghapamokha)
:
Sri Subalaratano Mahathera
Masa pengabdian Kepala Sangha dan Wakil Kepala Sangha Persamuhan Agung Sangha Theravada Indonesia sejak tahun 2006 sampai dengan tahun 2011.
c.
Ketua Dewan Sesepuh (Theranayaka)
:
Dhammasubho Thera
d.
Ketua Umum Dewan Pimpinan (Sanghanayaka)
:
Jotidhammo Thera
e.
Ketua Dewan Kehormatan (Adhikarananayaka)
:
Sukhemo Mahathera
Masa pengabdian Ketua Dewan Sesepuh, Ketua Umum Dewan Pimpinan, Ketua Dewan Kehormatan sejak tahun 2006 sampai dengan tahun 2011.
Sidang Persamuhan Agung (Mahasanghasabha) Sangha Theravada Indonesia Tahun 2006, di Brahmavihara Arama, Banjar, Singaraja, pada tanggal 10 Juni 2006, mengukuhkan:
A.    Dewan Sesepuh (Therasamagama) Sangha Theravada Indonesia masa pengabdian tahun 2006 – 2011:
1.
Ketua Dewan Sesepuh (Theranayaka)
:
Dhammasubho Thera
2.
Wakil Ketua Dewan Sesepuh (Upa Theranayaka)
:
Dhammavijayo Mahathera
3.
Anggota
:
Jagaro Thera
4.
Anggota
:
Urudha Dhammapiyo Thera
5.
Anggota
:
Viriyadharo Thera
B.     Dewan Pimpinan (Karakasanghasabha) Sangha Theravada Indonesia masa pengabdian tahun 2006 – 2011:
1.
Ketua Umum (Sanghanayaka)
:
Jotidhammo Thera
2.
Ketua Bidang Sosial Budaya (Upa Sanghanayaka)
:
Saddhaviro Thera
3.
Ketua Bidang Pendidikan (Upa Sanghanayaka)
:
Subhapanno Thera
4.
Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga (Upa Sanghanayaka)
:
Dhammakaro Thera
5.
Sekretaris I
:
Bhikkhu Cittagutto
6.
Sekretaris II
:
Bhikkhu Abhayanando
7.
Pengelola Sanghadana I
:
Cittanando Thera
8.
Pengelola Sanghadana II
:
Bhikkhu Cattamano
C.     Dewan Kehormatan (Adhikaranasabha) Sangha Theravada Indonesia masa pengabdian tahun 2006 – 2011; pada tanggal 7 Agustus 2006 Kepala Sangha Persamuhan Agung Saingha Theravada Indonesia mengangkat Atimedho Thera sebagai Wakil Ketua Dewan Kehormatan, dan Cittanando Thera sebagai anggota Dewan Kehormatan Sangha Theravada Indonesia:
1.
Ketua Dewan Kehormatan (Adhikarananayaka)
:
Sukhemo Mahathera
2.
Wakil Ketua Dewan Kehormatan (Upa Adhikarananayaka)
:
Atimedho Thera
3.
Anggota
:
Candakaro Thera
4.
Anggota
:
Suvijano Thera
5.
Anggota
:
Cittanando Thera
Sampai dengan tanggal 23 Oktober 2006, tatkala Sangha Theravada Indonesia telah mempersembahkan pengabdian Dhamma di bumi pertiwi selama 30 tahun, terdapat 54 bhikkhu yang memiliki pengabdian bersama dalam Sangha Theravada Indonesia. Beberapa bhikkhu telah wafat meninggalkan Sangha Theravada Indonesia, beberapa bhikkhu juga telah meninggalkan Saingha Theravada Indonesia kembali menjadi perumahtangga, meskipun demikian tidak ada bhikkhu yang meninggalkan Sangha Theravada Indonesia karena menjadi anggota organisasi Sangha lain. Beberapa bhikkhu Sangha Theravada Indonesia juga masih menimba pengetahuan dan pengalaman dengan belajar Dhammavinaya serta berlatih meditasi di luar negeri. Sangha Theravada Indonesia telah melampaui masa demi masa kepemimpinan yang masing-masing berjasa memberi corak kualitas budaya persamuhan petapa Buddhis yang memegang teguh Dhammavinaya serta menjunjung kepribadian Nasional di tengah-tengah kehidupan zaman yang makin berkembang.
Organisasi Sangha mempunyai 6 prinsip, yaitu 6 keharmonisan:
1.      Keharmonisan dalam disiplin moral
2.      Keharmonisan dalam pandangan
3.      Keharmonisan dalam berbagai keuntungan
4.      Keharmonisan dalam perbuatan
5.      Keharmonisan dalam ucapan
6.      Keharmonisan dalam pikiran
Penjelasan singkatnya sebagai berikut: Keharmonisan berarti sesuai atau setuju. Keharmonisan dalam disiplin moral berarti manaati sila-sila umum. Keharmonisan dalam pandangan berarti pelatihan bersama berdasarkan pengertian yang sama. Keharmonisan dalam berbagai keuntungan berarti menguntungkan aset yang sah secara seimbang. Keharmonisan dalam perbuatan berarti saling memlihara satu sama lain. Keharmonisan dalam ucapan berarti saling mengingatkan satu sama lain untuk melakukan kebaikan dan menghindari kejahatan. Keharmonisan dalam pikiran berarti berfikir saling bersahabat dan hormat. Dengan ke-6 prinsip ini, keharmonisan Sangha ditegakkan. Agar ke-6 prinsip ini dilaksanakan dengan benar, Buddha menetapkan banyak peraturan untuk Sangha.[27]
Menghayati Dhamma, membabarkan Dhamma, dan melestarikan Dhamma, adalah bentuk pengabdian Sangha Theravada Indonesia kepada masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia tercinta.
“Seorang bhikkhu yang selalu berdiam dalam Dhamma, bergembira dalam Dhamma, selalu merenung dan mengingat Dhamma, maka bhikkhu itu tidak akan tergelincir dari Dhamma yang mulia.”(Dhammapada 364)

Deskripsi: http://www.samaggi-phala.or.id/wp-content/uploads/2010/08/struktur_STI.gif

Referensi
·         Abddul Manaf, Mudjahid. Sejarah Agama-Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet. II, 1996.
·         Ali, Mukti H.A., Agama-Agama Dunia, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988. Dasa Kausaly Karma Sutra (Dharma Pitaka), Bogor- Jawabarat, 2008.
·         Hadikusuma, Hilman., Antropologi Agama I, Bandung: PT.Citra Aditiya Bakti, 1993.
·         Http://www.buddhistonline.com/
·         Mahatera, Ven Narada., ‘Sang Budha dan Ajaran-Ajarannya I, Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1992.
·         Stokes, Gillian., Seri Siapa Dia? Budha, Jakarta: Erlangga, 2001.
·         T. Suwarto., Budha Dharma Mahayana, Jakarta: Majelis Agama Budha Mahayana Indonesia, 1995.
·         Pu Chu, Zhao., Tanya jawab Mengenai Agama Budha, Jakarta: Pustaka Karaniya, 2007.
·         ________, 30 tahun Pengabdian Sangha Theravada Indonesia
·         ________. Kebahagiaan dalam Dhamma. Jakarta: Majlis Buddhayana Indonesia, 1980.
·       _______. Kapita Selekta Agama Budha. Jakarta: CV. Dewi Kayana Abadi, 2003.



[1] Prof.H.Hilman Hadikusuma,S.H. “Antropologi Agama I” (PT.Citra Aditiya Bakti, Bandung 1993) hal. 234
[2] Ibid h. 236
[3] _______. Kapita Selekta Agama Budha, h. 1
[4] _______. Kapita Selekta Agama Budha, h. 26
[5] Ibid.
[6] _______. Kapita Selekta Agama Budha, h. 27
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Mukti Ali “Agama-Agama Dunia” (IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakatra) hal.129-131
[10] Mahatera, Ven Narada., ‘Sang Budha dan Ajaran-Ajarannya I, (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1992) Hal. 77.
[11] Gillian Stokes, “ Seri siapa Dia? Budha”, (Erlangga, Jakarta, 2001) hal 45-48.
[12] Drs. Suwarto T. “Budha Dharma Mahayana”. (Majelis Agama Budha Mahayana Indonesia, Jakarta 1995) hal. 51
[13] http://sasanaonline.tripod.com/dhamma/salahpts.htm
[14] Mr. Zhao Pu Chu, Tanya jawab Mengenai Agama Budha, (Jakarta: Pustaka Karaniya, 2007) hal. 91
[15] Majlis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan dalam Dhamma, h. 38
[16] Mudjahid Abdul Manaf. Sejarah Agama-Agama, h. 34
[17] Mudjahid Abdul Manaf. Sejarah Agama-Agama, h. 33
[18] Prof.H.Hilman Hadikusuma,S.H. “Antropologi Agama I” (PT.Citra Aditiya Bakti, Bandung 1993) hal. 235-235
[19] Ibid
[20] http://www.buddhistonline.com/
[21] Mukti Ali “Agama-Agama Dunia” (IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakatra). Hal. 130-131
[22] Prof.H.Hilman Hadikusuma,S.H. “Antropologi Agama I” (PT.Citra Aditiya Bakti, Bandung 1993) hal. 236-237
[23]_______,  30 tahun Pengabdian Sangha Theravada Indonesia, hal. 36-38

[24] ______,  30 tahun Pengabdian Sangha Theravada Indonesia, hal. 39

[25]  Ibid, 40-42
[27] Mr. Zhao Pu Chu, Tanya jawab Mengenai Agama Budha, (Jakarta: Pustaka Karaniya, 2007) hal. 97

0 comments:

Posting Komentar