RINGKASAN
MAKALAH TOPIK VII
PERKEMBANGAN AGAMA BUDDHA DI INDIA
PERKEMBANGAN AGAMA BUDDHA DI INDIA
DAN PERKEMBANGAN AGAMA BUDDHA DI CINA
Oleh:
Dede Ardi Hikmatullah
(1111032100037)
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
FAKULTAS USHULUDDIN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
PERKEMBANGAN BUDDHA DI INDIA
Agama Budha telah berlangsung kira-kira
2.600 tahun dan selama periode itu telah mengalami perkembangan. Sejarah
perkembangan agama Budha di India setelah Budha Gautama wafat dapat dibagi
menjadi tiga periode, yaitu:
v Masa perkembangan
awal hingga pasamuan agung Kedua.
v Masa kekuasaan Raja
Asoka
v Masa Kemunduran
Agama Budha di India
Masa Perkembangan Awal
Dari masa sebelum raja Asoka, secara
tradisi ajaran-ajaran Buddha dikelompokkan ke dalam 2 kategori utama yang
dinamakan Dharma dan Vinaya.
Beberapa minggu setelah Buddha meninggal
dunia segera terjadi perbedaan-perbedaan pendapat di kalangan para pengikutnya, terutama karena
dia tidak meninggalkan ajaran yang tertulis dan tidak menunjuk seseorang
sebagai penggantinya. Perbedaan itu berujung pada terbentuknya dua kelompok,
yang masing-masing memilih jalan mereka sendiri. Kedua kelompok itu ialah:
1. Kelompok yang berusaha
mengubah aturan yang sudah ditetapkannya karena dirasa berat dilaksanakan dan
dipertahankan.
2. Kelompok yang berusaha untuk memelihara kemurnian ajarannya.
Kelompok terakhir ini kemudian memutuskan
untuk mengadakan pasamuan agung guna membahas masalah-masalah yang
berkembang waktu itu, terutama yang menyangkut ajaran-ajaran (dharma)
dan aturan-aturan bagi para bhikkhu (vinaya).
v Pasamuan pertama
diadakan di Rajagraha dan dihadiri oleh 500 arahat dengan tujuan utama
mengumpulkan ajaran-ajaran yang telah diedarkan Buddha dan menyusunnya secara
sistematis.
v 100 tahun kemudian
diadakan di Vesali dihadiri oleh 700 bhikkhu. Pada pertemuan ini
terbukti bahwa kelompok yang ingin tetap mempertahankan kemurnian vinaya
lebih kecil dari pada kelompok yang menginginkan perubahan-perubahan. Kelompok
yang ingin mempertahankan kemurnian menamakan diri dengan Theravada,
sedang sekelompok bhikkhu yang yang menginginkan perubahan menamakan
diri dengan Mahasanghika.
v Selama 100 tahun
tidak banyak yang diketahui tentang perkembangan agama Budha di India, terutama
setelah raja Kalasoka meninggal dunia. Baru dengan munculnya raja Asoka dari
Dinasti Maurya, sekitar 272 SM, agama Buddha memperlihatkan perkembangan yang
sangat pesat ke seluruh India.
Masa Kekuasaan Raja Asoka
Raja Asoka
adalah raja ketiga dalam dinasti Maurya. Kelahiran
raja Asoka tidak bisa diketahui secara pasti, namun prasasti yang ditemukan di
India mengatakan bahwa raja Asoka hidup pada 300 SM. Beliau naik tahta sekitar tahun 273 SM.
Wafat tahun 233 SM. Sebelum raja Asoka memeluk agama Buddha,
beliau mengikuti jejak buyutnya dan berusaha memperluas wilayah kekuasaannya
lewat aksi militer. Yang berhasil meluaskan kekuasaan hampir ke seluruh India.
Beliau
merupakan raja yang lemah lembut, peramah dan suka berbakti, setia kepada agama
dan amat sangat mengasihi rakyatnya. Pada tahun ke-8 dari masa pemerintahannya,
tepatnya ketika peperangan di Deccan pada waktu menaklukkan kerajaan Kalinga
(daerah timur tengah), raja Asoka mendengar bahwa dalam peperangan itu kurang
lebih dari 100.000 orang Kalinga binasa dan 150.000 orang ditawan, ia amat
sedih hati dan bersumpah tidak akan mengangkat senjata lagi terhadap siapapun
juga untuk selama-lamanya.
Ditimbun oleh rasa berdosa yang sangat.
Raja Asoka menghentikan gerakan militernya dan bersamaan dengan itu menjauhkan
diri dari perbuatan agresif. Akhirnya tokoh raja India ini menjadi pemeluk
agama Buddha. Dan menerima filosofinya, mencoba mempraktekkan nilai-nilai dharma
yang mengandung perintah menjalankan kebenaran, kebajikan dan ketidakagresifan.
Kemudian aksinya diarahkan untuk menyebarkan dan mengembangkan agama yang
dipeluknya.
Dalam masa pemerintahannya, agama Budha
berkembang menjadi agama yang berpengaruh di seluruh India dan mempunyai
peranan dalam berbagai bidang kehidupan, baik sosial, kebudayaan, ekonomi
maupun politik. Adapun usaha-usaha yang dilakukan Raja Asoka adalah
sebagai berikut:
v Mendirikan rumah
sakit-rumah sakit
v Mendirikan
rumah-rumah peribadatan (stupa dan wihara)
v Mengeluarkan
aturan-aturan yang meringankan untuk penduduk.
v Membangun
jalan-jalan guna menunjang pemerintahan menuju “Pejabat Dharma”.
v Pembuatan
piagam-piagam yang dipahat pada tugu-tugu batu atau lereng-lereng gunung yang ditandatanganinya
dengan nama “piyadassi” yang berarti “penuh kemanusiaan”.
v Melakukan ziarah
mengunjungi semua tempat-tempat suci, seperti: Kapilavastu (tempat lahir Buddha),
Sarnath dekat Benares (tempat Buddha pertama kali menyebarkan agamanya),
Sravasti Gaya (tempat pohon Bodhi yang suci) dan Kusinagara (tempat wafatnya
Buddha). Di tempat-tempat itu beliau memberi sedekah dan mendirikan tanda-tanda
peringatan yang sampai sekarang amat berarti bagi ilmu sejarah.
v Menaklukan seluruh
India, hanya bagian ujung selatan yang belum takluk kepadanya.
v Memerdekakan
tiap-tiap agama dalam melakukan kebaktian dan mendapat perlindungan yang sama
dari raja.
v Melarang membunuh
yang berjiwa, baik manusia maupun hewan. Orang yang melanggar peraturan
itu mendapat hukuman keras.
v Memerintahkan supaya
tiap-tiap orang menghormati orang tuanya, leluhurnya dan orang-orang yang di atasnya,
supaya tiap-tiap orang mencari kebenaran dan menuntut kerendahan dan kemurahan
hati.
v Di bawah kekuasaan
raja Asoka ini pula diadakan Pasamuan Agung III pada tahun 249 SM di
Pataliputra, yang dimaksudkan untuk meneliti kembali ajaran-ajaran Budha serta
mencegah penyelewengan-penyelewengan yang mengakibatkan perpecahan dalam sangha.
v Mengirimkan
utusan-utusan ke berbagai negara untuk menyebarkan dharma, antara lain
ke Syiria, Mesir, Yunani, Macedonia, India Belakang, dan Asia Tenggara. Salah
seorang utusan yang dikirim itu adalah Mahinda, putra raja Asoka sendiri, ke
Srilangka yang hingga sekarang merupakan salah satu pusat agama Budha.
Setelah wafatnya
raja Asoka (233 SM), kerajaan terpecah belah menjadi beberapa negara bagian,
dan pada tahun 158 SM kekuasaan dinasti Maurya digantikan oleh Dinasti Songa.
Perpecahan antara golongan Theravada dengan Mahayana pun semakin
menjadi. Petunjuk perpecahan tersebut terlihat dalam
pelaksanaan Pasamuan Agung IV yang dinilai berbeda oleh kedua belah pihak.
Golongan Theravada
menyatakan bahwa pasamuan tersebut dilaksanakan di Aluvihara Srilanka
sekitar tahun 83 SM, dan memutuskan kitab Tripitaka ditulis untuk pertama kalinya
dengan tujuan agar semua orang mengetahui kemurnian dharma dan vinaya.
Golongan Mahayana menyebutkan bahwa pasamuan tersebut diadakan pada abad
pertama masehi di bawah lindungan Raja Kaniska Datio Afganistan. Pasamuan
yang tidak dihadiri oleh golongan Theravada ini bertujuan untuk mempertemukan
kembali perbedaan paham antara kedua golongan tersebut, namun tidak terlaksana.
Bertitik tolak dari Pasamuan Agung IV ini, golongan Mahayana mulai berkembang
di India dan mulai menyebar ke Tibet dan Tiongkok.
Perkembangan
Budha Mahayana yang pesat tidak terlepas dari peranan tokoh tokohnya, seperti Asvagosha,
Cantideva, Nagarjuna, Aryasangha, dan Aryadewa. Tiga yang tersebut akhir
dipandang sebagai “Tiga Matahari Mahayana” terutama karena jasa mereka
menyebarkan ajaran Mahayana ke berbagai
daerah di Asia.
Kitab-kitab
suci dalam aliran Budha Mahayana diantaranya adalah Madyamika, karya Nagaryuna
yang berisi ajaran mistik dan metafisika menurut paham Mahayana seperti
terdapat dalam rumusan “Delapan Tiada”, yaitu tiada pembentukan,
tiada penghancuran, tiada penyelapan, tiada kekekalan, tiada kekuatan, dan
keanekaragaman, tiada yang datang dan pergi. Kira-kira pada abad pertama masehi
golongan Mahayana muncul ke permukaan sejarah terutama setelah terbitnya buku Mahayana
Sratdha Utpada, karangan Ashvagosha yang berisi pokok-pokok ajaran Budha
Mahayana.
Budha Mahayana memegangi ajaran-ajaran
pokok agama Budha sebagai mana umumnya dipegangi pula oleh aliran-alirannya.
Hanya saja, Mahayana mengembangkan melalui pandangan filsafat yang secara
metodologis berbeda dengan aliran Theravada.
Faktor Kemunduran Agama Buddha Di India
· Pemasukan yang selalu bertambah dari unsur Hinduistik ke dalam ajaran
agama Budha.
· disebabkan oleh serangan bangsa Hun Putih dari utara yang banyak
menghancurkan pusat-pusat peribadatan agama Buddha.
· Jumlah wihara di India sudah semakin berkurang dan pengamalan
serta pengajaran agama Budha semakin kendor.
· Persaingan dengan agama Brahmana yang mulai bangkit setelah sempat
terdesak oleh agama Buddha untuk jangka waktu yang cukup lama.
· Rusaknya kebatinan ajaran agama Buddha dan perkembangan Islam yang mulai
menyebarkan ajarannya ke timur sejak abad delapan masehi.
· Akibat dari hal-hal
tersebut, aliran Theravada dan Mahayana lambat laun tersingkir dari tanah
kelahirannya sendiri, terutama karena peranan sangha yang cukup besar
dalam penyebaran agama Budha selama ini menjadi jauh berkurang sejak abad ke-7
Masehi tersebut.
· Kemunduran peranan sangha
ini antara lain disebabkan banyaknya unsur non-Buddhis yang masuk ke dalam
agama Buddha, sehingga menyebabkan merosotnya penghargaan rakyat terhadap sangha
dan mengakibatkan berkurangnya dana yang diterimanya.
· Namun, kemunduran
agama Buddha di India dapat di pandang sebagai terbukanya kesempatan bagi agama
Budha untuk berkembang di luar India.
LATAR BELAKANG AGAMA BUDDHA DI CHINA
Sebelum agama Buddha di India mengalami
kemunduran. Golongan Theravada maupun Mahayana sudah tersebar ke beberapa
negara sekitar India. Dari segi geografis, aliran Theravada berkembang ke selatan: Srilanka,
Burma, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, dan Indonesia.
Aliran Mahayana
berkembang ke utara: Nepal, Tibet, Mongolia, Cina, Korea, dan menyebar ke
Jepang juga Indonesia. Tidak diketahui secara pasti kapan agama Budha masuk ke
Cina, namun pendapat yang umumnya diterima ialah pada masa dinasti Han. Ketika kaisar
Ming Ti (58-76 M) mengirimkan utusan ke India untuk meneliti agama Budha. Pada awal agama
tersebut di Cina kurang memperlihatkan hasil yang menggembirakan karena
mendapat perlawanan dan tantangan dari kepercayaan dan filsafat asli Cina yang
telah berkembang sebelumnya, seperti,
yang diajarkan oleh Konfusius.
Ajaran dan filsafat Budha dianggap terlalu
kaku dan metafisis sehingga dirasakan sangat bertentangan dengan alam
pikiran Cina yang praktis dan matrealistis. Perkembangan yang mulai cukup pesat itu terjadi setelah abad kedua masehi,
yang antara lain jatuhnya dinasti Han yang diikuti dengan merosotnya paham konfusianisme
dan taoisme sehingga mengakibatkan Cina menghadapi periode kegelisahan budaya,
tradisi dan struktur sosial yang ada mulai melemah, sementara alternatif baru
belum muncul.
Situasi budaya
seperti itulah, Buddha Mahayana muncul dan dipandang mampu memenuhi kebutuhan
yang ada dengan menawarkan suatu bentuk upacara keagamaan yang berbeda dari
tradisi-tradisi yang sudah ada sebelumnya di satu pihak, dan di lain pihak
kepercayaan dan tradisi asli tadi memberikan sumbangan dalam membentuk kualitas
agama Budha yang merakyat di Cina.
Pada periode
awal perkembangan agama Buddha di Cina itu banyak didirikan wihara-wihara
dan dilakukan penerjemahan naskah-naskah Buddha ke dalam bahasa Cina. Salah
seorang penerjemah yang terkenal adalah Sarvastivadin. Agama Budha
berkembang dengan baik sekali pada abad ke-6 Masehi di bawah pemerintahan
Kaisar Liang. Masa keemasan agama Buddha di Cina
terjadi antara abad ke-7 Masehi hingga abad ke-9 Masehi, di bawah kekuasaan
dinasti Tang. Masa keemasan (Masa Dinasti Tang) Agama Budha diadaptasikan dan
dikombinasikan dengan kebudayaan setempat, seperti terlihat dalam berbagai
karya seni yang bercorak keagamaan.
Banyaknya
ilmuwan Cina yang melakukan perjalanan untuk mempelajari dan menulis sejarah
agama ke berbagai negeri termasuk Nusantara. Dan setidaknya ada dua hal yang
mereka lakukan, yaitu:
v Menerjemahkan
kitab-kitab Sutra.
v Memperkaya dengan
ide-ide keagamaan yang menakjubkan. Ilmuwan
itu adalah Fa Hien, Hi Nen Tsang dan I’sing.
Namun
kemajuan agama Buddha di Cina itu ditandai pula dengan kebangkitan kembali
Konfusianisme yang bersifat sosialistik, sehingga sering berbenturan
dengan ajaran Buddha yang menekankan pada kehidupan sejati melalui hidup mem-biara
sebagai bhikkhu.
Merembet
pula pada tradisi Cina yang menekankan pada kehidupan keluarga di satu pihak,
dengan ajaran agama Budha untuk hidup
selibat dan mem-biara di lain pihak, yang secara ekonomis tidak membantu
pengembangan produktifitas keluarga dan masyarakat.
Pada
tahun 845 timbul penganiayaan terhadap orang-orang Buddha, yang disebabkan
karena iri hati kaum Tao dan pengikut Konghucu. Beribu-ribu bikkhu
dipaksa untuk meninggalkan agama Buddha. Semenjak itu agama Buddha tidak dapat
berkembang dengan baik.
Agama
Buddha tetap mampu mengakomodasikan dirinya dengan kepercayaan tersebut,
sehingga memperoleh tempat sejajar dengan Konfusianisme dan Taoisme. Bahkan
ketiga-tiganya membentuk landasan filsafat dan agama di Cina yang di kenal sebagai Sam Kauw, atau Tri Dharma,
yang berarti “tiga ajaran”.
SUMBER
REFERENSI
T., Suwarto. 1995. Buddha
Dharma Mahayana. Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia.
Ali, Mukti. 1988. Agama-Agama
Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press.
Hadikusuma, Hilman.
1993. Antropologi Agama I. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
0 comments:
Posting Komentar