Pada
tanggal 20 Pebruari 1979 di Jakarta berlangsung Lokakarya Pemantapan Ajaran
Agama Buddha dengan Kepribadian Nasional Indonesia. Selanjutnya Kongres Umat
Buddha Indonesia pada tanggal 8 Mei 1979 di Yogyakarta menyetujui wadah tunggal
dengan nama Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi). Nama ini pemberian
Menteri Agama (Alamsyah Ratu Prawiranegara), yang menghendaki adanya satu
organisasi mewakili umat Buddha dalam Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama (1980).
Walubi merupakan federasi dengan anggota: (1) Sanggha Therawada Indonesia. (2)
Sanggha Mahayana Indonesia, (3) Sanggha Agung Indonesia, (4) Majelis Agama
Buddha Nichiren Syosyu Indonesia, (5) Majelis Buddha Mahayana Indonesia,
kemudian menjadi Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, (6) Majelis Dharma
Duta Kasogatan, (7) Majelis Pandita Buddha Dhamma Indonesia (Mapanbudhi), (8)
Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (Mapanbumi), (9) Majelis Rohaniwan
Tridharma Seluruh Indonesia (Martrisia), (10) MUABI. Setelah Kongres Umat
Buddha MUABI diubah namanya menjadi Majelis Buddhayana Indonesia (MBI). Walubi
diketuai oleh Suparto Hs dari Mapanbudhi dengan sekjen Ir. T. Soekarno dari NSI
dan ketua Dewan Pembinanya Soemantri M.S. dari MUABI. Walubi memiliki organ
Persidangan Sanggha-Sanggha di Indonesia sehingga menempatkan ketiga Sanggha
sebagai lembaga fatwa dengan ketuanya Biku Ashin Jinarakkhita.
Kongres
Umat Buddha Indonesia mengukuhkan keputusan Lokakarya Pemantapan Ajaran Agama
Buddha dengan Kepribadian Nasional Indonesia. Keputusan itu mengenai pengakuan
bahwa semua sekte agama Buddha di Indonesia berkeyakinan terhadap adanya Tuhan
Yang Maha Esa. Semua sekte agama Buddha menghormati sebutan yang berbeda-beda
untuk menyebut Tuhan tetapi hakikatnya satu dan sama. Semua sekte mengakui
Buddha Gotama sebagai Nabi, berpedoman kepada Kitab Suci Tripitaka/ Tipitaka
dan bertekad melaksanakan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Semua
sekte mempunyai umat yang berbeda di seluruh pelosok tanah air. Kongres juga
menetapkan kriteria agama Buddha di Indonesia, yaitu adanya Tuhan Yang Maha
Esa, Triratna/ Tiratana, hukum trilaksana /tilakkhana, Catur Arya
Satyani/Cattari Ariya Saccani, pratitya samutpada/ paticca samuppada, karma/ kamma,
punarbhava/ punnabhava, nirvana/ nibbana, dan Bodhisattva/ Bodhisatta.
Dalam
rangka meningkatkan pembinaan sarana dan bimbingan kehidupan beragama, pada
tahun 1980 Dirjen Bimas Hindu dan Buddha membentuk suatu lembaga dengan nama
Gabungan Vihara, Klenteng, Rumah Abu (Gavikra). Namun lembaga ini tidak sampai
berkembang. Kebanyakan wihara sudah dibina oleh majelis-majelis. Sejumlah rumah
abu memiliki bangunan menyerupai klenteng tetapi tidak benar-benar menyimpan
abu jenazah. Sarana tersebut berfungsi sebagai tempat perkumpulan sosial
kemargaan, sehingga lebih tepat disebut rumah marga. Rumah marga dibina oleh
Direktorat Sospol, tidak termasuk sarana keagamaan Buddha.
Setelah
perpecahan di kalangan umat Buddha dianggap terselesaikan, pemerintah membentuk
Direktorat Urusan Agama Buddha di lingkungan Departemen Agama pada tanggal 16
Desember 1980. Walubi tetap bersatu setelah Kongres Luar Biasa untuk menetapkan
AD dan ART di tahun 1981 yang menjadikan Soemantri M.S. dari MBI sebagai ketua
umum dan Seno Soenoto dari NSI sebagai sekjen. Di masa itu dengan Keppres No.
3/1983 pemerintah menyatakan hari Waisak sebagai libur nasional. Keputusan ini
tidak hanya meningkatkan kemantapan peribadatan umat Buddha, tetapi juga telah
menghapuskan hambatan psikologis hidup keagamaan. Sebelumnya, setiap tahun
Menteri Agama mengeluarkan Surat Keputusan tentang Hari Libur Umat Hindu dan
Buddha, yang antara lain menyatakan Waisak, Asadha, dan Kathina sebagai libur
fakultatif. Setelah Waisak menjadi libur nasional, tidak ada lagi libur
fakultatif bagi umat Buddha. Bagaimanapun umat Buddha berterimakasih dan
menjadi lebih aktif meningkatkan perannya. Pembangunan berbagai sarana
keagamaan diikuti kegiatan sosial kemasyarakatan, khususnya fasilitas pelayanan
kesehatan dan pendidikan atau sekolah pun semakin banyak bermunculan.
Sambutan
Waisak dari Seno Soenoto selaku Sekjen Walubi dalam harian Sinar Harapan
menyatakan Hari Raya Waisak sebagai Hari Balas Budi berdasarkan pandangan hidup
orang Jepang. Timbul protes dari masyarakat yang tidak diatasi oleh pimpinan
Walubi. NSI dengan medianya majalah Prajna Pundarika menyiarkan ajaran yang
dianggap oleh pihak lain menyimpang dan melanggar keputusan Kongres Umat Buddha.
Di tahun 1985 dalam forum Konsultasi Pejabat Ditjen Bimas Hindu dan Buddha
dengan pemuka agama Buddha, Seno Soenoto mengakui bahwa Nichiren adalah seorang
Buddha.
Kongres
I Walubi di tahun 1986 memilih Biku Girirakkhito sebagai ketua umum dan Drs.
Aggi Tjetje sebagai wakilnya yang merangkap ketua harisn. Kongres ini
mengukuhkan kembali hasil Kongres Umat Buddha. Ketika terjadi lagi provokasi
mengenai Hari Raya Waisak sebagai Hari Balas Budi, di tahun 1987, Sidang
Widyeka Sabha Walubi menetapkan bahwa NSI telah menyimpang dari kriteria agama
Buddha di Indonesia, juga melanggar kode etik dan Keputusan Lokakarya
Pemantapan Ajaran Agama Buddha dengan Kepribadian Nasional Indonesia yang telah
dikukuhkan melalui Kongres Umat Buddha maupun Kongres Walubi. Karena itu NSI
yang dinilai telah menyimpang dan tidak diakui termasuk dalam rumpun agama
Buddha dikeluarkan dari Walubi (10 Juli 1987). Pemerintah tidak mencampuri
masalah ini dan tetap mengakui eksistensi NSI.
Dorongan
untuk mengembangkan wadah tunggal juga ditemukan pada kelompok generasi muda
dan wanita. Pemuda Buddhis Indonesia (Pembudi) yang lahir dari lingkungan MUABI
(1973) dan aktif di KNPI dan Golkar setelah ikut menandatangani Pernyataan
Pemuda Indonesia 1986, mempersiapkan Kongres Pemuda Buddhis. Pemerintah ikut
mengarahkannya dengan mengikutsertakan unsur pemuda majelis-majelis Walubi,
sehingga terlaksana musyawarah bersama pada tahun 1986 yang melahirkan
organisasi Generasi Muda Buddhis Indonesia (Gemabudhi) dengan ketua Lieus
Sungkharisma. Sebelumnya di kalangan generasi muda yang terlihat aktif adalah
organisasi pemuda majelis. Selain Pemuda Tridharma yang sudah ada sejak tahun
1954, ada pula Sekretariat Bersama Persaudaraan Muda-mudi Vihara-vihara
Buddhayana Indonesia (Sekber PMVBI, 1981), menyusul kemudian Generasi Muda
Mahayana Indonesia (1986), dan lain-lain. Organisasi Wanita Buddhis yang semula
berpusat di Bandung (1973) juga mengikutsertakan kelompok wanita dari
majelis-majelis Walubi mengadakan Kongres Wanita Buddhis Indonesia pada tahun 1987.
Kongres melahirkan wadah tunggal dengan nama Keluarga Besar Wanita Buddhis
Indonesia (KBWBI). Pengurusnya diketuai oleh Dr. Parwati Soepangat, M.A. Sebuah
organisasi lokal, yaitu Keluarga Mahasiswa Buddhis Jakarta (KMBJ, 1971),
bersama-sama mahasiswa dari kota-kota lain melaksanakan Musyawarah Bersama
mendirikan Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia (Hikmahbudhi, 1988). Sementara
itu, dengan berlakunya Undang-Undang No 8 Tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan, beberapa organisasi Buddhis yang pernah dikenal ternyata sudah
bubar. Misalnya Musyawarah Kekeluargaan Buddhis Indonesia (MKBI) yang
mengelompokkan diri dalam MKGR, Rumpun Guru Agama Buddha Indonesia (Rugabi) dan
GUBSI. GUBSI atau Gabungan Umat Buddha Seluruh Indonesia (GUBSI) merupakan wadah
sosial kemasyarakatan yang didirikan pada tahun 1976 dengan bantuan DPP Golkar
dan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha. Budhi ikut melebur ke dalam GUBSI. Ketuanya
Eko Sasongko diangkat menjadi anggota MPR mewakili utusan golongan. Anggota MPR
berikutnya mewakili utusan golongan beragama Buddha adalah Soemantri M.S. dan
Biku Girirakkhito.
Sementara
itu pemerintah Orde Baru memandang perlu melakukan penataan terhadap lembaga
keagamaan Buddha dengan membersihkannya dari anasir-anasir adat Tionghoa yang
dianggap kultural asing. Berdasar instruksi Menteri Dalam Negeri (No.
455.2-360) tahun 1988 tentang Penataan Klenteng, tidak dibenarkan bangunan
keagamaan kepercayaan tradisional Cina menggunakan sebutan wihara atau cetya.
Dengan kata lain tidak boleh wihara dan cetya memperlihatkan
simbol-simbol/budaya Tionghoa. Walubi pun saat itu menyatakan Imlek bukan hari
raya agama Buddha.
Konflik
organisasi Buddhis kembali terjadi setelah Kongres atau Munas II Walubi di
tahun 1992. Biku Girirakkhito menjadi ketua umum dan Drs. Budi Setiawan
(Direktur Urusan Agama Buddha) sekjennya, sedangkan. Dra. Siti Hartati Murdaya
menjadi ketua Dewan Penyantun. Munas membentuk Badan Perumus AD/ART Walubi
beranggotakan 30 orang. Perbedaan pendapat mengenai hasil kerja Badan Perumus
AD/ART tersebut berlanjut sampai terjadi tindak kekerasan yang dilaporkan ke
Komnas HAM (penyetruman 3 orang tokoh dari MBI dan Martrisia). Selanjutnya
Walubi mengeluarkan Sanggha Agung Indonesia dan MBI dengan sejumlah alasan
ajaran dan disiplin organisasi (15 Oktober 1994). Keduanya dituduh sesat karena
sinkretisme besar dan sinkretisme kecil, memecah belah umat, serta menghidupkan
adat Cina. Dirjen Bimas Hindu dan Buddha dengan serta merta tidak melayani
Sagin dan MBI. Kemudian, adanya reformasi menyadarkan Walubi, sehingga Walubi
menerima kembali Sagin dan MBI pada tanggal 3 November 1998, sekaligus
mengembalikan citra dan nama baiknya. Dalam Munasnya pada tanggal 6 November
1998, DPP Walubi menyebutkan penyesalan atas segala persoalan tersebut, namun
Sagin dan MBI sendiri tidak diikutsertakan sebagai peserta Munas. Ternyata
lewat Munas III tersebut Walubi membubarkan diri.
Setelah
Walubi bubar, untuk mengefektifkan perannya, Sanggha Therawada Indonesia,
Sanggha Mahayana Indonesia, dan Sanggha Agung Indonesia membentuk Konferensi
Agung Sanggha Indonesia (KASI) pada tanggal 14 November 1998. KASI didirikan
dengan prinsip-prinsip dasar: (1) Demokratis, tidak otoriter, tidak memaksakan
kehendak sendiri, (2) Tanpa keakuan atau non-egoisme, (3) Mengakui pluralisme, (4)
Kebersamaan dalam kesetaraan dan kesamaan martabat, (5) Kepemimpinan yang
berorientasi pada fungsi dan tujuan lembaga, (6) Kerjasama yang baik, yang
sepenuhnya menunjang kehidupan yang bersih dan suci, (7) Mengakui bahwa
Tripitaka Pali, Tripitaka Mahayana, dan Tripitaka Tibet (Kan-jur) sebagai kitab
suci agama Buddha yang harus diyakini oleh umat Buddha, (8) Saling menghargai
keyakinan masing-masing Sanggha tanpa intervensi, (9) Saling membantu, saling
mendukung satu dengan yang lainnya, (10) Tidak mencampuri urusan masing-masing
Sanggha dan organisasi-organisasi di bawahnya, (11) Semua hubungan
organisatoris yang berskala nasional dan bersifat mengikat harus melalui
Konferensi Agung Sanggha Indonesia.
Mereka yang membubarkan Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi) membentuk Perwakilan Umat Buddha Indonesia dengan masih menggunakan singkatan Walubi. Organisasi ini juga membentuk Dewan Sanggha, dengan anggota perorangan. Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Mayjen TNI (Purn.) Ir. I Wayan Gunawan, terus berusaha agar Sagin dan MBI bergabung ke Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi baru). Pada tanggal 16 Juni 1999 Menteri Agama R.I. Malik Fadjar mengundang KASI, Sagin, dan MBI yang selama itu tidak dibina oleh Ditjen Bimas Hindu dan Buddha. Selanjutnya pada tanggal 17 Desember 1999 Menteri Agama memberi petunjuk tentang pembinaan menuju persatuan umat Buddha, yang juga dimuat dalam media massa dengan judul “Kembalikan Agama pada Pemeluknya”. Dirjen Bimas Hindu dan Buddha pun pada tanggal 27 Desember 1999 mengeluarkan surat yang ditujukan kepada Kakanwil Departemen Agama seluruh Indonesia untuk membina kembali MBI dan Sagin di luar Perwakilan Umat Buddha Indonesia.
Mereka yang membubarkan Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi) membentuk Perwakilan Umat Buddha Indonesia dengan masih menggunakan singkatan Walubi. Organisasi ini juga membentuk Dewan Sanggha, dengan anggota perorangan. Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Mayjen TNI (Purn.) Ir. I Wayan Gunawan, terus berusaha agar Sagin dan MBI bergabung ke Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi baru). Pada tanggal 16 Juni 1999 Menteri Agama R.I. Malik Fadjar mengundang KASI, Sagin, dan MBI yang selama itu tidak dibina oleh Ditjen Bimas Hindu dan Buddha. Selanjutnya pada tanggal 17 Desember 1999 Menteri Agama memberi petunjuk tentang pembinaan menuju persatuan umat Buddha, yang juga dimuat dalam media massa dengan judul “Kembalikan Agama pada Pemeluknya”. Dirjen Bimas Hindu dan Buddha pun pada tanggal 27 Desember 1999 mengeluarkan surat yang ditujukan kepada Kakanwil Departemen Agama seluruh Indonesia untuk membina kembali MBI dan Sagin di luar Perwakilan Umat Buddha Indonesia.
Selain
MBI, organisasi besar umat Buddha lainnya yang berada di luar Perwakilan Umat
Buddha Indonesia (Walubi baru) adalah Majelis Agama Buddha Tridharma Indonesia
dan Majelis Agama Buddha Therawada Indonesia. Majelis Agama Buddha Tridharma
Indonesia dideklarasikan pada bulan Desember 1998 dan kemudian dikukuhkan pada
tanggal 3 Januari 1999, memisahkan diri dari Majelis Rohaniwan Tridharma
Indonesia (Martrisia). Majelis Agama Buddha Therawada Indonesia (Magabudhi)
menyatakan keluar dari keanggotaan Perwakilan Umat Buddha Indonesia pada
tanggal 20 Maret 2000. Ketiga majelis ini mendukung KASI.
Kekecewaan terhadap Walubi juga mendorong sekelompok umat mendirikan Partai Buddhis Demokrat Indonesia (Parbudi). Di antara Walubi di satu pihak dengan MBI dan KASI di pihak lain sempat terjadi konflik sehubungan dengan pengusulan calon anggota MPR utusan golongan. Yang akhirnya diangkat menjadi anggota MPR adalah Dra. Hartati Murdaya dari Walubi, setelah dengan segala upaya menggusur nama MBI yang semula dicalonkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Akhir dari kemelut organisasi ini, Dirjen Bimas Hindu dan Buddha menyatakan Sagin dan MBI, di luar Walubi, dibina kembali oleh Departemen Agama (27 Desember 1999).
Kekecewaan terhadap Walubi juga mendorong sekelompok umat mendirikan Partai Buddhis Demokrat Indonesia (Parbudi). Di antara Walubi di satu pihak dengan MBI dan KASI di pihak lain sempat terjadi konflik sehubungan dengan pengusulan calon anggota MPR utusan golongan. Yang akhirnya diangkat menjadi anggota MPR adalah Dra. Hartati Murdaya dari Walubi, setelah dengan segala upaya menggusur nama MBI yang semula dicalonkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Akhir dari kemelut organisasi ini, Dirjen Bimas Hindu dan Buddha menyatakan Sagin dan MBI, di luar Walubi, dibina kembali oleh Departemen Agama (27 Desember 1999).
Suatu
wadah tunggal bukan lagi keharusan. Tiap majelis atau organisasi keagamaan
memiliki kebebasan, dan karena itu bertanggung jawab melaksanakan visi dan misinya.
Masing-masing. tidak mengintervensi satu sama lain. Keragaman terpelihara tanpa
mengabaikan persatuan, toleransi, saling mengerti, dan persaudaraan. Pengalaman
mengajarkan bahwa kemelut organisasi dan konflik terjadi karena penyalahgunaan
kekuasaan/ kedudukan untuk kepentingan pribadi, penggunaan kekerasan untuk
memaksakan kehendak dan praktik yang menyimpang dari nilai-nilai keagamaan
(Kitab Suci). Komunitas Buddhis menjadi semakin ideal lewat pendekatan
inter-sekte dengan menghargai dan memahami berbagai aliran agama Buddha. Dialog
antar-agama semakin berkembang, begitu pula dialog inter-sekte (khususnya dalam
lingkungan mainstream atau KASI). Globalisasi dan kemajuan teknologi informasi
telah menghadirkan berbagai pengaruh dari luar negeri. Biksu/biksuni atau
dharmaduta asing semakin banyak yang mengunjungi Indonesia. Lebih jauh lagi
usaha membumikan ajaran Buddha lewat socially engaged Buddhism, agama Buddha
yang memiliki kepedulian sosial, menjadi semakin nyata. Gerakan itu tidak hanya
datang dari majelis-majelis, tetapi juga belakangan ini yang menonjol Yayasan
Buddha Tzu Chi (berpusat di Taiwan) menebar cinta kasih tanpa membedakan
golongan, bangsa, dan agama.
Menjelang
50 tahun kebangkitan kembali agama Buddha (dihitung sejak Waisak 1953), Mahabiksu
Ashin Jinarakkhita wafat dalam usia 80 tahun pada tanggal 18 April 2002, tepat
pada saat para biku dari seluruh Indonesia berkumpul di Jakarta untuk mengikuti
Maha Sabha (Kongres) I KASI. Selama jenazah beliau disemayamkan di Ekayana
Buddhist Centre, Jakarta, dan kemudian disempurnakan di Krematorium Yayasan
Bodhisattva, Lempasing, Lampung, puluhan ribu umat Buddha memberikan
penghormatan dan mengantar kepergian biku yang amat berjasa dalam membangkitkan
peranserta umat Buddha Indonesia dalam pembinaan moral bangsa. Pemerintah
Indonesia telah menganugerahkan Bintang Mahaputera Utama kepadanya pada tanggal
15 Agustus 2005 di Istana Negara, Jakarta. Organisasi Buddhis yang
didirikannya, yang dikenal sebagai MBI baru saja (23 Juli 2005) merayakan tahun
emasnya dengan membuat acara historis yang spektakuler Sejuta Pelita Sejuta
Harapan di Candi Borobudur. Acara ini masuk dalam Musiem Rekor Indonesia
sebagai doa persembahan pelita terbesar yang pernah diseleranggarakan dengan
menyalanya lebih dari satu juta pelita di Borobudur.
Sumber: http://buddhayana.or.id, untuk selengkapnya juga temen-temen bisa mampir kesana.
0 comments:
Posting Komentar