RINGKASAN
MAKALAH TOPIK IX
ALIRAN MAHAYANA DAN HINAYANA, SERTA RITUAL DAN PRAKTEK PERIBADATAN KEDUANYA
Oleh:
Dede Ardi Hikmatullah
(1111032100037)
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
FAKULTAS USHULUDDIN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
ALIRAN BESAR DALAM BUDDHISME
Semenjak Sang Buddha parinibbana, terdapat
beberapa usaha untuk melestarikan ajaran Buddha. Diprakarsai oleh Maha Kassapa
terbentuklah Sanghayana I yang berusaha melestarikan ajaran Buddha dengan
mengulang kembali ajaran-ajaran Buddha. Demikian seterusnya dengan melestarikan
Dhamma dan Vinaya dilakukan Sanghayana-Sanghayana yang lain. Pada Sanghayana
kedua terdapat permasalahan, dan menurut menurut Cullavaga hal ini terus
berlanjut menjadi konflik yang akhirnya menimbulkan munculnya gerakan baru
yaitu Mahayana, sedang yang konservatif disebut Hinayana.
Terlepas
dari semua histori kemunculan dua aliran besar yaitu Hinayana dan Mahayana,
pada kenyataannya sekarang terdapat dua aliran besar yaitu Theravada dan
Mahayana yang diyakini bibitnya berasal dari Hinayana dan Mahayana.[1]
Aliran Hinayana
Kata
hinayana bukanlah berasal dari bahasa Tibet, bukan berasal dari bahasa
China, Inggris ataupun Bantu, tetapi berasal dari bahasa Pali dan Sanskerta.
Oleh karena itu, satu-satunya pendekatan yang masuk akal untuk menemukan arti
dari kata tersebut adalah mempelajari bagaimana kata hinayana digunakan
dalam teks Pali dan Sanskerta. Hinayana terdiri dari hina (kecil) dan yana (kendaraan), sehingga sering disebut sebagai “kendaraan kecil” karena bertujuan menjadi arahat maupun paccekabuddha yang dianggap lebih rendah (inferior). Hinayana
juga diartikan sebagai “kereta kecil” atau “kurang berusaha, jalan kecil atau
aliran selatan”.[2]
Istilah hinayana ini sendiri sebenarnya merupakan istilah yang diberikan
oleh kaum Mahayana.
Prinsip-prinsip pandangan dari ajaran
Hinayana adalah mempertahankan kemurnian ajaran Buddha dan menjaga ajaran
Buddha tidak terpengaruh oleh kebudayaan lain, oleh karenanya dipandang orthodox.
Penganut-penganut Hinayana menitikberatkan meditasi untuk mencapai penerangan
sempurna sebagai jalan yang terpendek untuk menyelami dhamma dan
mencapai pembebasan, nibbana. Aliran
Hinayana ini juga mengajarkan kepada pengikutnya untuk hidup sesuai ajaran,
puas dengan apa yang diperoleh, dan hidup bahagia dengan janji bahwa mereka
akan terlahir kembali di alam yang menyenangkan dalam kehidupan selanjutnya
(Simkins dkk, 2000: 24).
Kitab
suci dalam aliran dibagi menjadi tiga bagian yang disebut Tipitaka (Tiga Keranjang), yaitu:
§ Vinaya
Pitaka, berbicara mengenai sangha.
§ Sutta
Pitaka, terdiri dari bermacam-macam ceramah yang
diberikan oleh Buddha.
§ Abhimdhamma
Pitaka, berisi analisis ajaran Buddha.
Di
dalam aliran Hinayana tidak ada upacara-upacara keagamaan yang rumit-rumit dan
mereka yang menganut aliran ini masih mempertahankan kesederhanaannya seperti
dahulu di waktu Sang Guru sendiri masih hidup pada 25 abad yang silam. Karena
bagi penganut aliran ini, upacara-upacara keagamaan kurang dianggap
penting dan bahkan upacara-upacara yang berlebih-lebihan hanya menjadikan
ikatan-ikatan yang dapat menghambat kemajuan-kemajuan batin.[3]
Aliran Mahayana
Aliram Mahayana, yaitu aliran Hinayana yang diperbaharui dengan diberi
pelajaran-pelajaran ekstra yang dipelopori oleh Buddhaghosa atau Asvaghosa.[4] Dua kata yang seolah-olah
menjadi kunci bagi ajaran Mahayana adalah bhodhisattwa dan sunyata,
karena kedua kata itu hampir terdapat pada tiap halaman tulisan-tulisan
Mahayana. Selain itu, cita-cita tertinggi di dalam Mahayana ialah untuk menjadi
bodhisattwa. Cita-cita ini berlainan
sekali dengan cita-cita Hinayana, yaitu untuk menjadi arahat.
Berkaitan
dengan cita-cita tentang bodhisattwa ini, di dalam aliran Mahayana ada
ajaran tentang pariwarta, yaitu bahwa
kebajikan dapat dipergunakan untuk kepentingan orang lain. Orang yang
mendapatkan pahala karena kebajikannya, dapat mempergunakan pahala itu untuk
kepentingan orang lain.
Selain boddhisattwa, hal yang kedua yang memberi ciri Mahayana adalah ajaran tentang Sunyata, yang artinya “kekosongan”.
Kosong (sunyata) berarti tidak ada
yang mendiaminya. Oleh karena itu sunyata berarti bahwa tiada pribadi
(yang mendiami orang). Segala sesuatu adalah kosong, oleh karenanya tidak ada
yang dapat diinginkan atau dicari.
Di dalam Mahayana, Buddha menjadi suatu
makhluk dari golongan yang lebih tinggi, jauh di atas para manusia. Meskipun ia
tidak dipandang sebagai Tuhan dalam arti yang sebenarnya, tetapi
setidak-tidaknya ia dianggap mempunyai sifat luar biasa dan ia makin menjadi
objek pemujaan dan penyembahan.[5]
Ajaran tentang banyak Buddha ini dijabarkan dari ajaran tentang lima skandha, atau
lima unsur yang menyusun hidup manusia.
Semula diajarkan bahwa manusia terdiri dari lima skandha, yaitu: rupa (tubuh),
wedana (perasaan), samjna (pengamatan), samskara (kehendak, keinginan, dsb.),
dan wijnana (kesadaran). Ajaran ini
diterapkan terhadap diri Buddha sendiri.
Kitab
suci Mahayana sendiri, terutama pada masa-masa awalnya, ditulis dalam bahasa
Sanskerta, yaitu bahasa India pertama. Kebanyakan isinya dapat dijumpai dalam Pali Cannon tetapi dengan penambahan kitab-kitab lainnya. Dinyatakan bahwa
kitab-kitab tambahan ini dipercaya sebagai “Sabda Buddha”. Salah satu diantaranya
yang paling terkenal ialah Vimalakirti
Sutra, yang berisi tentang
seseorang yang berumah tangga tetapi hidupnya lebih suci daripada semuanya bodhisattwa.[6]
Pokok-pokok ajaran Mahayana secara ringkas:
a.
Seseorang
dalam mencapai nirwana tidak egoistis dan mementingkan dirinya
sendiri akan tetapi dapat saling membantu.
b.
Kunci
keutamaan ialah kasih sayang yang disebut “karuna”.
c.
Pencapaian
tertinggi adalah bodhisatva (orang yang telah mencapai
ilham sehingga terjamin untuk masuk nirwana).
d.
Buddha
dipandang sebagai juru selamat manusia.
Selain
itu, di dalam Mahayana terdapat banyak sekali upacara-upacara keagamaan yang
rumit-rumit dan Mahayana lebih menitikberatkan kebaktian pada Sang Triratna
yaitu Sang Buddha, Dhamma dan Sangha. Baik dalam aliran Hinayana maupun
Mahayana, kedua-duanya mengajarkan pelajaran dan tujuan yang sama, hanya
mungkin upacara-upacara keagamaannya yang agak berlainan.
Dalam
aliran Mahayana banyak sekali para Boddhisattva Mahasattva yang dipuja seperti
Avalokitecvara, Maitreya, Amitabha Buddha, dll. Sedangkan dalam Hinayana tidak.[8]
Perbandingan Antara Hinayana dan Mahayana
a) Dalam Hinayana, setiap ajaran
berdasarkan etika dan sejarah, dalam Mahayana adalah keagamaan dan metafisika, yang
merupakan suatu fase belakangan dari Buddhisme.
b) Dalam Hinayana, kitab suci
yang digunakan berbahasa Pali dan kemudian campuran Sanskrit, sedangkan dalam Mahayana
murni dalam bahasa Sanskrit.
c) Dalam Hinayana, terdapat konsepsi
mengenai non-ego (anatman)
yaitu pencampuran dari lima unsur atau elemen (panca skandha)
yang terus berubah (anitya)
atau sementara (ksanika).
d) Dalam Hinayana, pembebasan (nirvana) ialah bersifat individu tapi
harus dicatat bahwa pada waktu yang bersamaan itu bukanlah merupakan
penghancuran melainkan keadaan kekal, damai, bahagia dan baik sekali. Sementara
dalam Mahayana, nirvana
adalah perolehan dari kesempurnaan pengetahuan yaitu prajnaparamita
e) Dalam Hinayana, pembebasan diperoleh
dengan pembersihan atau pemberantasan mengenai kekotoran batin disebabkan oleh
ketidaktahuan/kebodohan (avidya),
sedangkan pembebasan dalam Mahayana tidak hanya dengan pemberantasan mengenai
kekotoran batin yang disebabkan oleh ketidaktahuan/kebodohan (avidya) tapi juga pembasmian
mengenai ketidakjelasan mengenai ketenangan yang abadi, murni dan kekal (jneyavarana).
f) Dalam Hinayana, pengikut
dikenal sebagai sravaka,
yang mencari ke-arahat-an
pada akhir masa kehidupannya yaitu nirvana,
sedangkan pengikut dalam Mahayana dikenal sebagai bodhisattwa,
yang diajarkan untuk memperoleh Bodhi-pranidhi-citta
dan Bodhi-prasthana-citta
g) Dalam Hinayana, umat awam
adalah yang terutama sebagai penunjang sangha
dengan memberikan hadiah-makanan, pakaian, dan membangun vihara untuk tempat tinggal Bhiksu.
Mereka semata-mata pendengar khotbah yang disampaikan Bhiksu dan pengamat lima
atau kadang-kadang delapan aturan sila,
sedangkan umat awam dalam Mahayana dicalonkan sebagai bodhisttwa yang mempunyai tugas seperti
yang dijelaskan di atas.
h) Menurut Hinayana, Buddha hanya
muncul satu kali dalam satu kalpa,
sedangkan menurut Mahayana semua mutlak mempunyai sifat dasar atau benih-benih
Buddha, secara teknis dikenal sebagai Tathagata-garbha
yang merupakan tempat perpaduan ke dua-duanya yang baik dan buruk, dan hanya
bilamana yang buruk itu dibasmi secara total, maka dia akan menjadi Tathagata.
i) Dalam Mahayana, terdapat
konsepsi madhyamika dan yogacara menganggap makhluk dunia dan
obyek adalah tidak kekal, sementara (ksanika)
dan karena itu mereka sebenarnya non-eksistensi (sunya)
atau kesadaran murni secara mutlak.
j) Menurut konsepsi Hinayana, kebenaran
tertinggi ialah hanya Pudgala-sunyata
dan Dharma-sunyata
k) Menurut Hinayana, terdapat
empat tingkatan kesucian atau jhana
yaitu: Sotapatti, Sakadagami,
Anagami,
dan Arahatta, sedangkan Mahayana 10 tingkat
atau Dasa-Bhumi (menurut Bodhisattva-Bhumi
ada12) mulai Bodhisattva melewatinya untuk memiliki pembebasan sempurna dan
menjadi Budha.[9]
SUMBER REFERENSI
Arifin,
M.. 1986. Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar. Jakarta: PT Golden
Trayon Press.
Honig,
A. G. (Jr.). 2003. Ilmu Agama. Jakarta: Gunung Mulia.
Keene, Michael. 2006. Agama-Agama
Dunia. Yogyakarta: Kanisius.
Majelis
Buddhayana Indonesia. 1980. Kebahagiaan dalam Dhamma. Depok: Bromo FC.
T., Suwarto.
1995. Buddha Dharma Mahayana. Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana
Indonesia.
0 comments:
Posting Komentar