Makalah Tantrayana, Mantrayana, dan Vajrayana

 MAKALAH 
ALIRAN TANTRAYANA, MANTRAYANA, DAN VAJRAYANA


Makalah
Disusun untuk Memenuhi
Syarat pada Matakuliah Bahasa Indonesia



Oleh :
Muhammad Ali Mansur



JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA


2013

Pendahuluan
Pada mulanya, sebenarnya Budha bukanlah nama orang, melainkan suatu gelar. Nama pendiri agama Budha yang di dapatnya dari orang tuanya ialah Sidharta (artinya yang mencapai maksud tujuannya). Tapi biasanya ia disebut Gautama, karena sanak keluarganya menganggap dirinya sebagai keturunan Guru Weda Gautama. Acap kali ia disebut juga Shakyamuni (yakni rahib atau yang bijaksana dari kaum Shakya) dan Shakya Sinha (yakni singa dari kaum Shakya), karena ia termasuk golongan Kesatriya keturunan Shakya.
Fakta sejarah yang menyangkut kehidupan Sidharta Gautama sebagai manusia telah tercampur oleh berbagai legenda yang sebagian besar ditambahkan setelah beliau wafat. Legenda-legenda itu telah dibeberkan secara lisan oleh orang India jauh hari sebelum kelahiran Sidharta Gautama itu sendiri. Cerita-cerita itu digunakan untuk menyampaikan pemahaman yang religius, etika dan tugas-tugas sosial.[1]
Asal golongan ini jika di turutkan kembali, melalui seorang raja, Ikshavaku namanya, yang tentang dirinya banyak dibuatkan orang dongengan-dongengan sehingga akhirnya dianggap sebagai dewa matahari. Kaum Shakya itu mewujudkan sebuah republic kaum ningrat atau kaum bangsawan yang tak seberapa luasnya di daerah pegunungan Himalaya di antara hulu sungai Rapti dan Gandak, kira-kira 170 km jauhnya di sebelah utara Benares di perbatasan India dan Nepal sekarang, di dekat Gorakhpur sekarang. Ibukotanya ialah kapilawastu. Pada zaman Budha lahir, kaum Sakhya mengakui kedaulatan kerajaan tetangganya, yakni kosala atau Oudh, dan daerah kaum Shakya itu kemudian di gabungkan dengan kerajaan tersebut. Bentuk pemerintahan kaum Shakya itu agaknya lebih menyerupai republic dari pada kerajaan.
Didalam perpustakaan Budhis yang lebih kemudian sangat ditekankan, bahwa Budha berkorban dengan hidup sebagai rahib. Dan untuk memperbesar pengorbananya itu setingi-tinginya, kemuliaan dan kemewahan yang mengelilinya dalam zaman mudanya sangat dilebih-lebihkan, dan di timbulkanlah kesan seolah-olah ia berkecimpung di dalam kemewahan. Naskah-naskah Budha acap kali menunjukkan keconkakan para Shakya dan meskipun Budha selalu di lukiskan sebagai seorang yang ramah dan tahu bahasa, tetapi sifat keluarganya yang congkak itu tampak juga padanya dalam kebebasan pandangnya, dalam sikapnya yang dengan tenang memandang ringan segala tuntutan para Brahmana dan nada otoriter yang mencirikan kata-katanya. Naskah-naskah Sansekerta dari Mahayana (terutama Lalitawistara, yang juga di anut di Borobudur) member keterangan yang lebih panjang tentang terjadinya Budha. Ajaran ini menekankan bahwa setiap orang harus berusaha menuju kea rah ke Budhaan. Maka sangatlah penting mengenal betul-betul perkembangan orang yang menjadi bagi semua orang itu. Kehidupan Budha itu Khas dan menurut Mahayana berjalan dengan cara yang sama pada setiap orang Budha. Menurut tradisi orang Budha berlangsung dalam dua belas masa (bilangan sakral). Dan masa yang pertama adalah masa turunnya orang yang akan menjadi Budha dari alam kedewaan.
Bagi seorang Budhis yang percaya dengan kelahiran kembali, sudah semestinya, bahwa Gautama pada tahun 560 SM tidak untuk pertama kalinya lahir di dunia. Kesempurnaan rohani yang telah di capai oleh Budha tidak mungkin hasil dari satu kehidupan saja. Perjalanannya tentu lama sekali, sehingga kita hampir tidak dapat membayangkan berapa lamnaya. Sebelum ia lahir pada tahun 560 SM, Budha tinggal di surge Tushita karena yang baik itu. Dari musik di surge ternyatalah, bahwa telah datang saatnya ia harus turun ke dunia guna melepaskan umat manusia. Ia melayngkan ke empat pandangannya untuk melihat waktu, bagian dunia, Negara dan keluarga tempat ia akan lahir. Setelah ia mengambil keputusan, dimana-mana terjadi keajaiban-keajaiban. Bahkan penghuni neraka untuk beberapa saat lamanya terlepas dari siksaan. Setelah ia menyerahkan tiaranya kepada Maitreya, yang dengan demukian ditunjuknya sebagai penggantinya, turunlah ia ke dunia. Tapi justru apabila pada malam hari Budha melihat wanita tidur dalam harem dengan berbagai sikap yang menimbulkan rasa mual, makin bertambahnya rasa enggannya kepada kejuwitaan manusia, dan pergilah ia keluar melalui para penjaga yang sedang tidur nyenyak.[2]

Aliran Tantrayana
Secara umum Tantrayana juga dapat dikatakan bagian dari mahayana, karena ada beberapa bagian dari  inti filsafat mahayana yang di terangkan secara Esoterik dan penuh sibolis , seperti, ; sunyata bodhicita, tathata, vijnana.
Tantrayana adalah satu mazhab dalam agama Buddha yang sangat istimewa karena memiliki ciri-ciri khas yang unik. Mazhab ini berkembang pesat diantaranya negara India, China, Tibet, Jepang, Korea dan Asia Tenggara serta benua Eropa, Australia hingga benua Amerika. Mazhab ini merupakan perpaduan puja bhakti dengan praktek meditasi yogacara serta metafisika Madhyamika. Maka dari itu mazhab Tantrayana bukan hanya membicarakan teori, akan tetapi praktek dalam pelaksanaannya. Di dalam perkembangannya, mazhab ini kadangkala dinamakan Tantra-Vajrayana atau Tantra-Mahayana.
Para misionaris Barat sangat kagum setelah mempelajari mazhab tantrayana, karena terdapat konsepsi maupun ide-ide religi serta filsafat yang sangat kenal, berlainan dengan konsepsi maupun ide yang mereka kenal sebelumnya.
Fase ketiga dari perkembangan Agama Budha ialah Tantrayana (Fase pertama ialah Hinayana, dan fase kedua adalah Mahayana), dan merupakan fase yang paling penting dalam agama Budha di india. Fase ini mulai sekitar tahun 500 Masehi. Dan berakhir sampai tahun 1000 Masehi. Yang paling menarik dari fase ini adalah cosmical-soteriogical (yang berhubungan dengan keselamatan). Sifat dasar dominan dari Tantrayana adalah occultism (kegaiban). Penekanan utama adalah penyesuaian dan harmonis dengan kosmos dan pencapaian penerangan dengan mantra atau metode gaib. Bahasanya kebanyakan Sansekerta atau Apabhramsa.
Aliran Tantra Budhist di sebut juga Esoterik yang berarti secara rahasia, tersembunyi dan mistik, sedangkan aliran Budhist lainnya di sebut Exoterik yang berarti sesuatu yang terbuka atau terlihat. Bagi aliran exoteric pelajarannya di dasarkan pada Tripitaka dan untuk mencapai ke Budhaan adalah secara berangsur-angsur dan bertingkat. Bagi aliran esoteric pencapaian ke Budhaan hanya dalam sekejap, melakukan upacara atau ritual (vidhi) merupakan peranan yang penting. Adalah tidak mudah untuk dapat mengerti ajaran Tantra Budhist di karenakan begitu rumit dan kompleks dalam perkembangannya. Oleh kerenanya, seorang guru yang ahli harus ada untuk membimbing calon siswa tersebut. Dikatakan bahwa setelah mengerti ajaran exoteric dengan cukup barulah dapat mengerti ajaran esoteric secara baik.
            Secara umum Tantrayana dapat juga dikatakan bagian dari Mahayana, karena ada beberapa inti filsafat Mahayana yang diterangkan secara esoteric dan penuh simbolis, seperti : Sunyata, Bodhicitta, Tathata dan Vijnana. Sebagai suatu ajaran mistik atau gaib, kemunculan Tabtra tidak dapat dipisahkan dari perkembangan agama Budha Mahayana. Munculnya Tantra sebagai suatu sistem metafisika Budhist bersamaan waktunya dengan perkembangan berbagai sistem filsafat agama Budha Mahayana, terutama dengan sistem Madhyamaka dan Yogacara, dan interaksi antara mereka. Aspk rasional bathin tidak dapat lagi dipercaya untuk membawa ke penerangan (Bodhi), karena landasan pemikiran rasional itu sendiri, dunia empiris, terbukti bersifat khayal. Sistem yogacara yang menekankan pada pengalaman keagamaan penerangan yang di simpulkan sebagai Trikaya (Tiga tubuh Budha) serta pentingnya kesadaran (vijnana) sebagai dasar dari gerakan kea rah penerangan, secara wajar meletakkan nilai lebih tinggi pada pengalaman mistik dari pada pengetahuan empiris.
            Istilah Tantra secara etimologi berarti menenun atau alat tenun, adalah istilah yang dipergunakan untuk mengacu pada praktek-praktek esoterik (rahasia tersembunyi) yang bertujuan membangkitkan sifat-sifat ke Tuhanan dalam diri seseorang guna mencapai kesempurnaan, di samping juga untuk mengacu pada kitab-kitab suci atau sutra-sutra yang menguraikan ajaran-ajaran atau doktrin yang demikian. Singkatnya, Istilah Tantra dapat dipergunakan untuk menunjukkan sistem keagamaan, atau sutra yang tergolong pada sistem ini. Tantra membawakan peranan penting dalam sejarah Mahayana, karena ia membangjitkan suatu penekanan baru pada metode intuisi dan esoterik bersama dengan perkembangan konsepsi ke Tuhanan dan tata upacara. Di dalam satu atau lain cara Tantra menyentuh hampir setiap sekte Agama Budha Mahayana yang berikutnya, menjadi inspirasi dalam perkembangan tata peribadatan dan seni Budhist. Jika kita ingin mencari dasar logis mengenai sejarah asal mula Tantra Budhist, maka yang paling bijaksana adalah memulainya dengan tradisi Mantra, bagian integral dari keyakinan Tantra. Adalah suatu kenyataan bahwa Tantra terdapat dalam Agama Budha dan Agama Hindu. Tampaknya terdapat berbagai tahapan dalam pengembangan bentuk Mantra. Pertama, sebuah sutra panjang diringkas menjadi beberapa bait kalimat yang disebut hirdaya (ringkasan).[3]
Seperti kebanyakan Sutra Mahayana lainnya, Tantra menyatakan adalah ucapan dari Budha sendiri. Sebelum kita menolak tuntutan itu sebagai tidak masuk akal, dua fakta harus di pertimbangkan. Yang pertama, telah mengalihkan perhatian pada yang sudah dalam hubungannya dengan pertanyaan mengenai keabsahan relative dari kitab suci Hinayana dan Mahayana, yang kedua yaitu di hubungkan dengan fakta dimana kita telah barusan singgung. Pada tempat yang pertama, sebagaimana kita telah mintakan sebelumnya, dapatlah tiada apriori keberatan dengan segala tradisi lisan selama 500 tahun atau bahkan 1000 tahun. Ingatan orang india dalam tradisinya yang masih ada bersifat dapat menyimpan secara luar biasa dan sangat mampu memlihara selama 100 generasi mengenai ajaran-ajaran, dan di antara orang yang kurang berbakat akan telah kehilangan ajaran itu sepersepuluhnya. Karena keadaan lingkungan bahwa ajaran Tantra tidak dilakukan dengan tulisan hingga 1000 tahun setelah Hyang Budha Parinirvana tidak di anggap sebagai menghalang-halangi dasar keabsahan mereka. Dalam hal yang kedua, mereka yang telah membuat eksperimen mengetahui sulitnya untuk melatih dengan berhasil setiap bentuk meditasi bahkan yang paling dasar, yang semata-mata hanya mengikuti petunjuk dari suatu teks tertulis, bagaimanapun terincinya ini memungkinkan pada penglihatan pertama kali untuk muncul adanya. Petunjuk dalam meditasi karena itu diberikan secara lisan dalam semua sekte Budhist, suatu tradisi yang diteruskan oleh Mahayana yang di sampaikan sampai dengan sekarang. Petunjuk-petunjuk tertulis kelihatannya telah dimaksudkan bukan sebagai panduan bagi pemula tapi sebagai aidememoire (catatan peringatan) bagi murid yang di inisiasi. Yang paling pertama, dan barang kali yang paling berpengaruh mengenai Tantra adalah Tathagatauhyaka, atau seperti itu gaya bahasanya yang lebih umum, Guhyasamaja, suatu naskah yang ada di Nepal, Tibet dan Mongolia masih di anggap dengan pemujaan sepenuhnya. Perbedaan yang luas antara arti harfiah dan interpretasi simbolis mengenai judul dari Tantra ini mungkin di sebutkan sebagai suatu ulasan mengenai apa yang telah di katakana tentang kesulitan itu, bahkan bahayanya dari mencoba dengan suatu catatan umum mengenai naskah Tantra tanpa bantuan dari tradisi lisan. Disamping Tantra mereka sendiri, ada teks kanon tertentu yang tidak benar, dikenal sebagai Sadhana, yang menguraikan prosedur yang benar untuk bersembahyang suatu bentuk Transendental yang penting. Di karenakan bersamaan waktu dari sekte-sekte yang sudah menunjukkan ajarannya, kita menemukan di dalam tambahan pada Siddha suatu kelompok dari acarya yang walaupun nominal miliknya sekte-sekte lain, bukan saja telah menguasai ajaran Tantra tapi menguraikan risalat-risalat secara terinci milik mereka. Jadi Santaraksita, Madhyamika itu hanya bersifat mengenai latihan saja. Bahkan acarya seperti Nagarjuna dan Asanga di masukkan di dalam rangkaian Tantra pada dasar-dasar yang mereka itu meneruskan ajaran tersebut secara lisan.[4]
            Terlepas dari Sarahapada, yang paling penting dari sudut pandang sejarah ialah Padmasambhava yang memperkenalkan Tantra di Tibet, Vajrabodhi dan Amoghavajra yang pertama kali memperkenalkan Tantra di China. Padmasambhava di hormati di Tibet sebagai Guru Rinpoche artinya Guru Yng mulia, sedikit yang dapat di katakana tentang dia karena biografinya muncul bukan dari kenyataan sejarah tapi kejadian simbolis. Namanya yang berarti kelahiran Lotus menyinggung tradisi bahwa dia tidak di lahirkan dari manusia sebagai orang tua tetapi mewarisi adanya oleh kelahiran yang secara tiba-tiba, salah satu dari empat macam kelahiran yang di kenal dalam Budhism dari kelopak Lotus di atas danau di India bagian barat Laut. Danau itu sekarang popular dikenali dengan berkilauan di samping Golden Temple (Vihara Emas) di Amritsar, kota suci dari agama Sikh. Barangkali semua itu dapat di nyatakan dengan kepastian lengkap mengenai Padmasambhava bahwa dia berkembang dalam abad ke-8, sezaman dengan Santaraksita, dan bahwa pengaruhnya mengenai kehidupan beragama dari Tibet.

Aliran Mantrayana
            Mantrayana, dimulai pada abad ke-4 dan mendapat momentumnya setelah abad ke-5. Apa yang telah dilakukannya telah memperkaya Budhism dengan perlengkapan tradisi gaib, mempergunakannya untuk tujuan kemudahan pencarian bagi pencerahan atau penerangan. Didalam acara ini, banyak mantra, mudra, mandala, dewa dan ke Tuhanan secara tidak sistematis di perkenalkan ke dalam Budhism. Ini adalah setelah tahun 750, dalam kurun waktu itu, arah dan sistem yang lebih lanjut membuat penampilan mereka. Perlu dicatat bahwa di antara mereka adalah Sahajayana, yang mula seperti sekte Chan (Zen) di Tiongkok, lebih menekankan pada latihan meditasi dan pengolahan intuisi, di ajarkan secara berbelit-belit atau paradoksikal (berlawanan asas) dan kesan konkrit, dan menghindari nasib dari kembali ke dalam suatu persektean sama sekali tidak ada ajaran yang di tegaskan secara kaku. Menuju pada akhir periode ini, dalam abad ke-10, kita mempunyai Kalacakrayana (Roda waktu yang ditandai oleh tingkat penyatuan aliran) dan oleh penekanannya pada Astrology.
            Gerakan baru ini timbul di India bagian selatan dan barat laut. Non Indian mempengaruhi dari China, Asia Tengah dan perbatasan sekitar India, memainkan suatu bagian penting dalam pembentukannya. Sebagaimana metode ajaran Mahayana telah mnyatakan ajarannya di dalam Sutra dan Sastra adalah dokumen bagi Umum, tersidia bagi siapa saja yang cukup berminat untuk mendapatkannya, dan bagi yang rajin dan mampu untuk mengerti mereka. Perkembangan Mantrayana sebenarnya adalah suatu reaksi alamiah melawan kecenderungan yang meningkat merugikan sejarah dengan mengancam mematilemaskan Budhism India. Dalam pertahanan untuk perlindungan mereka bagi penganutnya sekarang makin lama makin menggerakkan gaib dan kekuatan gaib dan memohon dengan khusus untuk adanya bantuan gaib yang makin banyak, yang mempunyai realitas sesungguhnya dibuktikan kebenarannya pada mereka didalam latihan mengenai meditasi. Di antara perhatian besar yang dicurahkan kepada dewa angkara murka, seperti pelindung dharma. Secara sporadis Mantra dari semua jenis secara pelan-pelan digabungkan ke dalam kitab suci. Ini di namakan dharani, dari akar kata dhr, sebab mereka diharapkan untuk menegakkan atau mempertahankan kehidupan keagamaan. Kemudian setelah tahun 500 Masehi, semua prosedur biasa mengenai gaib mengambil jalan ritual dan lingkaran gaib serta diagram. Ini diperlakukan bagi keduanya pengawal kehidupan spiritual dari elite, dan untuk memberikan kepada orang banyak atau umat awam yang tidak spiritual bahwa yang mana di inginkan. Mudra atau gerak isyarat ritual, sering diperkuat kemanjuran dari mantra.
            Mandala mengungkapkan kosmik dan kekuatan spiritual dalam suatu mitologi, atau diwujudkan, bentuk mewakili mereka dengan kesan dari dewata, diperlihatkan baik dalam penampilan visual, atau dengan suku kata yang mengijinkan kita untuk membangkitkan mereka dan dimana merupakan prinsip gaib mereka. Simbol-simbol ini, di baca dengan betul, mengijinkan kita untuk memberikan penjelasan pada ketakutan yang tersembunyi dalam, gerak hati purba dan hawa nafsu kuno. Melalui mereka kita dapat merantaikan, menguasai, dan melarutkan kekuatan-kekuatan dari alam semesta, mengakibatkan suatu reaksi mendadak dari semua benda ilusi dari dunia samsara, dan mencapai penyatuan kembali dengan penerangan dari satu pikiran absolute. Mandala adalah suatu bentuk khusus dan diagram purbakala mengenai kosmos, di pertimbangkan sebagai suatu proses vital yang berkembang dari satu prinsip penting dan yang berputar mengelilingi stu poros pusat, Gunung Sumeru, Poros Mundi. Diagram seperti itu direproduksi tidak hanya di dalam mandala, tapi juga di dalam pot kembang ritual, istana raja, stupa dan candi. Di sebabkan karena persamaan mengenai makrokosmos dan mikrokosmos, drama dari alam semesta direproduksi di dalam setiap individu, yang dimilikinya fikiran, dan tubuhnya dapat di anggap sebagai suatu mandala, sebagai pemandangan dari pencarian untuk penerangan.[5] Disamping itu, Mahayana dengan makin  dan bertambah jelas mengajarkan Bodhisattvayana, artinya jalan yang melalui para Bodhisatva, yakni jalan yang di tempuh untuk mencapai kebahagiaan dengan mohon pertolongan kepada para Bodhisattva yang maha murah.
            Didalam abad yang ke-7 timbul lagi suatu jalan yang ketiga yang disebut Mantrayana atau jalan dengan kalimat-kalimat yang mempunyai daya gaib (mantra). Nama-nama lainnya yang dipakai ialah Tantrisme, karena pandangan-pandangan mengenai ajaran ini di cantumkan dalam Tantra-Tantra dan Vajrayana atau jalan intan, perjalanan intan, ialah yang keras dan tak terbinasakan, yaitu kenyataan yang tertinggi. Telah lama sebelum ilmu gaib (magi) diajarkan secara resmi sebagai suatu jalan kelepasan yang tersendiri di dalam agama Budha, masuklah kedalam agama Budha banyak perbuatan magis. Maka dipandang dari segi itu memang benar, bahwa agama Budha makin banyak kemasukan faham-faham India lama dan dengan demikian akhirnya melebur diri dalam Hinduisme, dimana agama Budha dilahirkan. Bagi Mantrayana, di ketemukan suatu dasar yang dogmatis-filosofis, karena orang menganut suatu ajaran maha tunggal yang konskwen. Pastilah, seperti di dalam lingkungan perbuatan-perbuatan magis, bahwa di dalam pertumbuhan ajaran maha tunggalpun, Mahayana bertindak sebagai persiapan bagi Mantrayana. Ajaran maha tunggal ini di ajukan di dalam bentuk ini bahwa orang mulai berbicara tentang suatu Maha Budha, yang bentuk pernyataannya berupa alam semesta, seluruh dunia dengan segala isinya. Alam semesta itu suatu manifestasi dari Dharmakaya. Setelah dasar suatu ajaran Maha Tunggal itu di letakkan, maka selanjutnyadapat di bangun di atasnya teori-teori tentang ilmu gaib (magi). [6]
Kenyataan demikian dapat di lihat juga dalam agama Roma Katholik dan Protestan. Roma Katholik tidak mengalami banyak perpecahan dalam sekte-sekte, tapi dalam Protestan yang relative lebih banyak memberikan kebebasan berpikir dalam agama, mengalami banyak perpecahan dalam bentuk sekte-sekte yang sampai kini di amerika saja berjumlah 257 aliran, itu belum termasuk di tempat-tempat lain.
            Demikian pula halnya Mahayana yang juga mengalami perpecahan dalam aliran (sekte-sekte), seperti Budhisme di Tibet yang di kenal dengan Lamisme, Budhisme di Mongolia, Budhisme jepang yang di kenal dengan Zen Budhisme, Budhisme di China, Budhisme di Korea dan Sebagainya. Hl ini karena masing-masing di pengaruhi oleh kebudayaan suku bangsa setempat ataupun kebudayaan nasional baik dalam bentuk filsafat hidup maupun dalam sistem kepercayaan.
            Disamping percaya kepada dewa-dewa tersebut, Mahayana mempercayai juga adanya sakti-sakti (istri dewa), misalnya Budha juga mempunyai istri (sakti) yaitu Dewi Tara. Dyani Budha dan Bodhisattva dipandang tidak mempunyai sakti-sakti, kecuali Avalokitesvara saja yang mempunyai sakti yaitu Dewi Tara Avalokita. Dikalangan pemeluk-pemeluk Budhisme Lamaisme Tibet, Dewi Tara sangat di hormati dan di puja sebagi halnya Dewi Maria di kalangan Roma Katholik. Dewi Tara di Tibet digambarkan dalam 21 macam bentuk dan rupa yang kadang-kadang berupa makhluk yang mengerikan. Avalokitesvara dan Amithaba dipandang sebagai dewa-dewa Budha yang bnyak dimintai perlindungan oleh orang pada masa kini, terutama dikalangan pemeluk Budhisme di Tiongkok dan Jepang. Di Jepang Avalokitesvara dipandang sama dengan Dewa Amaterasu Omi Kami (Dewa Matahari) atau di anggap sebagai Dainichi Nyorai (Cahaya Besar). Mantra-mantra yang ditujukan kepada Avalokitesvara tersebut berpangkal pada rumusan kalimat suci.[7] Sebagai ucapan permulaan setiap pekerjaan dengan “ Ong Mani Padmehung “,  “ Ong “ merupakan suku kata mistis sebagai awalan dan “ Hung “, sebagai suku kata mistis akhiran, sedangkan “ Mani Padme “, berarti manic dalam tunjung. Dengan mengucapkan mantra-mantra tersebut, seseorang akan memperoleh pengertian kejiwaan yang dalam. Nama Lokesvara terdengar diucapkan orang di seluruh pelosok Negara-negara Budhis dengan mantra-mantra tersebut. Ditiap rumah banyak di tuliskan ucpan mantra itu. Di tiongkok Avalokitesvara sering disebut dengan nama “ Kwan Yin “ sedangkan di Jepang dikenal juga sebagai “ Kwannon “. Di Tibet dipandang sebagai “ Penolong Manusia “, oleh karenanya orang sangat cinta kepadanya.
            Menurut kepercayaan Budhisme ini, pada masa yang akan datang diharap kedatangan seorang Budha baru yaitu Maitreya. Harapan demikian terdapat juga dalam agama Kristen yang mengharapkan kedatangan Yesus Kristus kembali ke dunia, sedang di kalangan umat Islam diantaranya ada yang mengharap-harapkan kedatangan Imam Mahdi pada akhir zaman nanti. Pada abad ke-7 Budhisme Mahayana masuk ke daerah Tibet dengan lebih dulu mendapatkan tantangan agama dari penduduk asli yang bernama “ Bon “, tapi akhirnya Tibet dapat dikuasai oleh Budhisme tersebut sehingga menjadi Negara Budhis yang dipimpin oleh pendeta-pendeta (Guru-Guru) yang disebut “Lama”. Sebagai tokoh pendeta tertingginya adalah “ Dalai Lama “ yang menjadi kepala mazhab Budhisme tersebut. Dalai Lama dipandang sebagai penjelmaan dari salah satu tokoh Dewa Budha. Tokoh Dalai Lama bertempat tinggal di Lhasa. Pengikut-pengikut mazhab ini senantiasa mengenakan topi kuning. Adapaun tokoh kepala Pendeta yang menganut mazhab yang bertopi merah bertempat tinggal di Tashilumpo, yang menganggap bahwa Dalai Lama merupakan penjelmaan Dewa Budha lainnya. Lamaisme di Tibet sangat mempercayai mantra-mantra dalam usaha mencapai kelepasan samsara, dan didalam agama ini penuh dengan kepercayaan kepada jin-jin dan hal-hal gaib yang mengandung sihir.

Aliran Vajrayana
            Dalam ajaran Vajrayana yang berkembang di Tibet, kosmos di jelaskan alam kaitan mata angin : pusat, timur, selatan, barat dan utara, yang secara esoteric di wakili oleh unsure-unsur yang berpasangan yang diwujudkan dalam bentuk Tathaga Wairocana yang melambangkan ketidak-tahun (avidya) dan kebingungan (moham) serta sifat kebalikannya. Mandala di timur diwakili Tathagata Aksobhya yang melambangkan sifat agresif dan kebencian (dwesa) dan kebalikannya yaitu sifat kebijaksanaan cermin yang mencerminkan segala-galanya secara tenang. Mandala di selatan diwakili oleh Tathagata Ratnasambhva melambangkan sifat mengabulkan semua keinginan dan rasa bangga serta sifat lawannya yaitu ketenangan hati. Mandala di barat diwakili oleh Tathagata Amithaba melambangkan sifat keinginan besar (lobham) dan sifat kebalikannya. Sedangkan Mandala di utara diwakili oleh Tathagata Amoghasiddhi yang melambangkan sifat iri hati dan sifat kebalikannya.
            Ciri lain lagi untuk mengenal sekte Vajrayana dimasa lalu ialah melalui kelompok vihara tempat para bhiksu dan bhiksuni tinggal, belajar dan beribadah. Sebuah vihara dahulu biasanya merupakan markas besar resmi yang bersangkutan dan menjadi model bagi yang lainnya. Masing-masing dari empat sekte besar mempunyai sejumlah vihara, sedang beberapa subsekte kecil rupanya memiliki satu atau dua vihara saja. Akhirnya, suatu sekte dikenal melalui pimpinan rohaninya, yang biasanya adalah seorang tulku tingkat tinggi.
Sekte-sekte Agama Budha Vajrayana itu adalah :
a.           Nyingmapa (mashab Merah/Purba)
b.          Kadampa/Gelukpa
c.           Saskyapa
d.          Kagyudpa
a.       Sekte Nyingmapa
            Sekte ini mempraktikkan ajaran rahasia dari Padmasambhava. Para penganut sekte ini memakai jubah merah. Isi pokok ajaran sekte ini adalah penerus aliran Tantra kiri yang memuja para pendamping bodhisattva. Sekte Nyingmapa terbagi ke dalam empat subsekte.
b.      Sekte Kadampa Gelugpa
            Reformasi Agama Budha Tantra atau Vajrayana yang dilaksanakan oleh bhiksu Atisa di dasarkan pada tradisi Yogacara yang dikembangkan oleh Maitreya dan Asanga dan dinamakan Kadampa. Ajaran kadampa ini kemudian menjadi dasar dari ajaran Gegukpa pada abad ke-14 yang dipromotori oleh seorang pembaharu Tson-Ka-Pa. Dalam reformasi ini sejak abad ke-14 itu Dalai Lama memegang otoritas dalam agama dan pemerintahan.
c.       Sekte Saskyapa
            Nama Sekte ini bermakna “ tanah abu-abu “, yaitu warna tanah dimana wihara mereka di dirikan pertama kali tahun 1071. Sekte ini mempunyai hubungan dekat dengan sekte Nyingmapa dari pada Kargyudpa. Pada anggota sekte ini tetap memlihara kehidupan rumah tangga dan mengamalkan jalan tengah (sintesa) ajaran Tantra tua dan baru berdasarkan filsafat Madhamika air Nagarjuna. Sekte ini pernah Berjaya sebelum Tson-Ka-Pa. Sekte ini melahirka banyak tokoh pemikir, antara lain Bu-ston (1290-1364), selainsebagi perawi (penafsir) dari ajaran dan sejarah Agama Budha juga seorang kolektor yang pertama kali mengumpulka terjemahan bahasa Tibet dari naskah/kitab Agama Budha. Bu-ston kemudian membuat sistematika dan membagi kedalam dua kelompok, yaitu Kanjur (Sabda sang Budha) dalam 100 jilid dan Tanjur (Ajaran) dalam 225 jilid. Kitab-kitab itu terpelihara dengan baik hinggan zaman kita sekarang.
d.      Sekte Kagyudpa
            Sekte ini berdiri pada abad ke-11 Masehi yang pada mulanya mempunyai kaitan dengan Kadampa tetapi lebih menekankan segi Samadhi. Sekte ini di dirikan oleh Lama Parma, teman Bhiksu Atisa ketika berguru pada Siddha Naropa di perguruan tinggi Nalanda. Setiap orang yang terlibat dalam cara ibadah Kagyudpa dianjurkan untuk menganggap gurunya sebagai Vajradhara agar tokoh Budha itu terasa semakin dekat dan agar menjamin hubungan guru murid yang berhasil. Latihan-latihan Samadhi yang menjadi cirri sekte berasal dari Tilopa dan Naropa : Enam Yoga Naropa dan Mahamudra.[8]
            Vajrayana adalah tingkat dari perkembangan lengkap, dimana apa yang dahulunya kecenderungan yang sama bertemu ke dalam garis yang pasti mengenai pikiran dan perbuatan, dan dimana suatu tumpukan mengenai doktrin yang kelihatannya tidak seimbang dan metode-metode di satukan kembali secara bersama dalam suatu yang kompleks tetapi diatur dengan baik dan sistem yang bertalian secara logis, itulah norma dari Tantra, Vajra secara harfiah berarti halilintar atau intan, adalah sinonim Tantra sekarang ini yang paling luas dengan sunyata. Jadi, istilah Vajrayana berkonotasi kendaraan atau yana, dengan cara mengenai seseorang memperoleh penerangan. Interpretasi ini ditegaskan oleh Indrabhuti, rada Siddhacarya yang mengatakan :
“ Dia yang menaiki Vajrayana akan pergi ke pantai seberang sana dari lautan besar itu dari dunia kerelatifan ini, yang penuh dengan arus membangun pikiran “. (an Introduction to Tantric Buddhism, Calcutta, 1950, hal. 60-61).
Jadi, guru spiritual ialah Vajrayana, genta dibunyikan oleh pemuja Vajraghanta, sikap tubuh dalam meditasi Vajrasana dan seterusnya.[9]
Ledakan kreatif dari Tantra permulaan menuju suatu asumsi yang kompleks tentang kosmos dan kekuatan spiritual dan itu adalah Vajrayana yang menentukan tatacara mengenai banyak tradisi yang luas dalam taraf permulaan yang telah berkembang. Dia mengambil lima bentuk bagian mengenai semua kekuatan kosmik, tiap kelas ada dalam suatu pngertian yang dipimpin oleh salah satu dari Pancha-Tathagata. Nama-nama dari Pancha Tathagata (Panca Dhyani Buddha) ialah : Vairocana, Aksobhya, Ratna Sambhava, Amitabha dan Amoghasiddhi.
            Pengertian yang sebenarnya dari ajaran Vajrayana, bagaimanapun tidaklah mudah untuk di ketahui secara pasti, sebab dia sudah menjadi suatu adat kebiasaan untuk mengungkapkan yang paling tinggi ke dalam bentuk yang paling rendah, membuat yang paling suci muncul sebagai yang paling umum, paling sukar di pahami sebagai paling biasa, dan pengetahuan yang paling bijaksana dimuakkan oleh paradoksikal (berlawanan asas) yang paling fantastis. Ini merupakan shock terapi yang sengaja diarahkan melawan intelektualisasi yang berlebihan mengenai Buddhism pada saat itu. Hasil dari kombinasi mengenai kebijaksanaan dan keahlian dalam caranya, diwakili oleh penyatuan pria dan wanita di dalam kegembiraan yang luar biasa mengenai cinta. Penjadian satu dari mereka di dalam penerangan adalah kebahagiaan tertinggi yang tidak dapat di uraikan (Mahasukha).[10]
            Pemahaman tentang kebudhaan dalam aliran Mahayana mengalami perkembangan yang lebih rumit, bersifat mistis dan filosofis. Mahayana mengakui bahwa Budha Gautama bukanlah suatu fenomena yang berdiri sendiri, melainkan suatu mata rantai dari deretan para Budha yang ada. Di akui pula bahwa di dalam pribadi seseorang terkandung unsure kebudhaan yang di sebut dengan rahim kebudhaan.[11]
Mahayana menganggap ada perbedaan antara Budha yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Menurut mazhab ini Budha dipandang memiliki tiga aspek :
1.      Aspek inti, yang mencakup semuanya, bersifat buani dan tidak dapat terbayangkan. Sebagi inti, ia adalah inti dari dharma, yaitu inti dari kebenaran itu sendiri.
2.      Aspek kemampuan, yang tidak terbatas namun tidak bermanifestasi. Sebagai aspek kemampuan ia adalah dharma yang dianggap sebagai prinsip-prinsip kebenaran, mengandung potensi namun tidak bermanifestasi. Ia adalah tubuh pengganti kebudhaan yang di agungkan.
3.      Aspek manifestasi, yaitu kebudhaan yang memanifestasikan diri pada tubuh duniawi Sakyamuni Budha dan Budha duniawi lainnya.
Dari ketiga aspek Budha di atas, akhirnya tersusun doktrin Trikaya atau tiga badan Budha, yaitu : Dharmakaya, Sambhogakaya dan Nirmanakaya, yang menempati kedudukan penting dalam sistem keagamaan aliran Mahayana. Tujuan Vajrayana sebenarnya adalah untuk berhasil (siddhi) mencapai penerangan sempurna dalam kehidupan seseorang (sebelum mati). Untuk itu Vajrayana mempunyai sistem teori dan praktik tersendiri yang merupakan pelaksanaan kebaktian dengan praktik Samadhi Yogacara dan metafisika Madyamika. Perkembangan pemikiran Budha terjadi pada Mahayana yang mengubah sang Budha Sakyamuni dari manushi Budha menjadi Budha dalam pengertian Dharma, yaitu sebagai Dharmakaya. Sebagaimana diketahui paham Yogacara pada sekitar tahun 300 membuat formulasi tentang Tiga Tubuh Budha, yaitu : (1) Tubuh Dharma atau Dharma Kaya (bersifat mutlak dan merupakan kebenaran dan kenyataan tertinggi), (2) Tubuh Berkah atau Sambhoga Kaya (dengan Tubuh mana Budha memperlihatkan dirinya sebagai Bodhisattva atau makhluk luhur lainnya yang mengajar Dharma) dan (3) Tubuh biasa atau Nirmana Kaya (sebagai penjelmaan manusia yang mengerjakan pekerjaan dan Tugas Budha di dunia).
            Dengan pola pemikiran Yogacara itu Vajrayana mengajarkan bahwa alam semesta dunia ini adalah manifestasi dari Dharmakaya. Budha dalam pengertian Dharmakaya realitas rahasia dalam segala materi atau benda, hati nurani maupun kehidupan. Puncak dari pemikiran Vajrayana adalah bahwa semua manusia adalah Budha yang sekaligus kosmos. Oleh karena itu manusia harus manuggal dengan Budha, yang di realisasikan melalui sikap, perbuatan dan upacara yang bersifat mistik (tidak dapat diterangkan oleh akal manusia) yang hanya dapat diajarkan/dipimpin oleh seorang acarya Vajra sebagai guru spiritual dan mempunyai silsilah dan menterjemahkan ajaran Vajrasattva kepada para siswa (chela). Untuk itu, siswa (chela) harus di tahbiskan (bahasa sansekerta : Abhiseka, yang berarti memerciki air suci). Ajaran Vajrayana merupakan suatu disiplin ajaran yang mempunyai tingkat-tingkat permulaan, menengah dan akhir. Ajaran Vajrayana dimulai dengan yang disebut “ Empat Dasar “. Untuk meahami empat dasar yang merupakan pendahuluan dari Vajrayana ini, perlu diketahui terlebih dahulu pemikiran Agama Budha Hinayana dan Mahayana.
            Menurut Tradisi Tibet, untuk pelaksanaan ke empat dasar itu harus memerlukan banyak persiapan. Pada zaman dahulu orang harus banyak melakukan latihan terlebih dahulu sebelum melaksanakan empat dasar itu. Persiapan terlebih dahulu itu antara lain meliputi latihan samatha dan vipassa termasuk menerima sumpah Bodhisattva. Untuk memulai latihan seseorang harus lebih dulu berserah diri kepada Dharma. Empat dasar umum itu dilaksanakan oleh semua sekte Vajrayana di Tibet. Cara pelaksanannya pada dasarnya sama. Syarat terpenting dalam melakukan empat dasar ini iman dan keyakinan. Dasar umum itu dimaksudkan sebagai renungan yang mengalihkan pikiran pada agama. Penganut Vajrayana dituntut untuk mendalaminya, memikirkan apa maknanya dan bagaimana pengaruhnya atas kehidupan. Menurut anggapan Vajrayana, begitu pokok-pokok pandangan itu menjadi pola pikiran kita secara menyeluruh, perhatian kita akan bergeser menjahui urusan-urusan duniawi jangka pendek dan menuju kea rah masalah-masalah keagamaan jangka panjang, sehingga kita memiliki dasar untuk semakin jauh melibatkan diri ke dalam ibadah agama.
            Empat dasar umum pada hakikatnya adalah empat renungan sebagai berikut :
1.      Kemuliaan Kelahiran Sebagai Manusia.
Renungan atas hal ini akan menanamkan rasa kemuliaan bahwa tumimbal lahir dalam alam manusia adalah suatu kesempatan yang sulit tercapai. Kelahiran manusia adalah brharga karena tingkat Budha akan lebih mudah dihargai dan disadari oleh seorang manusia dari pada oleh makhluk lainnya. Tingkat Budha adalah satu kehidupan yang mempunyai nilai paling luhur, mendapat pencerahan agung tertinggi.
2.      Ajaran ketidak abadian (Anicca)
Renungan atas ketidak kekalan menyadarkan pada kematian akan berlangsung lebih lama dari saat ini. Kita di tuntut untuk menggunakann rasa takut akan kematian sebagai motivasi untuk melakukan ibadah agama. Agama tidak disajikan sebagai penolak kematian melainkan penangkal terhadap pengalaman-pengalaman menakutkan yang biasanya mendahului, menyertai dan menyusul setelah kematian.
3.      Perbuatan, Sebab dan Akibat
Renungan atas karma (perbuatan) mencakup apa saja yang dilakukan, dikatakan atau dipikirkan oleh seseorang. Suatu sebab adalah emosi atau kehendak yang mendorong terjadinya suatu perbuatan. Kehendak ini disebut cetasika. Suatu akibat adalah pengalaman yang timbul dari suatu perbuatan dan kehendaknya. Perbuatan adalah bersifat kumulatif, dan setiap individu membawa kumpulan perbuatannya dari kehidupan yang satu ke kehidupan yang berikutnya. Kumpulan ini membentuk daya untuk terus melanjutkan daur/lingkaran kehidupan, yakni samsara. Samsara tetap bertahan sampai kita mengalami segala akibat dari perbuatan kita dan tidak lagi menimbulkan akibat-akibat baru.
4.      Dukkha (lingkaran Samsara)
Perbuatan terbagi menjadi dua kelompok utama, menurut sifat motivasinya dan akibatnya. Keduanya tidak dianggap sebagai perbuatan baik atau jahat secara hakiki.
a.       Kelompok pertama adalah perbuatan Samsara, yaitu perbuatan yang didorong oleh ketidaktahuan/kebodohan dan emosi/perasaan yang bertentangan (Sansekerta : klesa). Hal-hal ini mengakibatkan kelahiran kembali di 31 alam kehidupan. Jenis tertentu dari kelahiran kembali yang kita alami tergantung pada apakah perbuatan itu mengarah pada kehidupan samsara yang lebih tinggi atau lebih rendah.
b.      Kelompok kedua yaitu, perbuatan yang mengarah pada pembebasan, terdiri dari tindakan-tindakan berguna yang didorong oleh keinginan untuk mencapai kebebasan dari samsara. Walaupun kebahagiaan akan ditimbulkan oleh perbuatan yang berfaedah, perbuatan samsara tidak lagi tinggi nilainya, sebab bersifat rapuh. Hanya pembebasan yang akan memberikan kebahagiaan kekal.
Jadi, ke empat dasar umum ini tidak melaksanakan dengan ulet, hal itu bukannya mendorong ibadah meditative yang akan dilaksanakan kemudian, tetapi hanya akan memperkuat delapan Dharma duniawi. Akar dari seluruh Dharma adalah membersihkan pikiran dari masalah-masalah duniawi. Namun seluruh ibadah agama dari umat Budha pada umumnya belum melenyapkan ikatan pada kehidupan dunia ini. Pikiran belum menjahui nafsu. Renungan-renungan itu apabila telah gagal dari awal sulit untuk diperbaiki dan ini berarti bahwa seseorang berada dalam genggaman mentalitas kasar dirinya sendiri.
            Yang mulia Drikhung (Tokoh Vajrayana) menyatakan bahwa :
Empat dasar umum itu lebih mendalam daripada ibadah Mahamudra yang sebenarnya. Adalah benar bahwa lebih baik menanamkan empat dasar ini dalam jalur kehidupan seseorang, daripada melakukan semua pembacaan dan meditasi empat Tantra yang kini dipakai. Seseorang yang melaksanakan Dharma dengan setengah hati berarti menipu diri sendiri dan orang lain serta menyia-nyiakan hidupnya sebagai manusia.[12]

Penutup
            Jadi, Konsep Mantra pada intinya didasarkan atas keyakinan akan kegunaan suara (sabda) sebagai sustu sumber kekuatan atau kekuatan itu sendiri, yang memiliki pengaruh kuat terhadap organisme manusia dan alam semesta. Ini berarti pengakuan akan adanya hubungan misterius tertentu antara evolusi kosmik dan suara. Begitu pula dengan Tantra, walaupun pada prinsipnya Tantra tidak bersifat spekulatif, dengan menerangkan berbagai tahapan kontemplatif yang harus dialami oleh seorang sudhaka sebelum mencapai pencerahan bathin, namun Tantra berpandangan bahwa penyamaan nirvana dengan samsara oleh Madhyamika adalah kebenaran dasari. Begitu pula halnya dengan Vajrayana, aliran ini lebih menekankan dengan silsilah yang berhubungan dengan sederetan dengan para Guru dari Hyang Budha.

                                                        Daftar Pustaka :
·        Ali. Mukti, Agama-Agama Dunia, IAIN Sunan Kalijaga Press, Yogyakarta : 1988.
·        Arifin. H.M, Belajar Memahami Ajaran Agama-Agama Besar, C.V. Sera Jaya, Jakarta : 1980.
·        Jr. Honig. A.G, Ilmu Agama, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta : 2011.
·        Stokes. Gillian, ­Buddha, PT Gelora Aksara Pratama, Jakarta : 2001.
·        T. Suwarto, Budha Dharma Mahayana, Majelis Agama Budha Mahayana Indonesia, Jakarta : 1995.
·        ------, Kapita Selekta Agama Budha, C.V. Dewi Karyana Abadi, Jakarta : 2003.                                             




               [1] Gillian Stokes, Buddha, Jakarta : 2001, hal. 3
               [2] Dr. A.G. Honig Jr, Ilmu Agama, PT BPK Gunung Mulia Jakarta, Cet. 13, hal. 166-173
              [3]  Drs.Suwarto T, Budha Dharma Mahayana, Majelis Agama Budha Mahayana Indonesia, Jakarta, hal. 119-121
                [4]  Drs. Suwarto T, Budha Dharma Mahayana, Majelis Agama Budha Mahayana Indonesia, Jakarta, hal. 445-447
                 [5]  Drs.Suwarto T, Budha Dharma Mahayana, Majelis Agama Budha Mahayana Indonesia, Jakarta, hal. 124-128
                [6]  Dr.A.G.Honig Jr, Ilmu Agama, PT BPK Gunung Mulia Jakarta, Cet. 13, hal. 236-237
               [7]  H.M.Arifin, Belajar Memahami Ajaran-Ajaran Agama Besar, C.V. Sera Jaya, hal. 93-96
                 [8]  Kapita Selekta Agama Budha, CV. Dewi Kayana Abadi Jakarta, 2003, hal. 153-157
                [9]  Drs.Suwarto T, Budha Dharma Mahayana, Majelis Agama Budha Mahayana Indonesia Jakarta, hal. 450-451
               [10]  Drs.Suwarto T, Budha Dharma Mahayana, Majelis Agama Budha Mahayana Indonesia Jakarta, hal. 128-129
               [11] H.A.Mukti Ali, Agama-Agama Dunia, IAIN Sunan Kalijaga Press, Yogyakarta, hal. 117
               [12]  Kapita Selekta Agama Budha, CV. Dewi Kayana Abadi Jakarta, 2003, hal. 166-170

0 comments:

Posting Komentar