RINGKASAN
MAKALAH TOPIK VI
KEDUDUKAN SANGHA,
KEDUDUKAN SANGHA,
CARA MENJADI BIKKHU DAN BIKKHUNI,
DAN KELOMPOK BUDDHA AWAN
Oleh:
Dede Ardi Hikmatullah
(1111032100037)
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
FAKULTAS USHULUDDIN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
KEDUDUKAN
SANGHA
Sangha adalah inti masyarakat Buddha yang dapat menciptakan
suasana yang diperlukan untuk mencapai tujuan hidup tertinggi, yaitu nirwana.
Dari umat Buddha, sangha patut menerima pemberian (ahu-neyyo), tempat berteduh (pahuneyyo),
persembahan (dakkhineyyo),
penghormatan (anjalikarananiyo), dan
merupakan lapangan untuk menanam jasa yang tidak ada taranya di dunia (anuttaram pannakhettam lokassa).
Kelompok sangha adalah terdiri dari para bikkhu,
bikkhuni, samanera dan samaneri. Mereka menjalani
kehidupan suci untuk meningkatkan nilai-nilai kerohanian serta tidak
melaksanakan hidup berkeluarga. Sedangkan kelompok awam terdiri dari upasaka
dan upasaki yang telah menyatakan diri berlindung kepada buddha,
dharma dan sangha serta melaksanakan hidup berumah tangga sebagai orang biasa.[1]
Menurut kepercayaan Buddha, sangha tidak dapat dipisahkan
dari buddha dan dharma karena ketiganya adalah kesatuan tunggal
dan merupakan manifestasi berasas tiga dari yang mutlak di dunia. Hubungan
ketiganya dapat digambarkan sebagai berikut:
- Buddha adalah bulan purnama,
- Dharma adalah sinar yang menerangi dunia,
- Sangha adalah dunia yang menerima sinar tersebut.
Dengan
istilah lain:
- Buddha bagaikan orang yang membakar hutan,
- Dharma bagaikan api yang membakar hutan (kekotoran batin),
CARA BIKKHU DAN
BIKKHUNI
Secara
kelembagaan, umat Buddha dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok
masyarakat ke-wihara-an atau sangha dan kelompok masyarakat awam.
Kelompok pertama terdiri dari para bhikku dan bhikkuni, samanera
dan samaneri. Mereka menjalani kehidupan suci untuk meningkatkan
nilai-nilai kerohanian dan kesusilaan serta tidak menjalani hidup keluarga.
Kelompok masyarakat awam yang terdiri dari upasaka dan upasaki yang
telah menyatakan diri berlindung kepada budha, dharma dan sangha, serta
melaksanakan prinsip-prinsip moral bagi umat awam dan berumah tangga.[3]
Bhikku atau bhikkuni adalah seorang yang kehidupannya sudah tidak
lagi mencampuri urusan duniawi, telah menjalani kehidupan suci dan patuh serta
setia menghayati dan mengamalkan Budha Dharma, patuh menjalankan pratimoksa
(sila-sila untuk para bhikku dan bhikkuni) terdapat dalam buku
Buddha Mahayana yakni Paccimovada Pari Nirvana Sutra terjemahan oleh
Kumarajiva.[4]
Sesudah menjadi bhikku atau bhikkuni maka ia harus
menjalani hidup bersih dan suci sebagaimana ditentukan dalam ‘Vinaya
Pitaka’, yaitu melaksanakan 227 peraturan yang antara lain tentang:
1.
Peraturan
tata tertib lahiriah,
2.
Peraturan
cara menggunakan pakaian, makanan dan kebutuhan hidup lainnya,
3.
Cara
menanggulangi nafsu keinginan dan rangsangan batin,
4.
Cara
memperoleh pengetahuan batin yang luhur untuk penyempurnaan diri.
Selama
masa lima tahun pertama sebagai bhikku atau bhikkuni, ia masih
dalam ikatan keguruan, setelah lebih dari sepuluh tahun ia sudah disebut sebagai
thera.[5]
Untuk menjadi seorang bhikkhu haruslah orang yang benar-benar sehat
secara nama dan rupa (batin dan jasmani). Selain itu juga harus
ada seorang upajjhaya yang akan menahbis untuk menjadi bhikkhu.[6] Menurut
Sang Buddha sendiri, faedah-faedah menjadi bhikkhu antara lain:
1. Setelah menjadi bhikkhu, ia hidup mengendalikan diri sesuai dengan patimokkha
(peraturan-peraturan bhikkhu), sempurna kelakuan dan latihannya, dapat
melihat bahaya dalam kesalahan-kesalahan yang paling kecil sekalipun. Ia
menyesuaikan dan melatih dirinya dalam peraturan-peraturan. Menyempurnakan
perbuatan dan ucapannya. Suci dalam cara hidupnya, sempurna sila-nya, dan
terjaga pula pintu-pintu inderanya.
2. Tugas utama seorang bhikkhu adalah menyingkirkan lima rintangan (panca
nivarana) dari dirinya. Lima rintangan tersebut adalah:
o
Kerinduan terhadap
dunia (Kamachanda-Nivarana)
o
Itikad- itikad jahat (Vyapada-Nivarana)
o
Kemalasan dan
kelambanan (Thinamiddha-Nivarana)
o
Kegelisahan dan kekhawatiran
(Uddhacca-Kukkucca- Nivarana)
o
Keragu-raguan (Vicikiccha-Nivarana)
3. Seorang bhikkhu yang telah membebaskan diri dari Vitakka dan Vicara,
memasuki dan berdiam dalam jhana kedua, yaitu keadaan batin yang tergiur
dan bahagia, yang timbul dari ketenangan konsentrasi, tanpa disertai dengan Vitakka
dan Vicara, keadaan batin yang memusat. Semua bagian dari tubuhnya
diluputi oleh perasaan tergiur dan bahagia yang timbul dari ‘konsentrasi’.
4. Seorang bhikkhu yang telah membebaskan dirinya dari perasaan
tergiur, berdiam dalam keadaan yang seimbang dan disertai dengan perhatian
murni dan pengertian murni dan pengertian jelas. Tubuhnya diliputi dengan
perasaan bahagia, yang dikatakan oleh para ariya sebagai ‘kebahagiaan
yang dimiliki oleh mereka yang bathinmua seimbang dan penuh perhatian
murni’, ia memasuki dan berdiam dalam jhana ketiga. Seluruh tubuhnya
dipenuhi, digenangi, diresapi serta diliputi dengan perasaan bahagia yang tanpa
disertai perasaan tergiur.
KELOMPOK BUDDHA
AWAM
Kaum
awam ialah yang mengakui Buddha sebagai pemimpin keagamaannya dan tetap hidup
di dalam masyarakat dengan berkeluarga. Pada hakikatnya para kaum awam tidak
dapat mencapai nirwana. Sekalipun demikian kedudukan mereka adalah
sangat penting, mereka sudah berada pada awal jalan yang menuju kepada kelepasan. Pengakuan terhadap agama Budha tersebut
dinyatakan dengan niat dan tekad untuk berlindung kepada Budha, Dharma dan
Sangha dengan mengucapkan ‘Trisarana’.
Pada
umumnya yang dimaksud dengan umat Buddha yang awam terdiri dari orang-orang
yang telah mengakui Sang Budha sebagai pemimpin dan gurunya, mengakui dan
meyakini kebenaran ajaran Budha serta berusaha dengan sungguh-sungguh
melaksanakan ajarannya. Mereka yang mengakui keagamaan Budha ini disebut upasaka
dan upasaki.
Dilihat dari tingkatan pemahaman seseorang terhadap ajaran Buddha
dan tanggung jawab keagamaannya, maka kelompok masyarakat Budha Awam ini dapat
dibedakan sebagai berikut :
1. Upasaka dan upasaki
yang benar-benar awam keagamaannya.
2. Bala anupandita, anu
pandita dan pandita adalah
mereka yang menjalankan tugas sebagai penyebar dharma dan bergabung
dalam organisasi umat Buddha.
3. Mahaupasaka, ialah para pandita
yang mengurus administrasi dan soal-soal teknis.
4. Mahapandita adalah para pandita
yang mengurus khusus masalah keagamaan.
5. Anagarika adalah orang
awam Buddha yang diakui memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam mengamalkan
ajaran Buddha Gautama.
Dalam
kehidupan sehari-hari seorang umat awam diminta untuk menyatakan berlindung
pada Buddha, Dharma dan Sangha, serta menjalankan pancasila (Buddhis).
Selanjutnya ia dianjurkan untuk menepati sepuluh pokok tindakan baik (dasakusalakamma),
yaitu:
1.
Menghindari
pembunuhan, dan mengembangkan cinta kasih kepada sesama makhluk hidup,
2.
Menghindari
pencurian, dan bersikap jujur dan tulus serta berusaha membantu untuk meringankan
penderitaan orang lain,
3.
Menghindari
perbuatan asusila, dan menepati tata susila dalam masyarakat,
4.
Menghindari
kebohongan untuk kepentingan diri sendiri atau orang lain,
5.
Menghindari
fitnah, yang dapat menimbulkan permusuhan, sebaliknya berusaha menjadi penengah
untuk merukunkan perselisihan,
6.
Menghindari
ucapan kasar, dan berbicara secara lembut dan menyenangkan,
7.
Menghindari
omong kosong, dan berbicara pada waktu
yang tepat tentang hal-hal yang benar, berdasarkan fakta, berhubungan dengan dhamma
vinaya, bermakna, disertai contoh-contoh diperhitungkan lebih dulu dan
bermanfaat,
8.
Menghindari
keserakahan, dan tidak merasa iri terhadap
keuntungan dan kemakmuran orang lain,
9.
Menghindari
itikad jahat, dan tidak menyimpan pikiran buruk terhadap orang lain,
10.
Menghindari
pandangan salah, dan menganut pandangan benar, yaitu percaya akan kehidupan
yang akan datang, akan ganjaran moral, akan kewajiban, dan akan guru-guru
rohani yang telah menjalani hidup suci dan mencapai pandangan terang.
SUMBER
REFERENSI
Ali,
Mukti. 1988. Agama-Agama Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press.
Hadikusuma,
Hilman. 1993. Antropologi Agama I. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
T.,
Suwarto. 1995. Buddha Dharma Mahayana. Jakarta: Majelis Agama Buddha
Mahayana Indonesia.
[4] Suwarto T, Buddha Dharma Mahayana, (Jakarta: Majelis
Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995), h. 51
0 comments:
Posting Komentar