RINGKASAN
MAKALAH TOPIK VIII
BUDDHISME DI KOREA DAN THAILAND,
DAN BUDDHISME DI JEPANG
Oleh:
Dede Ardi Hikmatullah
(1111032100037)
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
FAKULTAS USHULUDDIN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
BUDHISME DI KOREA DAN THAILAND
Hwanin atau Hwanung
yang muncul dalam mitologi Dangun yang merupakan mitologi pendirian
Korea, berarti langit atau Tuhan. Setelah itu, agama bersifat jampi untuk
mengejar keberuntungan, menguasai dunia. Namun, hal itu kemudian mengalami
perubahan-perubahan setelah tiga agama besar berkuasa, agama Buddha, agama
Konghucu diperkenalkan, walaupun Konghucu di Korea bisa disebut bukan agama,
melainkan sesuatu yang hanya untuk dilihat dari sisi ilmu, filsafat etika dan
sebagainya. Namun, bisa dikatakan bahwa seluruh warga Korea memiliki cara
berpikir dan bersifat seperti agama Konghucu. Agama Cheondo, Agama Daejonggyo
dan sebagainya merupakan agama nasional yang memuja pendiri Korea, yaitu Dangun.
Selain itu, Shamanisme juga berakar
mendalam bagi warga Korea sebagai kepercayaan rakyat. Seperti contoh, warga
Korea pergi ke peramal atau dukun untuk menghilangkan nasib buruk ketika
menghadapi pilihan penting seperti membuka toko atau ingin sekolah atau untuk
mendapat keberuntungan dan mencegah penyakit.
Awal Sejarah dan Perkembangannya
Agama Buddha yang masuk ke Korea berasal
dari Cina, dengan aliran Mahayana. Agama Buddha diperkenalkan di Korea
pada tahun 372 Masehi, pada periode
pemerintahan Kerajaan Goguryeo oleh seorang biarawan bernama Sundo yang berasal
dari Dinasti Qian Qin di Cina. Peranan Korea pada sejarah agama Buddha terletak
pada kedudukannya sebagai jembatan penyeberangan agama Buddha dari Cina ke
Jepang. Meskipun agama Buddha di semenanjung Korea diterima oleh
kerajaan-kerajaan setempat, namun sejarah tidak mencatat kemajuan dari ajaran
agama Buddha.
Zaman keemasan agama Buddha di Korea terjadi
pada masa pemerintahan Dinasti Wang, yakni pada abad ke 11 Masehi. Ketika
kekuasaan Dinasti Wang atas semenanjung Korea diambil alih oleh Dinasti Yuan
dari Kerajaan Mongol, maka agama Buddha di Korea banyak dipengaruhi oleh
Lamaisme yang berasal dari Tibet. Setelah Dinasti Yuan dikalahkan oleh Dinasti
Rhee dari Chosun, maka dinasti ini menerima ajaran Konghucu dan membenamkan
ajaran agama Buddha.
Setelah abad 11 Masehi, agama
Buddha yang semula hanya dipeluk oleh para aristrokrat dari Dinasti
Silla kemudian diterima oleh masyarakat umum berkat usaha-usaha yang dilakukan bhiksu-bhiksu
Yi Tien, P’u Chao, dan lain-lain. Bhiksu Yi Tien terkenal dengan editing
katalog kitab Tripitaka Cina, setelah belajar agama Buddha di Cina dan
menyebarkan pandangan aliran Houa Yen
dan Tien Tai di Korea. Bhiksu Yi Tien juga menulis beberapa naskah agama Buddha
dalam bahasa Korea.
Ketika Yi Seong Gye, pendiri Dinasti
Joseon, mengadakan pemberontakan dan memproklamirkan dirinya sebagai raja pada
tahun 1392, ia mencoba menghapus seluruh pengaruh agama Buddha dari
pemerintahan serta mengadopsi Konfusianisme sebagai pedoman pengelolaan negara
dan moralitas. Sepanjang lima abad pemerintahan Dinasti Joseon, segala upaya
untuk menghidupkan kembali agama Buddha mendapat perlawanan keras dari para
cendekiawan dan pejabat Konfusius. Pada tahun 1910 Masehi, Jepang mengambil
alih pemerintahan Joseon secara paksa sebagai penjajah, Jepang melakukan
upaya-upaya untuk mengasimilasi kepercayaan lokal dengan agama Buddha. Namun upaya-upaya
ini gagal dan bahkan berakibat pada bangkitnya minat akan agama Buddha pribumi
di antara rakyat Korea.
Meski sering terjadi pergantian
penguasa di Korea, akan tetapi ke eksistensi-an agama Buddha masih tetap
terjaga, hal ini karena penduduk Korea sudah banyak yang memeluk agama Buddha,
dan menjadi agama turun-temurun.
Agama Buddha di Korea Zaman Modern
Kesenian, ilmu
pengetahuan dan teknologi yang banyak diimpor dari Cina, India dan berbagai
negara ikut memperkaya kebudayaan Korea.
Pada masa Tiga Kerajaan, yang manfaat ilmunya dirasakan oleh masyarakat
Korea sampai sekarang. Namun, pada beberapa dekade terakhir ini, telah terjadi
semacam kebangkitan kembali yang melibatkan upaya-upaya untuk menyesuaikan
ajaran Buddha dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat modern.
Berbeda dengan agama Buddha Hinayana
yang mengejar kebenaran pribadi dan kebebasan dari nafsu duniawi, agama Buddha
di Korea bersifat agama Buddha Mahayana untuk menyelamatkan masyarakat awam.
Namun, agama Buddha di zaman Korea modern lebih banyak menganut sekte Buddha
Zen dengan mempercayai Buddha Amitabha atau Bodhisatva Maitreya. Sekte Zen ini
jelas sekali telah mengalami perkembangan dengan banyaknya warga negara asing
yang mengikuti jejak biarawan-biarawan Korea.
Sampai saat ini agama Buddha di
Korea masih tetap hidup dan para pemeluknya semakin bertambah. Agama Buddha di
jadikan agama negara oleh pemerintah Korea, dan di lindungi dari
diskriminasi-diskriminasi. Di masa modern agama Buddha dan agama Kristen mapan
sebagai agama utama dan agama Buddha sendiri
merupakan agama terbesar di Korea dengan dianut lebih dari 40% pemeluk agama di masyarakat Korea.
BUDDHISME DI JEPANG
Sebelum agama Konfusius dan agama
Buddha memasuki Jepang, keadaan agama Jepang belum terorganisasi dan hanya
merupakan kumpulan tanpa nama dari berbagai pemujaan alam, arwah nenek moyang,
dan Shamanisme.
Kehidupan sosial masyarakat Jepang
saat itu tergambar dalam istilah matsurigoto, hampir-hampir tidak ada
pemisah antara agama dan negara. Tiap-tiap suku mempunyai dewa tersendiri yang
kadang-kadang dianggap sebagai nenek moyangnya. Kepala suku bukan saja
bertindak sebagai pimpinan politik, tetapi juga sebagai pendeta yang tinggi.
Pengaruh dan peranan agama Buddha
di Jepang demikian kuat, namun agama asli tidak musnah. Di Jepang agama Buddha
mula-mula hanya menjadi agama golongan elite, karena untuk memahami
ajaran-ajaran filsafatnya yang ruwet dan rumit diperlukan kepandaian yang tidak
sedikit. Oleh karena itu agama Buddha hanya pelan-pelan saja menerobos ke dalam
lingkungan rakyat Jepang.
Awal dan
Masa Perkembangan Buddhisme di Jepang
Pada saat Jepang yang sudah merupakan sebuah negara bermaksud untuk
membentuk sebuah persekutuan dengan Korea. Antara abad ke 3 dan ke 6 Masehi,
Jepang mulai menerima berbagai pengaruh dari luar melalui hubungan dengan Korea.
Pada tahun 405 Masehi, seorang sarjana bangsa Korea yang bernama Wani
memperkenalkan ajaran-ajaran etika agama Konfusius. Berbagai paham dualisme
agama Tao juga dimasukkan ke Jepang.
Akan tetapi semua unsur luar yang
masuk ke Jepang masa periode ini tidak ada satu pun yang dibawa atas nama
agama. Walau demikian, sejak saat itu penyiar dan sarjana agama Buddha dari
Korea dan Cina berdatangan memasuki Jepang. Mereka membawa serta kebudayaan
asing yang lebih tinggi dari kebudayaan asli.
Agama Buddha masuk ke Jepang pada
tahun 853 Masehi atau abad ke-4 Masehi. Kerajaan Korea mengirimkan delegasi
kepada Kaisar Kimmeo Tenno di Jepang. Disamping membawa sebuah hadiah, delegasi
tersebut juga meminta agar kaisar dan rakyatnya memeluk agama Buddha. Tokoh
utama dalam penyebaran agama Buddha di Jepang adalah Pangeran Shotoku Taishi
(547-621 M). Ia juga menetapkan agama Buddha sebagai agama negara,
menerjemahkan kitab suci Sadharma Pindarika, Vimalakirti, dan Srimalasutra yang
sangat berpengaruh dalam pembentukan filsafat Buddhis di Jepang. Pada masa
pangeran Shotoku berkuasa, agama Buddha menguasai kehidupan agama di kalangan
istana. Dan pada tahun 604 Masehi sudah menjadi agama negara. Pada tahun 607 Masehi,
di Horyuji didirikan kelenteng agama Buddha yang pertama di Jepang. Kelenteng
tersebut kemudian menjadi pusat tempat studi orang-orang Buddha.
Pada periode selanjutnya, yaitu
pada masa pemerintahan Asuka (592-628 Masehi) banyak di antara golongan
masyarakat yang terpandang yang memeluk agama Buddha dan saling berlomba-lomba
dalam mendirikan kelenteng-kelenteng. Setelah masa pemerintahan Asuka berakhir, maka
periode selanjutnya digantikan oleh pemerintahan Nara (710-7840 Masehi). Dalam
masa pemerintahan Nara, agama Buddha mengalami perkembangan pesat, karena
banyak suku-suku yang berpengaruh dan bangsawan-bangsawan terpandang memeluk
agama Buddha. Di samping itu para penguasa juga menganggap bahwa agama Buddha
dapat dijadikan sebagai sarana yang paling tepat untuk mencapai kesejahteraan
hidup bangsa.
Agama Buddha di Jepang pada Masa Modern
Karena secara geografis terletak
pada ujung jalur sutra, Jepang bisa menyimpan banyak aspek agama Buddha ketika
agama ini mulai hilang dari India dan selanjutnya di Asia Tengah serta
Tiongkok.
Buddha Zen merupakan suatu sekte
yang sangat berpengaruh di negara tersebut. Membicarakan tentang Buddha di
Jepang umumnya selalu merujuk kepada sekte Buddha Zen. Demikian juga halnya
dengan budaya yang sama sekali tidak bisa dipisahkan dari peran Buddha Zen.
Kuil Buddha di negara ini selain
berfungsi sebagai tempat ibadah juga berfungsi sebagai tempat wisata. Untuk
kuil tertentu yang bernilai historis tinggi dan banyak dikunjungi oleh
wisatawan, setiap pengunjung dikenakan tiket masuk, dan aturan ini berlaku
tanpa perkecualian. Jadi, baik yang datang untuk tujuan berdoa ataupun tidak
sama saja. Wisatawan yang dimaksud kebanyakan adalah orang Jepang sendiri dan
sebagian besar dari mereka akan menyempatkan diri untuk berdoa. Bangunan kuil
di Jepang umumnya sangat indah dan sebagian besar terbuat sepenuhnya dari kayu
dan sudah berumur ratusan tahun.
Untuk para rahib, mereka diharuskan
menjalani meditasi dan berbagai pantangan yang sangat ketat. Umumnya para rahib
Buddha makan hanya dua kali sehari. Jadi jam makan, tidur, dan juga bangun
diatur dengan sangat ketat. Berjalan juga dianggap sebagai bagian dari meditasi
atau etika sehingga cara berjalan pun harus dipelajari, misalnya berjalan
dengan tidak menimbulkan suara berisik.
Walaupun kehidupan masyarakat
Jepang sudah sangat modern, banyak dipengaruhi dari dunia luar, akan tetapi
tradisi keagamaan dan budaya mereka tetap eksis, hal ini karena masyarakat
Jepang selalu menjaga warisan dari para leluhur mereka.
SUMBER
REFERENSI
T., Suwarto. 1995. Buddha
Dharma Mahayana. Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia.
Ali, Mukti. 1988. Agama-Agama
Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press.
Hadikusuma, Hilman.
1993. Antropologi Agama I. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
0 comments:
Posting Komentar