RINGKASAN
MAKALAH TOPIK I
RIWAYAT HIDUP SIDHARTA GAUTAMA
DAN PENGERTIAN BUDDHA, DHARMA, DAN TRIRATNA, SERTA PENGERTIAN SADHA DAN PANCA SADHA
RIWAYAT HIDUP SIDHARTA GAUTAMA
DAN PENGERTIAN BUDDHA, DHARMA, DAN TRIRATNA, SERTA PENGERTIAN SADHA DAN PANCA SADHA
Oleh:
Dede Ardi Hikmatullah
(1111032100037)
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
FAKULTAS USHULUDDIN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
Kehidupan Sang Budha Gautama
Menurut
para ahli barat, Buddha Gautama, pendiri agama Buddha dilahirkan pada tahun 563
SM dan wafat pada tahun 483 SM. Ia adalah anak Raja Suddhodana yang memerintah
atas suku Sakhya di India Utara, kerajaannya bernama Kerajaan Kapilawastu yang
terletak di sungai Rapti (sungai Rohini), daerah dekat pegunungan Himalaya.
Ibunya bernama Ratu Maya Dewi (Dewi Mahayana). [1]
Sebelumnya,
Raja Suddhodana dan istrinya resah karena setelah dua puluh tahun menikah
mereka belum dikaruniai seorang anak pun. Namun, Pada suatu malam, Ratu Maya
Dewi bermimpi melihat seekor gajah putih turun dari langit yang memiliki enam
gading dan menggigit sekuntum bunga teratai di mulutnya memasuki rahim Ratu
Maya Dewi melalui tubuh sebelah kanannya.[2]
Ratu memberitahukan impian ini kepada Raja dan Raja kemudian memanggil para
Brahmana untuk menanyakan arti impian tersebut. Para Brahmana menerangkan bahwa
Ratu akan mengandung seorang bayi laki-laki yang kelak akan menjadi seorang Cakkavatti
(raja dari semua raja) atau seorang Buddha. Dan benar saja, sejak mimpi
itu akhirnya Ratu Maya mengandung. [3]
Ketika
waktunya telah tiba untuk melahirkan, Ratu Maya pergi ke taman Lumbini dengan
suami dan para dayangnya. Disaat bulan purnama Sidhi[4],
di Taman Lumbini ini, Ratu Maya melahirkan seorang Bodhisattva. Tetapi
pemaisuri wafat ketika sang bayi berumur satu minggu.[5]
Buddha sekarang diasuh oleh kakak perempuan ibunya, Mahaprajapati, yang juga
menjadi istri Raja Suddhodana.[6]
Bayi itu diberi nama Siddharta, yang berarti semua cita-citanya tercapai, Gautama
adalah nama keluarganya[7]
juga karena sanak keluarganya menganggap dirinya sebagai keturunan Guru Weda
Gautama. Ia juga disebut Shakyamuni yakni rahib atau yang bijaksana dari
kaum Shakya, dan Shaakyasinha yaitu singa dari kaum Sakya karena ia
termasuk golongan ksatria keturunan Shakya.[8]
Pada waktu hidupnya Siddharta sebagai putra raja, Siddharta dilimpahi oleh
kesenangan dan kemewahan yang tiada taranya. Maksud ayahnya ialah untuk
menjauhkan Siddharta dari pemikiran menjadi pemimpin agama. Namun, hati
Siddharta lebih tertarik pada pertapaan.[9]
Dengan
tekad bulat untuk meninggalkan keduniawian, Shidarta pun keluar dari istana dan
melakukan perjalanan guna memulai perjalanan spiritualnya sebagai pertapa.[10] Pada suatu malam di bulan Waisak
ketika bukan purnama, di tepi sungai Neranjara, ketika ia sedang mengheningkan
cipta di bawah pohon Assatta (pohon Boddhi) [11]
dengan duduk padmasana
melakukan meditasi dengan mengatur pernapasannya, maka datanglah petunjuk
kepadanya sehingga ia mendapatkan ilmu pengetahuan yang tinggi, yang meliputi
hal berikut:
a.
Pubbenivasanussati, yaitu pengetahuan tentang kehidupan dan proses kelahiran kembali.
b.
Dibacakkhu, yaitu pengetahuan dari mata dewa dan mata batin.
c.
Cuti
Upapatana, yaitu pengetahuan bahwa timbul dan
hilangnya bentuk-bentuk kehidupan, baik atau buruk, bergantung pada prilaku
masing-masing.
d.
Asvakkhayanana, pengetahuan tentang padamnya semua kecenderungan dan avidya,
tentang menghilangkan ketidaktahuan.
Dengan
pengetahuan tersebut, ia mendapatkan penerangan yang sempurna, pengetahuan
sejati dan kebebasan batin sempurna. Dia telah mendapatkan jawaban teka-teki
kehidupan yang selama ini dicarinya, dengan pengertian penuh sebagaimana
tercantum dalam empat ‘kesunyataan mulia’ yaitu penderitaan, sumber
penderitaan, lenyapnya penderitaan, dan delapan cara yang utama menuju
lenyapnya penderitaan itu. Dengan telah tercapainya penerangan tersebut maka Siddharta Gautama
telah menjadi Buddha pada umur 35 tahun, sekaligus menjadi ‘Accharya Manusia’ (Guru
Manusia).
Setelah
itu sang Buddha masih ragu-ragu untuk menyampaikan dharma-nya kepada
orang lain, karena dharma-nya
hanya dapat diterima orang arif bijaksana. Jadi kepada siapakah dharma
itu harus diajarkan, kepada bekas gurunya, mereka sudah mati, maka ia pergi ke
Benares[12] untuk menemukan murid-muridnya. Pada mulanya para murid itu ragu,
tetapi setelah melihat keagungan Buddha maka kelima muridnya bersedia kembali
mengikuti ajarannya. Kepada mereka lalu diajarkan empat kesunyataan itu.
Peristiwa-peristiwa
tersebut di atas sangat penting dalam agama Buddha, yang disebut “Dharmma Cakra
Pravantana Sutra”, yaitu “Pemutaran Roda Dharmma” yang selalu diperingati oleh
para penganut agama Buddha. Begitu juga taman isi patana di Benares yang
merupakan tempat asal mula kelahiran ajaran Buddha dan sangha, para
pemula penganut ajaran Buddha, merupakan tempat suci bagi umat Buddha. Sejak
peristiwa pemutaran rodha dharma tersebut mulailah Siddharta Gautama
yang telah menjadi Buddha itu, menyebarkan ajaran di seluruh India mulai dari
kota Rajagraha yang berpokok pada empat kebijakan kebenaran bahwa:
· Kehidupan manusia itu pada dasarnya tidak bahagia,
· Sebab-sebab tidak bahagia karena memikirkan kepentingan diri
sendiri terbelenggu oleh nafsu,
· Pemikiran kepentingan diri sendiri dan nafsu dapat ditekan habis
jika semua nafsu dan hasrat dapat ditiadakan, yang dalam ajaran Buddha adalah nirwana,
· Menimbang benar, berpikir benar, berbuat benar, mencari nafkah,
berusaha yang benar, mengingat yang benar, meditasi yang benar.
Selama 45 tahun lamanya Buddha menyampaikan ajaran-ajaran, sehingga
dari sekitar 60 orang anggota sangha kemudian menjadi ribuan orang
banyaknya, yang memerlukan banyak wihara, pada akhirnya dalam umur 80
tahun wafat di Kusiwara yang letaknya sekitar 180 km dari kota Benares. [13]
Buddha
Buddha berasal dari bahasa Sansekerta “budh” berarti menjadi
sadar, kesadaran sepenuhnya, bijaksana, dikenal, diketahui, mengamati dan
mematuhi. (Arthur Antony Macdonell, Practical Sanskrit Dictionary, Oxford
University Press, London, 1965).
Namun dalam tradisi
agama Buddha, buddha adalah sebuah gelar, suatu jabatan atau seorang tokoh yang sudah
pernah menjelma pada seseorang.[14] Menurut keyakinan Buddhis (umat Buddha),
sebelum tahap zaman sekarang ini, sudah ada tahap zaman yang tak terbilang
banyaknya. Tiap zaman memiliki buddha-nya sendiri-sendiri.
Tegasnya buddha adalah seseorang yang telah mencapai
penerangan atau pencerahan sempurna dan sadar akan kebenaran kosmos serta alam
semesta. “Hyang Buddha’’ adalah seorang yang telah mencapai penerangan luhur,
cakap dan bijak menunaikan karya-karya kebajikan dan memperoleh kebijaksanaan
kebenaran mengenai nirvana serta mengumumkan doktrin sejati tentang
kebebasan atau keselamatan kepada dunia semesta sebelum parinirvana.
Dharma adalah doktrin atau pokok ajaran. Inti dharma Buddha
dirumuskan dalam empat aryasatyani yaitu ajaran yang diajarkan Gautama
di Benares, sesudah ia mendapat pencerahan[15], yaitu:
§ Dukha, penderitaan. Hidup adalah menderita.
§ Samudaya, sebab. Penderitaan ada sebabnya, yang menyebabkan orang
dilahirkan adalah keinginan untuk hidup, disertai nafsu, untuk mencari kepuasan
di sana-sini, yaitu kehausan pada kesenangan, kehausan pada kekuasaan.[16]
§ Nirodha, pemadaman. Pemadaman kesengsaraan dengan penghapusan keinginan.
§ Marga, jalan kelepasan. Jalan menuju pemadaman penderitaan ada delapan: percaya
yang benar, maksud yang benar, kata-kata yang benar, perbuatan yang benar,
hidup yang benar, usaha yang benar, ingatan yang benar, Dan semadi yang benar. [17]
Dhrama
juga mencakup hukum kebenaran, agama, hal, dan segala sesuatu yang
mengenai agama Buddha. Berhubungan dengan ajaran agama Buddha sebagai agama
yang sempurna, dharma mengandung 4 (empat) makna utama: doktrin, hak-keadilan-kebenaran,
kondisi, barang yang kelihatan atau phenomena.
Ajaran
agama Buddha dapat dirangkum di dalam Triratna (tiga batu permata),
yaitu buddha, dharma, sangha (jemaat Buddha).[18] Seseorang
telah menjadi umat Buddha bila ia menerima dan mengucapkan Triratna
(Sansakerta) atau Tiga Mustika (Indonesia) yang berarti buddha, dharma, sangha.
Pada saat sembahyang atau kebaktian di depan altar Hyang Buddha. Triratna
secara lengkap diucapkan dengan tenang dan khusyuk sampai tiga kali atau
disebut Trisarana. Trisarana adalah sebagai berikut:[19]
Buddhang Saranang Gacchami
Dharmang Saranang Gacchami
Sanghang Saranang Gacchami
Dwipanang Buddhang Saranang Gacchami
Dwipanang Dharmang Saranang Gacchami
Dwipanang Sanghang Saranang Gacchami
Tripanang Buddhang Saranang Gacchami
Tripanang Dharmang Saranang Gacchami
Tripanang
Sanghai Saranang Gacchami
PENGERTIAN SADHA DAN
PANCA SADHA (KEYAKINAN)
Saddha adalah sebutan dalam bahasa Pali
atau sradha sebutan dalam bahasa Sanskerta, yang berarti “keyakinan”
atau “kepercayaan-benar” (Confident).[20] Adapun Panca Saddha (lima
keyakinan) dari agama Buddha adalah sebagai berikut: keyakinan terhadap Adhi Budha, keyakinan terhadap para Budha, Bodhisatwa
dan Arahat, keyakinan terhadap Hukum Kasunyataan, keyakinan terhadap Kitab Suci
(Tripitaka), dan keyakinan terhadap Nibbana.
Keyakinan terhadap Adhi
Budha
Tuhan dalam agama Buddha bukanlah hal yang baru, melainkan hal yang
telah lama di kembangkan, sejak pada abad ke IV Masehi dari negara bagian
Benggala, tempat kota kelahiran Acarya Asangha.[21]
Istilah Adi Buddha digunakan untuk menamakan sumber ke-budha-an dan
istilah ini ditemukan baik di Pulau Jawa (Indonesia) maupun di Nepal, dan di
Tibet. Dianggap istilah tersebut berasal dari Mahayana di Benggala. Di Nepal
selain Adi Buddha dikenal juga dengan adinata yang berarti Pelindung
Utama atau Svayambhulokanata yang berarti Pelindung Jagad yang tidak
dilahirkan. Bukti pertama konsep Adi Buddha ini terdapat dalam kitab “Nama-sangiti”
karya Bhikku Indonesia bernama Chandrakirti.[22]
Keyakinan Terhadap Para
Budha, Bodhisatwa dan Arahat
Bhodisatwa
Secara
harfiah bhodisatwa berarti “orang yang hakikat atau tabiatnya adalah
bodhi (hikmat) yang sempurna”. Sebelum Mahayana timbul, pengertian bhodisatwa
sudah dikenal juga, dan dikenalkan juga kepada Buddha Gautama, sebelum ia
menjadi Buddha. Disitu bhodisatwa adalah orang yang sedang dalam
perjalanan untuk mencapai hikmat yang sempurna, yaitu orang yang akan menjadi
Buddha. Jadi semula bhodisatwa adalah sebuah gelar bagi tokoh yang
ditetapkan untuk menjadi Buddha. Namun, bhodisatwa juga dipahami sebagai
penganut agama Budhha yang belum menjadi Buddha atau calon Buddha yang belum
mencapai nibbana.[23] Didalam
Mahayana, bhodisatwa adalah orang yang sudah melepaskan dirinya dan
dapat menemukan sarana untuk menjadikan benih pencerahan tumbuh dan menjadi
masak pada diri orang lain. Seorang bhodisatwa bukan hanya merenungkan
kesengsaraan dunia saja melainkan juga turut merasakannya dengan berat. Oleh
karenanya sudah mengambil keputusan
untuk mempergunakan segala aktivitasnya sekarang dan kelak guna keselamatan dunia.
Karena kasihnya pada dunia maka segala kebajikannya dipergunakan untuk menolong
orang lain.
Cita-cita
tertinggi di dalam Mahayana ialah untuk menjadi bhodisatwa. Cita-cita
ini berlainan sekali dengan cita-cita Hinayana, yaitu untuk menjadi arahat,
yaitu orang yang sudah berhenti keinginanya, ketidaktahuannya, dan sebagainya,
dan oleh karenanya tidak ditaklukkan lagi pada kelahiran tumimbal kembali.
Seorang arahat hanya memikirkan kelepasan diri sendiri.[24]
Arahat
Permulaan
agama Buddha menanamkan ide rangkap mengenai arahatva dan nirvana.
Buddha Gautama mengajarkan kepada murid-muridnya yang pertama kali dengan
khotbah Empat Kasunyataan Mulia dan Delapan Jalan Utama serta menekankan pada ketidak-kekalan
dan tiada-kepemilikan dari semua unsur pokok mengenai pribadi manusia.
Para siswa ini dipanggil arahat, dan Buddha sendiri diuraikan sebagai
seorang arahat. Konsepsi mengenai arahat dikembangkan dan
diperinci secara perlahan-lahan oleh guru dan penggantinya. Jadi seorang arahat
juga diharuskan mengerti formula mengenai dua belas nidanas (sebab-akibat).
Dia ditetapkan sebagai seorang yang telah mencabut tiga asrava (asava=
minuman keras, dosa, dan kesalahan dari keinginan akan rasa, suka akan yang
ada, dan ketidaktahuan, dan juga tambahan keempat asrava mengenai
pikiran yang spekulasi. Dia melatih tujuh faktor penerangan (shambojjhanga),
yaitu kesadaran, penelitian, energi, kesenangan, ketenangan, konsentrasi, dan
ketenangan hati.[25]
Perbedaan
besar antara arahat dan bodhisattwa ialah bahwa arahat yang
bertujuan untuk mendapatkan pencerahan dan kebebasan bagi diri sendiri,
sedangkan bodhisattwa ingin menolong semua makhluk dan membawa mereka
menuju pencerahan sepenuhnya. Sebagaimana telah dijelaskan di atas. Untuk
melakukan hal ini, walau sudah memenuhi syarat, bodhhisattwa dengan
sukarela meninggalkan nirwana dan tetap tinggal di dunia untuk menolong
semua makhluk semua makhluk, manusia maupun binatang.[26]
SUMBER
REFERENSI
Hadikusuma,
Hilman. 1983. Antropologi Agama. ______: PT Citra Aditya Bakti.
Hadiwijono,
Harun. 2010. Agama Hindu dan Buddha. Jakarta: Gunung Mulia.
Honig
A. G. (Jr.). 1997. Ilmu Agama. Terjemahan oleh M. D. Koesoemo Soesastro dan
Soegiarto. Jakarta: Gunung Mulia.
Majelis
Buddhayana Indonesia. _____. Kebahagiaan dalam Dhamma. Depok: Bromo FC.
Suwarto.
1995. Buddha Dharma Mahayana. Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana
Indonesia.
Suzuki,
Beatrice Lane. 2009. Agama Buddha Mahayana. _______: Karaniya.
Tanggok,
M. Ikhsan. 2009. Agama Buddha. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta.
Widyadharma,
Pandita S.. 1979. Riwayat Hidup Buddha Gotama. Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan
Buddhis Nalanda.
[2] Drs.
Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, (Palembang: Majelis Agama Buddha
Mahayana Indonesia, 1995), hal. 7
[3] Pandita S.
Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, (Jakarta: Yayasan Dana
Pendidikan Buddhis Nalanda, 1979), hal.3
[4]
Menurut
aliran Utara atau Mahayana, beliau lahir tanggal 8 bulan 4, lunar tahun 566
S.M., menurut aliran Selatan atau Hinayana, tanggal 6 May, tahun 623 S.M.
[5]
Harun Hadiwjono, Agama Hindu dan Buddha, h. 65
[6] A. G. Honig Jr., Ilmu Agama, Terjemahan
M. D. Koesoemo Soesastro dan Soegiarto, (Jakarta : Gunung Mulia, Cet. 8, 1997),
h.170
[7] Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, h. 9
[8] A. G. Honig Jr., Ilmu Agama, h. 167
[9] Harun Hadiwjono, Agama Hindu dan
Buddha, h. 65
[10] Harun Hadiwjono, Agama Hindu dan
Buddha, h. 66
[11] M. Ikhsan Tanggok, Agama Buddha, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h. viii
[12] Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, (_____:
PT Citra Aditya Bakti, 1983), h. 210
[13] Harun Hadiwjono, Agama Hindu dan
Buddha, h. 68
[14] Harun Hadiwjono, Agama Hindu dan
Buddha, h. 69
[15] Harun Hadiwjono, Agama Hindu dan Buddha, h. 71
[16] Harun Hadiwjono, Agama Hindu dan Buddha, h. 71
[17] Harun Hadiwjono, Agama Hindu dan Buddha, h. 71
[18] Harun Hadiwjono, Agama Hindu dan Buddha, h. 69
[19]
Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, hal. 49-50
[20] Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam
Dhamma, (Depok : Bromo FC), h. 15
[22]
Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan dalam Dhamma, h. 337
[23]
Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan dalam Dhamma, h. 44
[24]
Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, h. 91-92
[25] Suwarto,
Buddha Dharma Mahayana, h. 131
[26] Beatrice Lane Suzuki, Agama Buddha Mahayan,.
Terjemahan Hustiati. ( _____: Karaniya, 2009), h. 67
0 comments:
Posting Komentar