RINGKASAN TOPIK V



RINGKASAN
MAKALAH TOPIK V
MEDITASI DALAM BUDDHISME










Oleh:
Dede Ardi Hikmatullah








JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013

MEDITASI
Pengertian Meditasi
Kata “meditasi” berasal dari bahasa Latin, meditatio, artinya hal bertafakur, hal merenungkan, memikirkan, mempertimbangkan atau latihan, pelajaran persiapan. Dengan bermeditasi kita dapat membangun kebiasaan baik dari pikiran kita. Meditasi dilakukan dengan pikiran, artinya meskipun kita duduk dengan sikap sempurna, melaksanakan meditasi dalam waktu yang cukup lama, namun pikiran kita berlari kesana kemari dengan liar, dan memikirkan objek-objek kemelekatan, itu bukanlah meditasi. Dengan melaksanakan meditasi kita akan dapat menumbuhkan kebiasaan baik dari pikiran dalam meditasi, tingkah laku sehari-hari kita juga akan berubah. kebencian, keserakahan, rasa iri hati yang membara di dalam diri kita, dapat kita taklukan, kita lalu menjadi tenang, merasa puas dan berterima kasih, tidak lagi resah dan gelisah, dan frustasi.[1]
Meditasi Buddhis ada dua macam yakni,  sebagai berikut:
1.    Meditasi Samatha-Bhavana, yakni meditasi untuk mencapai keterangan hidup. Dalam abad nuklir ini, dimana kehidupan terasa semakin keras dan kompleks, memang sangat dibutuhkan meditasi samatha bhavana ini, untuk menghilangkan stress, frustasi dan untuk menciptakan ketenangan batin.
2.    Meditasi Vipassana-Bhavana, yakni mediatsi yang dapat membersihkan kekotoran batin dan pikiran secara total, sehingga kita dapat mencapai pandangan terang.[2]
Meditasi Buddhis pada dasarnya berkaitan dengan dua tema: mengubah pikiran dan menggunakannya untuk mengeksplorasi dirinya sendiri dan fenomena lain. Sang Buddha sejarah sendiri, Siddhartha Gautama, dikatakan telah mencapai pencerahan saat bermeditasi di bawah pohon Bodhi.
Yang pertama terdiri dari praktek bertujuan untuk mengembangkan kemampuan untuk memfokuskan perhatian  tunggal-tajam, yang terakhir termasuk praktek-praktek bertujuan untuk mengembangkan wawasan dan kebijaksanaan melalui melihat sifat sejati dari realitas.[3]

Meditasi Dalam Buddhisme
   Meditasi (samadhi) merupakan suatu bentuk latihan spiritual bagi umat Buddha. Seperti yang telah kita ketahui bahwa hakikat dari kehidupan ini adalah penderitaan karena segala sesuatu akan selalu mengalami perubahan dan tidak dapat kita pertahankan. Namun, sayangnya sebagai manusia kita menjadi terlalu larut dalam perubahan itu dan tidak menyadari bahwa sesungguhnya ada jalan untuk memutuskan penderitaan ini.[4]
Samadhi terdapat dua macam, yaitu: Lokiya Samadhi, Lokuttara Samadhi. Kedua-duanya ini adalah praktek Samatha Bhavana, yaitu: Anapana, Mettana, Kasina, dan lain-lainnya, yang dapat membawa kita ke dalam perkembangan dari keadaan Lokiya Yhana, seperti empat Rupa Yhana dan empat Arupa Yhana, yang menyebabkan orang dapat dilahirkan di alam Brahma.
Lima rintangan batin (nivarana) dalam meditasi:
1.  Thinamiddha , yaitu kelambanan, kemalasan, kebosanan. Ibarat terdapat sebuah kolam dan kita hendak melihat ke dasar kolam tersebut, maka keadaan pikiran yang malas dan bosan dapat diibaratkan sebagai kolam yang permukaannya penuh lumpur pekat sehingga kita tidak dapat melihat dasar kolam.
2.  Uddhaccakkukkuca, yaitu kekacauan, kegelisahan, kekhawatiran Ibarat kolam yang beriak/bergelombang karena angin.
3.  Vicikiccha, yaitu keragu-raguan. Ibarat melihat kolam pada waktu gelap atau tidak ada penerangan.
4.  Kammacchanda, yaitu keinginan. Ibarat kolam yang permukaannya dipenuhi bunga-bunga cantik.
5.  Byapada, yaitu  ketidaksenangan. Ibarat kolam dengan air yang mendidih.[5]
Ilmu pengetahuan di dalam organisasi yang baik dan bebas, yang dijalankan dengan tidak menimbulkan penderitaan, yaitu belajar untuk mencapai pengetahuan dari kebenaran atau menyelidiki naskah-naskah, dan mempelajari tiga tingkatan pengetahuan di dalam Vipassana Bhavana, yaitu:
1. Satu-maya-panna, ialah pengetahuan yang berdasarkan atas belajar.
2. Cinta-maya-panna, ialah pengetahuan yang berdasarkan atas berpikir dan
3. Bhavana-maya-panna, ialah pengetahuan yang berdasarkan atas perkembangan batin adalah Lokiya Panna.
Pahala dari memiliki Lokiyana Panna, ialah seseorang akan mendapatkan kebahagiaan di dalam kehidupan yang lebih tinggi, tetapi tidak dapat mencegah resiko-resiko dalam kelahiran kembali di neraka atau di alam kehidupan yang lebih rendah dan sengsara.

Wawasan Ke Dalam
            Umat Buddha sering kali melakukan meditasi, karena seorang Buddhis dituntut untuk melihat bahwa hidupnya ditentukan oleh dirinya sendiri.[6] Penderitaan akan disebabkan oleh dirinya sendiri, demikian pula sebaliknya bahwa Kebahagiaan disebabkan diri sendiri dan Ajaran Buddha mengajarkan cara untuk mencapai kebahagiaan dengan upaya sendiri. [7]

Pikiran Dan Kesadaran
            Pada suatu kesempatan ketika seseorang sedang kuliah dan mendengar penjelasan dosennya, bisa saja dia berpikir: “Kalau begitu rumus yang digunakan adalah ini, rumus kedalaman pondasi adalah ini, sedangkan rumus tiang pancang adalah ini.” Ini biasa kita sebut sebagai proses berpikir. [8]
            Pikiran adalah respon dari rangsangan. Dan harus kita akui bahwa kemampuan otak (sebagai pusat olah pikir manusia) adalah sangat menakjubkan. Bahkan gerak refleks pun dikarenakan proses berpikir yang cepat sekali. Dan salah satu hal yang diajarkan Buddha Gautama adalah mengamati pikiran. Mengapa? Karena pikiran inilah yang membentuk ke-‘Aku’-an (ke-ego-an), membentuk bentuk - bentuk pikiran yang lain — yang melekat pada sesuatu, yang tidak menyenangi sesuatu, dan lain-lain; yang pada akhirnya akan berujung pada penderitaan kita. Buddha Gautama mengatakan bahwa pikiran adalah sukar ditaklukkan. Memang benar demikian. Kecenderungan manusia menaklukkan pikiran dengan ilmu pengetahuan (dengan kata lain berpikir lagi). Namun, justru sebaliknya Buddha Gautama mengajarkan bahwa pikiran hanya dapat ditaklukkan apabila pikiran ini tenang, diam sehingga dengan mudah diamati, dan untuk itulah seorang Buddhis melakukan meditasi vipassana. [9]
            Apa yang diamati? Menyadari bahwa segala sesuatu akan timbul dan tenggelam sebagaimana mestinya — itulah kesadaran (awareness). Untuk menyadari hal ini diperlukan kewaspadaan. Waspadai terus-menerus setiap bentuk pikiran dan pemikiran (proses berpikir) yang muncul. Jangan disesali, jangan dilekati. Jangan terbawa arus. Cukup disadari saja tanpa perlu menganalisis darimana munculnya pikiran-pikiran tersebut. Inilah yang disebut sebagai
kesadaran pasif (passive awareness atau choiceless awareness). Setelah pikiran dapat ditaklukkan, barulah kita akan menyadari sepenuhnya apa yang dimaksud dengan perubahan (anicca-dukkhaanatta). Runtuhlah tembok ke-‘Aku’-an dan kemelekatan. Berakhirlah kelahiran kembali dan penderitaan. [10]

Hidup Di Sini Dan Pada Saat Ini
            Dalam kehidupan sehari-hari, pikiran cenderung untuk lari kesana-kemari. Pikiran dengan mudahnya terbawa arus kehidupan. Sesaat kita menyesali tindakan-tindakan kita yang telah lampau — kadang menyakitkan, kadang menyenangkan, atau bahkan biasa-biasa saja. Namun, sedetik kemudian yang kita pikirkan adalah hal-hal yang kita kehendaki untuk terjadi kedepannya—memikirkan masa depan kita. Inilah hal yang dengan lebih jelas kita lihat dan amati ketika kita sedang bermeditasi. Memikirkan sesuatu yang telah lewat tidaklah ada gunanya dan memikirkan sesuatu yang akan datang belumlah pasti. Bila pikiran selalu mengarah ke masa lampau atau ke masa depan, maka kita hanya hidup dalam baying - bayang. Agar dapat hidup sehidup-hidupnya, maka seharusnya seseorang hidup disini dan pada saat ini (here & now). Dengan demikian maka seseorang hidup dalam setiap detik yang berharga. Ibarat sebuah alur sungai, kita melihat tegak lurus alur tersebut sehingga membentuk sebuah tampang cross-section. Apabila terdapat ikan, sepatu, batang pohon, dll yang mengalir dari hulu menuju ke hilir, kita hanya cukup melihat pada tampang itu saja. Itu sudah cukup bagi kita untuk mengetahui bahwa ada ikan, sepatu, batang pohon, dll yang memang ada dan akan lewat. Tidak perlu bagi kita untuk ingin tahu sebelumnya apa yang akan kita lihat (the future) atau mengikuti arus untuk melihat benda-benda yang sama dengan yang telah kita lihat tadi sebelumnya (the past). Dan ada satu kata sepakat, bahwa pikiran itu liar dan sulit ditaklukkan. Inilah mengapa kita melakukan meditasi. [11]

SUMBER REFERENSI
Diputrha, Okta. 2004. Meditasi I. _____: ________.
Hansen, Sasanasena Seng. 2008. Ikhtisar Ajaran Buddha. Yogyakarta: Vidyasena Production.



[1] Okta Diputrha, Meditasi I, 2004, h. 132
[2] Okta Diputrha, Meditasi I, h.  132
[4] Upa. Sasanasena Seng Hansen, Ikhtisar Ajaran Buddha, (Yogyakarta: Vidyasena Production, 2008), h. 34
[5] Upa. Sasanasena Seng Hansen, Ikhtisar Ajaran Buddha, h. 350
[6] Upa. Sasanasena Seng Hansen, Ikhtisar Ajaran Buddha, h. 32
[7] Upa. Sasanasena Seng Hansen, Ikhtisar Ajaran Buddha, h. 32
[8] Upa. Sasanasena Seng Hansen, Ikhtisar Ajaran Buddha, h. 33
[9] Upa. Sasanasena Seng Hansen, Ikhtisar Ajaran Buddha, h. 33
[10] Upa. Sasanasena Seng Hansen,  Ikhtisar Ajaran Buddha, h. 34
                [11] Upa. Sasanasena Seng Hansen, Ikhtisar Ajaran Buddha, h. 36

0 comments:

Posting Komentar